Banyak penduduk yang kurang mengerti arti sejarah di balik barang berharga yang tak sengaja mereka temukan di sebuah lokasi. Mereka menemukan berkeping-keping koin emas, namun apa daya jika mereka yang hidup kekurangan menganggap koin emas tersebut bisa menaikkan taraf hidup mereka. Koin emas kuno menjadi uang tunai, makam kuno ditimbun bangunan ruko, bangunan bersejarah dirubuhkan, sampai dengan penemuan batu candi yang malah dijadikan pondasi rumah. Gambaran ironi umum yang sering ditemui di Indonesia, sebuah pemahaman yang membutuhkan kesabaran dan waktu lama untuk menggugah hati nurani.
Kabupaten Tuban yang berulang tahun setiap tanggal 12 November merupakan salah satu kota pelabuhan mahsyur pada masa kerajaan Majapahit. Meski semua itu tinggal kenangan, masyarakat setempat tidak begitu saja dibuat lupa akan sejarah kota yang mereka huni. Penemuan benda bersejarah yang ditemukan di sekitar kota serta pantai utara Tuban dikumpulkan jadi satu di sebuah museum. Meski perhatian pengunjung sering kali teralihkan oleh makam Sunan Bonang yang terletak persis di sebelah museum, percayalah museum yang saya maksud layak untuk disambangi.
Bangunan tua berlapis cat warna pink pastel dengan tulisan Museum Kambang Putih memiliki beragam koleksi yang seolah menggambarkan wajah Tuban sesungguhnya. Pengunjung akan disambut papan besar di ruang depan bertuliskan nama-nama bupati yang memimpin Tuban mulai dari RA Dandang Watjono ( 1264 – 1282 ), RH Ronggolawe ( 1282 – 1291 ), kemudian muncul nama H Hindarto ( 1996 – 2001 ) sosok yang mendorong pengelolaan Goa Akbar menjadi lebih baik, serta puluhan nama bupati yang lain. Persis di sebelahnya terdapat almari kaca lumayan besar yang berisi sebuah pohon Kalpataru – Kalp berarti keinginan ( Sansekerta ), Taru berarti pohon ( Jawa Kuno ). Ukiran pohon yang konon dibuat sejak tahun 1687 Masehi tersebut bukan merupakan piagam penghargaan yang sering diberikan oleh dinas lingkungan hidup kepada seorang penggerak lingkungan, melainkan ukiran terbuat dari kayu jati peninggalan bersejarah dari Sunan Bonang yang kurang lebih memiliki makna persatuan dalam menjaga kerukunan antar beragama. Terdapat empat cabang di Kalpataru yang menggambarkan motif tumbuhan serta bangunan suci dari empat agama ( Islam, Hindu, Katolik, Tri Dharma – Kong Hu Chu ). Gambaran untuk menjaga kerukunan antar beragama sudah dibina sejak zaman Sunan Bonang. Keren kan?
Mulai dari koleksi kuno yang beberapa di antaranya merupakan hadiah dari kerajaan Nusantara, seperti keris hadiah dari Mangkunegoro dan Paku Buwono, nekara raksasa dengan arca gajah dari zaman perunggu yang diperkirakan sudah ada sejak 500 sebelum Masehi menempati ruangan berikutnya. Masuk ke ruang tengah koleksi terlihat semakin ramai, almari kaca besar dengan beberapa arca kuno peninggalan Majapahit di dalamnya, tembikar-tembikar kuno, guci porselen dari negeri Tiongkok sampai jangkar raksasa dari abad delapan Masehi yang ditemukan tak jauh dari Pantai Boom. Tak ketinggalan juga dua buah yoni berukuran sangat besar di halaman belakang museum, batu pusaka yang punya cerita mitos batu ( watu ) yang jatuh ( tiban ) dari langit saat sepasang burung membawanya dari Majapahit menuju Demak.
Tidak hanya memaparkan peninggalan prasejarah saja, Museum Kambang Putih juga memaparkan seperti apa kegiatan sehari-hari masyarakat Tuban, seperti peraga motif Batik Tuban, proses pembuatan Tenun Gedog, baju adat Jawa Timur-an khas Tuban, sampai piranti lengkap Ongkek, wadah untuk menjual legen ( sadapan dari bunga pohon lontar atau Siwalan ). Menuju pintu keluar, pengunjung akan melihat satu ruang khusus yang diisi koleksi kaset dan beberapa gambar dari Koes Plus, grup musik terkenal era tahun 70-an. Memang koleksi belum tertata rapi, namun tak bisa dipungkiri bahwa pelantun lagu “Diana” dan “Kolam Susu” adalah kelahiran kota Tuban dan tentu saja menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Tuban.
