Haus akan kekuasaan dan uang membuat manusia lupa akan segalanya, mereka rela mengorbankan apa saja termasuk nyawa demi mempertahankan kedua hal tersebut. Setiap pemimpin negara memiliki kebijakan sendiri dalam mengatur sebuah negara, terkadang bisa diterima, atau dibantah oleh kalangan tertentu, bahkan dipahami dengan tutup sebelah mata yang kemudian menimbulkan rasa dendam di kemudian hari. Kebijakan demi kebijakan bisa menjadi tonggak pembangunan sebuah negara menjadi lebih baik dan mungkin sebagai awal kehancuran moral sebuah bangsa.
Enam belas tahun yang lalu saya sungguh tidak mengerti kenapa Solo menjadi lautan api? Kenapa kota yang sebelumnya terlihat damai ini ternyata menimbun begitu banyak kebencian yang mudah saja disulut oleh para provokator? Saya masih ingat tepat tanggal 14 Mei 1998 terdengar kabar bahwa sepanjang Jalan Slamet Riyadi penuh dengan kobaran api, Alfa Pabelan ( sekarang Carefour Pabelan ) yang terletak persis di depan UMS ( Universitas Muhamadiyah Surakarta ) menjadi sasaran pertama aksi mahasiswa menyusul kabar supermarket Super Ekonomi yang terletak di Purwosari ( sekarang menjadi Solo Center Point ) ludes dibakar dan dijarah oleh massa. Sami Luwes di Slamet Riyadi dan Pasar Legi, toserba Matahari dan beberapa toko sepatu dan baju di Singosaren penuh dengan kobaran api yang timbul dari ban mobil, kendaraan bermotor, perabot toko, barang-barang dagangan bahkan mayat. Ironisnya selain tim provokator, para penjarah juga tak lain adalah tetangga atau penduduk kampung sekitar yang terprovokasi… Masa dimana rasa kemanusiaan itu hilang termakan oleh hasutan para provokator.
Kediaman milik Harmoko, Menteri Penerangan kabinet saat itu yang terletak di Solo Baru menjadi salah satu rumah pejabat negara yang diamuk massa. Tak jauh dari situ, sebuah bioskop bernama Atrium, bioskop termewah saat saya masih remaja juga menjadi sasaran kerusuhan, apesnya saya belum pernah nonton di sana satu kalipun! Kabar anehnya, rumah tinggal milik presiden RI saat itu, Soeharto yang terletak di Kalitan lolos dari kobaran api. Ada gossip yang mengatakan batu yang dilempar oleh massa terpental seolah ada tameng kasat mata yang melindungi kediaman yang terletak persis di belakang bekas rumah sakit pusat ( sekarang Solo Paragon Mall ). Tidak pernah ada bukti yang membenarkan hal itu, ada juga pendapat yang mengatakan sesungguhnya massa memang tidak pernah menyerang Kalitan karena ada perintah tertentu? Who know…
Kalitan
foto keluarga Cendana ( saat masih belum terpecah belah )
nDalem Kalitan menjadi rumah kedua keluarga Soeharto saat beliau masih berkuasa mengingat istrinya, Raden Ayu Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan Bu Tien Soeharto lahir dan besar di kota Solo. Banyak aset milik keluarga Cendana tersebar di Solo dan sekitarnya, termasuk salah satunya hotel Sheraton Solo ( sekarang Lor Inn ) yang dikelola oleh anak bungsunya. Setelah masa kekuasaan Soeharto berakhir, rumah ini sudah tidak ditinggali lagi oleh anak-anaknya, mereka hanya sekedar mengontrol atau hadir saat ada perayaan tertentu saja, selebihnya mereka memilih menginap di hotel mewah. Hanya beberapa kerabat yang kadang singgah dan menginap di rumah tamu, bagian samping nDalem ini, kata pak satpam.
Tempat ini terbuka bagi pengunjung yang ingin melihat rupa dari bekas kediaman presiden kedua Republik Indonesia. Cukup mengisi buku tamu, pengunjung bisa melihat rumah dengan desain etnik Jawa yang masih memiliki pendopo lengkap dengan saka guru yang tinggi dan masih kokoh serta lantai marmer yang membuat suasana di dalam terasa adem. Foto berukuran besar mantan bapak dan ibu negara menghiasi pringgitan nDalem Kalitan yang terlihat minimalis tanpa perabot mewah di sekitarnya kecuali seperangkat gamelan kuno.
Provokasi demi provokasi selama dua hari penuh menuntun rombongan menyulut api di beberapa kawasan termasuk sebagian besar rumah dan toko milik etnis Tionghoa dan Arab, sebut saja Ketandan, Warung Miri, kawasan Villa Park Banjarsari, Nusukan, Gading, pusat perbelanjaan Beteng ( sekarang BTC ) yang didominasi oleh pedagang kain etnis Arab. Separuh kota diwarnai ketakutan, seluruh kota lumpuh! Gelap gulita selama dua malam menemani isak tangis dan pelukan dari kerabat yang meratapi kemalangannya.
