Ada banyak pilihan untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus. Mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di sekolah, nyekar ke taman makam pahlawan, sampai tradisi lomba makan kerupuk, tarik tambang, panjat pinang di kampung. Hari istimewa bagi seluruh penduduk Indonesia tahun ini justru saya lewatkan dengan menghabiskan waktu di salah satu bangunan bersejarah yang terletak di Jawa Timur.
Tempat tujuan saya hanya berjarak 75 km saja dari kota Surakarta atau Solo, namun jalan yang saya lewati bisa dibilang jalan negara yang rawan kecelakaan. Dibutuhkan kondisi yang fix, mata yang harus kuat menahan kantuk, serta kesabaran tingkat tinggi menghadapi bus antar propinsi yang ugal-ugalan. Sesekali kepala menoleh ke samping, menikmati hutan pohon jati yang rimbun di sepanjang perjalanan dari Sragen ( Jawa Tengah ) menuju Ngawi, sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur.
Ngawi sebuah kota yang tidak terlalu ramai, terlihat beberapa bemot ( becak motor ) berlalu lalang di tengah jalan, kendaraan beroda empat yang sekedar melintas tanpa singgah lama, sedikit mobil ber-plat luar kota yang berhenti membeli keripik tempe, oleh-oleh khas Ngawi. Terdengar seperti kota yang membosankan ya?
Eitt jangan salah, kawan… Ngawi mempunyai sebuah tempat wisata yang tidak bisa diremehkan. Tidak jauh dari alun-alun, tepatnya di Jalan Untung Suropati terdapat sebuah benteng peninggalan Belanda bernama Benteng Van Den Bosch.
Benteng Van Den Bosch merupakan satu dari beberapa benteng yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda seperti Benteng Willem I di Ambarawa, Benteng Vastenburg di Solo, dan benteng lain di Pulau Jawa. Kondisi yang tidak terawat membuat benteng yang dibangun sejak tahun 1839 ini terlihat seperti saudara-saudaranya. Tidak ada dana perawatan dan kepedulian pemerintah setempat menjadi lagu lama bagi setiap upaya pelestarian cagar budaya.
Benteng ini dibangun di tepi pertemuan sungai Bengawan Solo dengan Bengawan Madiun, dikelilingi tanggul seolah benteng ini terpendam di bawah tanah. Tak heran jika penduduk sekitar lebih mengenal Benteng Van Den Bosch dengan sebutan Benteng Pendem. Berdiri di atas lahan seluas satu hektar membuat benteng yang dibangun atas prakarsai Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch ini mampu menampung kurang lebih 300 tentara pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Selain dikelilingi oleh tanggul tinggi, benteng ini juga dikelilingi oleh parit. Kondisi sekarang, parit sudah tertutup oleh tanah, gerbang sekaligus jembatan juga tinggal kenangan, hanya menyisakan dua buah katrol berkarat di gerbang depan.
Benteng berbentuk persegi ini memiliki dua lantai yang konon dahulu difungsikan sebagai asrama tentara dan gudang senjata. Di lantai dasar masih terlihat sebuah ruangan yang diisi puluhan toilet jongkok yang masih utuh, menandakan bahwa benteng ini dulu memiliki sarana MCK yang memadai. Bahkan di tepi sungai pernah ditemukan reruntuhan yang konon merupakan bar / diskotek milik tentara Belanda. Sayangnya kondisi sekarang tidak tampak seperti bilik asrama lagi, hanya terlihat bangunan tanpa atap, sumur yang sudah tertutup oleh timbunan sampah, saluran pembuangan yang sudah tidak terwujud lagi, serta banyak pasangan mojok di tempat sepi #ups.
Kondisi lantai dua juga tidak jauh berbeda, tidak bisa dilewati karena beberapanya sudah ambrol. Yang belum ambrol berhasil diselamatkan oleh para Kostrad, ditutup batu bata yang rapi kemudian dilapisi semen halus, diberi nomor kepemilikan di setiap pintu dan berakhir sebagai rumah baru burung walet! Kondisi yang sama persis seperti yang saya lihat di Ambarawa!