Perlu diketahui bahwa Museum Kambang Putih tidak memunggut biaya masuk museum alias GRATIS!!! Berbeda dengan kebanyakan museum yang mengharuskan pengunjungnya membayar sekian rupiah untuk masuk ke sebuah museum. Dengan iming-iming GRATIS tentu saja anak muda tidak segan untuk berkunjung. Mungkin pertama kali mereka hanya sekedar melihat tanpa mempelajari dan memahami arti sejarah di balik koleksi di dalam museum. Tapi saya percaya kalau kelak mereka akan kembali lagi untuk kesekian kalinya dan mengenalkan museum ini ke teman mereka yang sedang berlibur ke Tuban. #kode
Hal menarik di Tuban tak hanya museum yang sudah saya paparkan di atas, namun juga suasana kota yang terlihat unik dari kota lainnya. Banyak media bahkan pemerintah daerahnya mengatakan Tuban sebagai Kota Seribu Goa, namun bagi saya Tuban merupakan kota yang belum siap dengan objek wisata goa bawah tanahnya. Ada juga yang mengatakan Tuban sebagai kota wisata religi, anggapan yang tidak salah namun bayangkan ada berapa kota yang bisa disebut demikian di kota-kota yang memiliki kompleks makam salah satu dari para Wali Songo. Tuban lebih cocok diberi predikat yang lebih natural dan unik.
Coba tenggok sebentar puluhan mungkin ratusan becak yang antre rapi persis di depan Museum Kambang Putih. Pengemudi becak terlihat menunggu penumpang yang akan menyewa jasa kayuh mereka selesai berziarah dari makam Sunan Bonang. Begitu pula sebaliknya, terlihat becak-becak sibuk memutar arah menuju barisan paling belakang setelah selesai menurunkan penumpang di depan Masjid Agung Tuban. Mereka dengan sadar antre, tidak terlihat saling serobot, belum mengganti tenaga kayuh mereka dengan tenaga mesin, sekali lagi menjadi sebuah tontonan unik untuk wisatawan aneh seperti saya hehe… Bagi saya, Tuban adalah Kota Seribu Becak ;-)
Note : Sekali lagi hanya bisa mengatakan sekecil apapun kotamu, ada banyak potensi wisata yang besar di setiap sudutnya. Begitu pula semetropolit apapun kotamu, ada banyak potensi wisata yang bisa digali di setiap kelurahan bahkan kampung. Jadi tunggu apa lagi? *wink
Say thank you to nyonya rumah Tuban yang baik hati mbak Dian Rustya en Endah, serta teman seperjalanan yang memberi kesempatan “manut” kali ini, mbak Yusmei en Azizah :-D
Wwwaaaahhh Lim, suka sekali dengan tulisanmu ini ^_^ #SetorJempol
Aww aww jadi malu nyonya rumah Tuban kasih komen pertama :-D
Baru tahu kalau namanya wadah itu ongkek.
Pikulannya bernama Ongkek, tabung tempat legen disebut Bethek, kemudian selalu ada caping, sandal jepit yang disebut sandal gebang. Unik tapi sayangnya sudah tidak dipertahankan lagi, waktu ke sana nggak pernah menemukan satupun di jalan.
upload dong foto kalpatarunya :D
Cuma upload yang agak close up aja hehe… Hasil foto kurang bagus pas diambil dari jauh karena pantulan kaca :-)
wah…harus datang langsung ke tuban dah … gak bisa bayangin kayak apa bentuknya :-)
mbok aku diajak2 ngesot ke Tuban….
mbok ayo tok no… colek mbak Dian dulu >.<
Saya baru sekali ke Tuban dan cuma sempet ngunjungin goa akbar sama makam sunan Bonang aja, kesannya sih kotanya bersih, rapi dan sepi yah.
Oia yang paling berkesan justru makanannya, enak-enak dan murah.
Salam kenal yaa..
Salam kenal kawan… Ahha betul, kuliner Tuban maknyus en khas banget :-)
Wow lucu juga ya banyak dengan becak … Tp lbh baik becak, drpd kendaraan bermotor … Becak lbh ramah lingkungan … :-)
Let’s go green judulnya hahaha
Ini tulisannya t.o.p banget…dan mari kapan2 gantian nggeret mbak dian dan endah ke solo :))
Ahh mbak Yusmei bisa aja… menunggu cerita Tuban versi mu juga loh :-)
Sudah lama saya tidak naik becak -,-
salam kenal ^^
Salam kenal juga Titis.
Yuk main ke Solo atau Yogya biar bisa naik becak setiap hari hehehe
Reblogged this on mangga sumping di kota hujan.
Koq ga kepikiran kalau Tuban itu banyak becaknya, lain kali bisa dinikmati, sambil ziarah ke kota ini
udah lama gak ngelihat becak euy, kayaknya harus main – main ke Tuban ini :D
Banyak wisata Tuban yang belum dikoar-koar oleh media… Yuk ke Tuban :-)
wahh jadi pengen ke museum kambang putih
hhhe
salam kenal
Salam kenal… :-)