Rencana tinggal rencana. Rasa takut dengan kondisi alam yang tak menentu di musim pancaroba ditambah keterikatan akan waktu yang tertera di tiket pulang ke Jawa menjadi alasannya. Memutuskan batal menyeberang ke Pulau Rote bukan berarti urusan sudah selesai. Harus menghabiskan sisa waktu ke mana? Sempat memperdebatkan rute Kolbano, haruskah ke sana, tidakkah lebih baik langsung meluncur ke Soe untuk menuju destinasi ( dadakan ) berikutnya?
Ya sudah, mari berjalan tanpa rencana saja…
Sepeda motor sewaan sudah mulai membangkang, laju tidak bisa sekencang seperti saat berangkat dari Kupang. Dari Pantai Kolbano harus kembali ke Jembatan Noelmina kemudian mengambil arah menuju Kota Soe, sekitar lima puluh kilometer dari sana. Jalan lurus berubah menjadi sedikit berkelok, agak menanjak, lalu lebih banyak kelokan, tanjakan dan turunan. Semua disertai pemandangan yang memikat mata kamera. Sayangnya tidak bisa berkali-kali berhenti hanya untuk mengambil gambar karena matahari hampir terbenam. Kecepatan mesin sepeda motor juga sering memelan tanpa sebab. Cemas dia semakin lelah.
Empat puluh menit kemudian kami tiba dan singgah sebentar di Kota SOE demi mendinginkan mesin sepeda motor serta mengisi perut yang sudah keroncongan sejak tadi siang. “Mau lanjut ke Kapan atau cari tempat ngemper di Soe?”, seketika hening meski sebenarnya mulut sudah tidak sabar melahap habis sepotong ayam goreng.
Semua berawal dari iming-iming seorang kawan di Kupang yang membeberkan keindahan Desa Fatumnasi yang terletak di lereng Gunung Mutis, gunung tertinggi di NTT dengan ketinggian 2427 mdpl. Digambarkan pohon-pohon eukaliptus dan cendana bertebaran di Cagar Alam Fatumnasi bagai settingan negeri dongeng, bahkan gambar-gambar di dunia maya melukiskannya seperti Alpen ala Timor.
Sayangnya hari itu kami terlalu lama terlena dengan Kolbano sehingga matahari sudah keburu tenggelam saat tiba di Desa Kapan sehingga tidak memungkinkan kami melanjutkan perjalanan dan menginap di homestay di Desa Fatumnasi mengingat jalan menuju ke sana bergelombang dan minim penerangan. Desa Kapan sendiri merupakan sebuah desa di Kecamatan Mollo Utara, titik tengah antara Kota Soe dan Desa Fatumnasi.
Singkat cerita kami nekad menerobos udara dingin khas dataran tinggi di sepanjang perjalanan menuju Desa Kapan. Lalu niat ngemper di Masjid At Taqwa berakhir dengan tawaran menginap dan diajak sahur ( saat itu bulan puasa ) di rumah pak Ustad. Keesokan harinya datang kebaikan lain dari mas Slamet yang bertugas di Polsek Mollo Utara meminjamkan sepeda motornya setelah melihat sepeda motor sewaan kami riskan dibawa naik sampai ke Fatumnasi. Sungguh kejutan tak terduga di sebuah perjalanan. :-)
Pemandangan sepanjang jalan menuju Fatumnasi memang demikian indah seperti yang dilukiskan banyak orang. Hamparan rumput hijau dengan sapi-sapi yang tengah merumput, hutan pinus yang menyeruakkan aroma harum, membuat rileks sejenak perasaan tegang terhadap kondisi jalan yang semakin lama jauh dari bayangan. Lebaynya saya rela menyerahkan kemudi dan berkali-kali turun dari kendaraan. Lebih memilih jalan kaki sampai ngos-ngosan di satu titik yang saya anggap aman untuk dilalui sepeda motor, berdalih takut bonyok jatuh dari sepeda motor. Salahkan saja faktor U!
Setelah melihat kondisi jalan di pagi hari hanya bisa bersyukur tidak nekad naik sepeda motor matic di malam sebelumnya. Hati kecil juga berucap syukur karena jalan yang jauh dari kata mulus ini justru menjadi salah satu poin untuk mempertahankan kealamian Fatumnasi dari tipe wisatawan “datang, ambil foto, lalu pulang” yang kadang membawa banyak sampah lalu meninggalkannya begitu saja. Suara kecil yang terdengar kejam tapi… ahh sudahlah. Tak ada habisnya berbicara tentang kesadaran wisatawan mengenai sampah di tiap tempat indah yang diklaim sebagai tempat wisata. Betul?