Tertanggal 17 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari kekuasaan yang digenggam erat selama delapan periode atau sekitar 31 tahun ( 1967 – 1998 ). Sejarah kabur yang dipelajari di sekolah perlahan mulai terkuak, apa maksud supersemar, kebohongan di balik peristiwa gestapu dan cerita sesat yang lain. Kasus korban penculikan mulai diselidiki satu-persatu. Budaya yang dipaksa sembunyi selama puluhan tahun sudah terasa longgar untuk dipertunjukkan di hadapan khalayak umum. Tulisan-tulisan yang berisi kritikan terhadap pemerintah mulai berani diterbitkan meski tidak semuanya selamat akibat diberedel dan dibumi hanguskan oleh pihak tertentu di masa pemerintahan sebelumnya.
Kota Solo sendiri membutuhkan waktu lebih dari dua tahun semenjak reformasi untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Lautan api dan gelap gulita selama kerusuhan Mei 1998 serasa belum cukup. Solo kembali mengalami kerusuhan di tahun 1999 akibat tidak terpilihnya Megawati menjadi presiden ketiga Republik Indonesia. Balai kota dan Pasar Gede Hardjonagoro dibakar dan membuat Solo kembali jadi lautan api. Butuh waktu cukup lama untuk membenahi perekonomian yang terpuruk, butuh waktu lama untuk memberanikan diri buka toko hingga menjelang petang apalagi keluar sendirian di malam hari.
gerbang masuk Giribangun
Astana Giribangun
Mantan presiden Republik Indonesia kedua sudah wafat pada tahun 2008, dimakamkan bersanding dengan istri yang sudah mangkat terlebih dahulu ( 1996 ) dan menemaninya selama empat puluh sembilan tahun sejak menikah tahun 1947. Komplek pemakaman yang terletak di kecamatan Matesih, Karanganyar ( sekitar 45 menit dari kota Solo ) tersebut diberi nama Astana Giribangun. Berdiri di sebuah bukit yang konon sudah dibeli sejak beliau berkuasa membuat kompleks ini berudara sejuk dengan suasana pegunungan di sekelilingnya. Terletak tidak jauh dari kompleks pemakaman Praja Mangkunegaran ( Astana Mangadeg dan Astana Giri Layu ) membuat pembangunan Astana Giribangun menuai beragam kontroversi. Posisi bukan seorang raja apalagi kerabat dekat Mangkunegaran tidak berhak mendirikan sebuah astana menjadi salah satu alasan utama penolakan. Namun apa boleh buat, uang lebih berkuasa, masa kekuasaan yang sangat lama membuahkan suatu loyalitas dari kalangan tertentu yang membuat semuanya mudah untuk diatasi.
quote….
Astana Giribangun terbuka untuk peziarah yang ingin nyekar mantan presiden RI dengan catatan harus meninggalkan kartu identitas di pos jaga untuk mendapat selembar surat izin yang digunakan untuk masuk ke dalam. Sesampainya di atas kompleks makam, juru kunci akan membuka pintu pembatas makam utama jika ingin melihat dari dekat tempat peristirahatan terakhir mantan pemimpin negara kelahiran Bantul 8 Juni 1921. Pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar nisan di bagian dalam yang berisi makam Soeharto, Bu Tien didampingi kedua orang tua serta kakaknya. Marmer yang mendominasi bangunan kompleks makam utama membuat tempat ini serasa bukan seperti kuburan, lebih mirip sebuah mansion dengan pilar-pilar kayu jati yang kokoh dengan keindahan ukiran kayu yang menutupi makam utama. Perlu diketahui, juru kunci secara tidak langsung meminta imbalan, cukup beri dana sukarela ala kadarnya saja karena memberikan uang nggak jelas secara berlebihan kepada petugas itu tindakan tidak terpuji kan? ;-)
Amarah yang tersulut dari iming-iming akan sebuah perubahan besar sebuah demokrasi berimbas kerugian materi yang entah berapa triliun jumlahnya, nyawa-nyawa tak berdosa yang tewas selama kerusuhan yang terjadi sejak 12 Mei 1998 di Jakarta hingga berakhir 17 Mei 1998 tidak pernah digembor-gemborkan oleh media televisi. Semua seolah peristiwa yang tidak pernah terjadi! Peristiwa mencekam enam belas tahun lalu menyisakan kenangan buruk, ketakutan akan tindakan kriminal yang mungkin terulang lagi. Trauma melihat kepulan asap, rasa takut mendengar deru kendaraan, dan ketakutan lain membuat beberapa korban memutuskan keluar dari kota kelahirannya dan memulai hidup baru di luar kota atau luar negeri. Korban yang bisa mengatasi traumanya tetap bertahan di kota yang membesarkannya, ikhlas, merelakan apa yang sudah diambil, memupuk kembali semangat untuk bertahan hidup.