Tempat yang menjadi saksi bisu PKI di tahun 1965 ini sudah dibuka untuk umum sejak dua tahun yang lalu. Jangan khawatir tersengat matahari karena tersedia penyewaan topi. Jangan khawatir kelaparan karena terdapat dua kantin di dalam benteng. *wink
Note : Benteng ini terletak di dalam kompleks Batalyon Kostrad “Angicipi Yudha” yang terletak di seberang Taman Makam Pahlawan Dr Rajiman Wedyadiningrat. Jangan terkecoh dengan gerbang “Angicipi Yudha”. Jangan ragu untuk langsung masuk ke dalam kompleks tersebut, tidak perlu lapor ke petugas yang jaga jika tidak ingin dipaksa meninggalkan KTP dan terpaksa meninggalkan uang rokok ke mereka. Setelah memasuki gerbang “Angicipi Yudha” dan melewati sebuah taman, langsung ambil belokan ke arah kanan sampai menemukan penjaga benteng yang sesungguhnya di depan gerbang berbentuk setengah lingkaran.
Haruskah bersedih? Haruskah tersenyum paksa?
Inilah gambaran cagar budaya di Indonesia.
Yuk kenali dan belajar sejarah di kotamu, sebelum semua terlambat untuk diatasi…
Cheers and Peace ;-)
Ah nyesek banget, bangunan bersejarah dianggap gak bernilai, bener katamu ‘gak ada dana itu lagu lama’
Gak mau jadi penggerak anak muda lokal untuk mengembangkan budaya aja Lim, kayak di Jkarta ada Sahabat Museum
Sering terlintas membuat gerakan serupa, tapi belum sempat direalisisasikan sampai sekarang :-)
ayo Mas Lim bkin gerakan cinta bangunan bersejarah, mungkin bisa dimulai dari Solo :)
eh ada yang nyebut2 sahabat museum ;)
baru tau …………….
pulkam ke ambarawa niat pengen ke willem, cuma 5 menit dr rumah
tp malesnya minta ampun haha
Kondisi Willem I masih lebih bagus daripada Van Den Bosch. Ayo jenguk sebentar mumpung kondisinya belum bertambah parah :-D
entar deh, oktober rencana pulkam kok ;)
Klo jalan-jalan gini biasanya sendiri atau bareng komunitas?
Jadi pengen jalan-jalan ke tempat kek gini juga..
Di Bandung gak ada kota tua, bangunan lama kebanyakan dipakai kantor pemerintahan, bank, atau bahkan factory outlet *parah :D
Jalan sendiri kalo ke benteng-benteng di sekitar Solo. Kalo blusukan kampung baru ikut komunitas hehe.
Bandung harusnya lebih banyak bangunan yang sarat sejarah. Kalo ada bangunan kuno yang kosong lama coba aja dikunjungi, siapa tahu bisa masuk :-)
Justru itu di Bandung bangunan lamanya digunakan semua, ada yg jadi sekolah juga.. paling goa-goa aja yg ada..
Goa Jepang en Goa Belanda di Tahura Juanda ya? Kereenn loh goa-goa nya :-)
Bangunan yang masih digunakan mungkin malah lebih gampang dikorek info sejarahnya. Kalo next time aku ke Bandung, hunting bangunan kuno yuk :-)
Iya yg di Dago..ayoo..ditunggu kedatangannya..^^
wah, eduwisata sekalian ya ini, seruuuu! betul deh, di bandung kebanyakan gedung peninggalan sejarah banyaknya dibuat jadi factory outlet dll. nah, berhubung sekarang tinggalnya di Banten, disini juga ada peninggalan sejarah yang keren, keraton surosowan sama benteng apa gitu namanya lupa di objek wisata banten lama yang terkenal wisata religinya :D
Banten masih sarat sejarah yahh…
Belum kesampaian jelajah bekas peninggalan keraton Banten. Mungkin suatu saat akan ke sana :-)
Salah satu kebanggaan kota Ngawi mas broo :D
Benteng Van Den Bosch asli kerennn :-)
iya bang, sayang rada ngga keurus. Ada cita-cita kalau sukses pengen majuin pariwisata di ngawi, Oh iya bang kalau mampir di ngawi lagi kontak2 email saya. Bakalan saya jamu di ngawi :D
Wahhh beneran nih? Asyikk mau dijamu… Siap bro ;-)
Pingback: Secuil Cerita dari Ngawi | Beta Cinta Indonesia
Mantap mas ;) saya juga udah 2 x ke Benteng Pendem. tempatnya memprihatinkan sih..
Senasib sama Benteng Willem I Ambarawa, dan sebagai pengunjung cuma bisa gregetan lihat banyak lubang buat sarang walet :-|
kalo di Bandung ada benteng gak ya gan? buat nambah pengetahuan …
Setahu saya Bandung dan Bogor difokuskan sebagai pusat hiburan oleh pejabat Belanda agar mereka tidak perlu jauh dari Batavia saat jenuh dengan pekerjaan. Jadi tidak pernah dibangun benteng khusus pertahanan militer :-)