Meski singkat Fatumnasi telah memberi saya kesan, pemandangan hingga sentilan yang tak terlupakan. Apalagi setelah bertemu dan berbincang sebentar dengan Mateos Anin selaku Kepala Adat Fatumnasi. Kata demi kata diucapkan penuh dengan pesan dan kebijakan yang tidak memihak saat saya menanyakan perihal sejarah Fatumnasi hingga peranan lokal terhadap status cagar alam. Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama di sana apalagi menyempatkan bermalam di Homestay “Lopo Mutis” ( harga penginapan 100.000 per orang termasuk makan ) yang dikelolanya. Lagi-lagi waktu menjadi alasannya.
Tak apalah, selalu ada alasan untuk kembali lagi ke Alpen van Timor. ;-)
Save our nature.
Asik banget kayaknya perjalanan kesini ya Lim? Aku masih belum bisa bayangin sejuknya, karena sampai saat ini bayanganku Indonesia Timur itu panas membara. Tapi dari tulisanmu, kayaknya di situ adem ya. Andai waktu lebih banyak, pasti betah untuk tinggal lebih lama.
Ngomong itu batu karang besar bisa ada di situ darimana ya? Ada gunung besarkah di sekitar situ?
Udaranya dingin banget kak Bart. Ketinggian Gunung Mutis adalah 2247 mdpl menjadikannya gunung tertinggi di Timor, sedangkan Fatumnasi hanya 1150 mdpl. Waktu itu bobok ngemper di Desa Kapan saja sudah menggigil, entah yang memutuskan bermalam di Fatumnasi.
Mengenai karang besar ada kaitannya dengan cerita daerah Fatumnasi, nanti saya kisahkan di tulisan terpisah. ;-)
Wow lumayan juga ya, udah mirip-mirip puncak lah. Tapi pastinya lebih asik, karena lebih alami.
Nah iya, kutunggu yaaa kisah batu karang besarnya itu :-)
sunsetnya magis kaaaak, liat fotonya aja udah seneng banget nih….gimana liat langsung ya
Aslinya lebih cakep dari pada foto, betah deh menggalau di sini #lahh. Udaranya juga dingin, kak Dita pasti tambah seneng lagi kalo nginap di Fatumnasi karena nggak perlu mandi hahaha
duh, fix ini mah harus ke Kupang. Halim menggoda banget iih tripnya, fotonya keren, tempat-tempat yang dikunjungi bikin pengen guling-gulingan di tanah.
Ya ampun jangan guling-guling di tanah, Yuki. Mending makan babi guling atau… Sei Kupang yang enaknya minta ampun :-P
hahaha, aku mau bawa tikar buat piknik pokoknya! duuuh jangan godain aku lagiiii…
Dari dulu pengin ke Soe tapi ga jadi2, seringnya cuma numpang lewat #Duh
Dari Soe jablas dikit sudah sampe Kefamenanu tuh. Ada sonaf2 yang mudah dijangkau & bs ngobrol sama rajanya juga ^_^
Ahh itu sudah… Rasanya nggak cukup seminggu di Timor. Next trip mo mlipir sampai Pantai Atapupu lanjut Atambua mungkin lanjut ke Dili :-D
kereeen mas halim :)
Matur nuwun bro ;-)
Dari dulu pengen banget itu ke Taman Nasional Gunung Mutis. Btw, kok gak ada liputan tentang tenun ikatnya sih ini. Apa belum ya? *sabar menunggu*
Gunung Mutis bukan Taman Nasional, kak Adie :-)
Tenunnya beli jadi di kota karena kemarin nggak sempat melipir ke desa pembuatnya hehehe
Jadi kamu sempat kesini jugak? Argggh… kenapa tempo hari aku cuma 3 hari 2 malam di Kupang ya T_T
*sesal kemudian tiada guna
*iya tau kok
Iya kakak, setelah putusin batal nyeberang ke pulau yang ngehits itu lalu kami berdua nekad naik gunung biar pikiran adem nggak panas hihihi
Aduh, Indonesia memang keren yak…semoga suatu saat bisa ke Gunung Mutis
Amin. Mudah-mudahan keinginannya terkabul ;-)
Kohal naik motor sendirian? :|
Petualangannya seru! Berkelana di tempat terpencil dan menemukan keindahan tak terduga. Aku percaya, mas. Saat kita menginginkan sesuatu, seisi semesta berpadu untuk mewujudkannya :)
Sayang ya belum bisa eksplor penuh Fatumnasi. Kayaknya masih banyak harta karun lain :D
Banyak melewatkan obyek menarik di sekitar sana karena kudu berkejaran dengan waktu. Hayoo Nugie mesti cuma scroll gambar aja ya sampai nggak baca dengan teliti aku pergi sama siapa hahaha
Itu foto ke-2 macam wallpaper di komputer :)
Wallpaper di komputer, syukurlah bukan wallpaper yang lain hehehe. Makasih Om Ndut ;-)