14 Mei 2014…….
Note : Artikel ini tidak ditulis untuk memojokkan pihak tertentu, meragukan keloyalan pihak tertentu terhadap penguasa orba. Saya hanya ingin memberikan sebuah kenyataan yang mungkin dilupakan oleh generasi muda bahwa pernah terjadi sebuah pemainan politik sedemikian kotornya tanpa memandang bulu di tanah air. Permainan politik yang katanya mampu membuat Indonesia menjadi lebih baik justru memakan banyak korban. Tak terhitung lagi ada berapa banyak kota di pulau Jawa yang porak-poranda seperti Jakarta dan Solo saat kerusuhan Mei 1998. Sudah bukan waktunya masyarakat dibodohi oleh permainan politik yang menyesatkan, pencitraan tokoh politik baru yang merajalela di media apapun, apalagi sejarah masa lalu yang terus-menerus dibuat kabur.
Saatnya kita #MenolakLupa kawan…
Tanggal bersejarah yang pas sama dengan ultahku, ga bisa dan ga akan terlupa. #menolaklupa
Mbak Mindy saat kejadian masih di Indonesia atau udah di luar? Melupakan kejadian Mei 1998 sama arti dengan menghapus sebuah catatan sejarah…
sejarah kelam bangsa ini yg konon akan memberi perubahan lebih baik, tapi nyatanya?
Nyatanya cuma prihatin dan prihatin… makanya tagline “Piye enak zamanku to” mulai meracuni masyarakat.
Lampung pas Mei 1998 kena dampak atau nggak?
*kuhapus duka dengan air mata…
Mari #menolakLupa…
Mas Isna sempat merasakan juga peristiwa tsb?
Ngomong-ngomong uang, di Kasultanan Cirebon kami terus menerus dimintai uang di setiap sudut kasultanan. Mereka pun mintanya nggak sungkan-sungkan lagi. Aku kalau sama yang model ngemis-ngemis gini sebel.
Padahal mereka udah terima gaji sendiri dari pengelola tempat, beda kalo itu mungkin milik pemerintah yang mungkin ( lagi ) gaji dikit ya
Baru akan ke Cirebon nih, ada artikelnya di blog nggak? hehehe
Aku cuma nulis tentang batik. Maaf aku post di sini ya: http://binibule.com/2014/04/25/mabuk-megamendung-di-cirebon/.
Kalau soal kasultanannya males banget nulisnya, panjaaaang banget bow. tapi saranku kalau ke kasultanan datangnya pagi aja, terus cari guide yang senior.
Noted. Semoga dapet guide tuir yang nggak matre di sana :-D
Waktu itu sampe nginep di rumah temen karena gak berani pulang, trus pagi-pagi buta jalan kaki deh ke stasiun kereta. Suasananya berasa di medan perang, jalanan lengang & sepi, banyak kendaraan hangus, ada tank juga. Untung kereta masih beroperasi..
#merinding
#menolaklupa
Posisi di Jakarta pas kerusuhan, bang? Mei 98 sungguh peristiwa yang nggak bisa dilupain bagi yang merasakan sendiri, berbahagialah yang saat itu masih TK atau bahkan belum lahir hehe
Iya di Jakarta. Waktu itu malah gak ngeh ada kerusuhan sampe denger berita di radio, terus naik ke loteng rumah temen deh buat memantau kondisi.
Astaga, di empat penjuru kota udah banyak asap mengepul, masih merinding bayanginnya :(
Moment bersejarah paling menegangkan >.<
Aku merinding bacanya… Dan baru tau juga kalau Sheraton Solo itu dulu milik keluarga Cendana.
Semoga hal ini tidak terulang lagi dalam sejarah bangsa kita ya…
Sampe skrg anak bungsu keluarga Cendana masih jd owner Lor Inn :-)
Mereka jg punya aset seperti rumah kuno di lingkup keraton Kasunanan dan lain lagi yg nggak keekpos hehe.
Yup semoga nggak terulang lagi, krn demokrasi bisa kok dikritik dan coba dibenahi tanpa makan korban.
Yah kekayaan kalo diekspos nanti bisa….
dan yang menyeramkan, orang yg kabarnya terlibat di peristiwa Mei 16 tahun lalu itu justru nyapres sekarang. dan kita semua tahu, apa pun bisa terjadi di Indonesia ini. orang tersebut pun bisa terpilih jadi presiden nantinya. kalau itu terjadi, entahlah mas Halim, ngeri saya membayangkannya.
Cerita masa lalu sudah berlalu, belajar lebih smart agar tidak dengan mudah dibodohi oleh pihak tertentu sehingga tidak timbul perpecahan lagi di negeri kita tercinta.Mari #MenolakLupa…
Setiap baca postingan soal momen kelam itu pasti jadi merinding deh lim. jangan sampai terulang lagi pokoknya. Cukup sekali!
Masa-masa diberlakukan jam malam, menjaga ucap kata meski itu candaan agar tidak menyinggung pihak tertentu, kalo jomblo nggak boleh keluar sampe jam 6 sore #ehh… Ah beruntunglah yang masih oek-oek atau malah belum lahir tahun 1998 ya mbak :-)
masyarakat yg (katanya) penuh tenggang rasa ternyata mudah dihasut oleh provokator :(
Terus mata pelajaran sekolah yg paling gethol ttg tenggang rasa bernama PMP – Pendidikan Moral Pancasila diganti judul jadi PPKn… Ngerasain jg nggak? :-)