Berawal dari artikel yang menulis tentang keindahan sebuah festival yang diselenggarakan oleh Komunitas Lima Gunung di Jawa Tengah. Komunitas tersebut merupakan wujud apresiasi para petani sekaligus seniman di dusun-dusun kawasan Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Sumbing dan Menoreh. Festival diadakan setiap tahunnya dengan lokasi berpindah-pindah dari satu kawasan gunung ke gunung lain. Sebagian besar tarian yang dibawakan adalah tarian daerah yang mereka pelajari turun-temurun yang dewasa ini sudah mulai langka.
Lokasi Festival Lima Gunung tahun 2013 ( 28 – 30 Juni ) berada di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Gunung Andong. Di manakah Ngablak berada? Menurut peta, kawasan ini bisa ditempuh melalui jalur Magelang – Secang – Ngablak atau jalur Selo – Ketep – Ngablak. Atas rekomendasi seorang kawan, saya dianjurkan melewati jalur Selo – Ketep – Ngablak yang memiliki waktu tempuh lebih dekat mengingat posisi saya berada di kota Solo.
Jalan raya Solo menuju kota Boyolali sudah memiliki aspal mulus yang enak untuk dilewati, tapi setelah memasuki jalur menuju kawasan Selo, jalan penuh dengan lubang seolah perasaan galau yang suka muncul di tengah hati yang kosong #ehh.
Melewati jalur pegunungan di sebelah timur Gunung Merapi ini tidak semudah yang saya bayangkan, harus melewati tanjakan dan turunan tajam selama kurang lebih satu jam perjalanan. Tapi pemandangan indah lereng pegunungan membuat rasa capek hilang perlahan. Sekali waktu, saya menghentikan laju kendaraan dan memandang hamparan hijau yang terbentang luas di lereng gunung. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa tempat ini pernah diselimuti abu vulkanik selama berbulan-bulan saat terjadi bencana letusan Gunung Merapi beberapa tahun silam. Hanya bisa bersyukur melihat alam dan kegiatan warga yang sudah kembali seperti semula.
Sesampainya di kawasan wisata Selo, saya melihat papan petunjuk yang mengarahkan pejalan menuju sebuah gardu pandang yang terletak persis di kaki Gunung Merapi. Jalan yang harus dilewati tidak seperti tanjakan sebelumnya. Rasa penasaran melebihi rasa takut jadi tetap Let’s Go! Tanjakan New Selo melebihi tanjakan yang pernah saya lewati seperti saat menuju Candi Cetho. Jantung berdebar kencang, mulut komat-kamit memohon agar mesin tidak mogok di tengah tanjakan apalagi sampai ( amit-amit ) terjatuh dari motor. Badan terus condong ke depan dengan telapak tangan yang terus mengenggam erat setang motor. Lima menit terasa setengah jam. Huft… Hanya ada perasaan lega saat saya bisa melewati jalur dengan kemiringan 30 derajat ini. Aksi nekad menghasilkan kepuasan yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Pemandangan Gunung Merbabu dan tiga gunung lainnya dengan latar belakang langit biru membuat saya ingin berteriak “Alangkah indahnya negeri ini…”.
Malu bertanya sesat di jalan. Salah baca petunjuk juga sesat di jalan! Grabak dikira Ngablak itu kesalahan yang fatal, kawan… Nyasar membuat saya terpaksa masuk ke kota Magelang terlebih dahulu. Akibat nyasar pula, saya menyempatkan diri mendaki Gunung Tidar yang konon dianggap sebagai pakunya Pulau Jawa.
Tidak ada biaya retribusi resmi saat menaiki Gunung Tidar, pengunjung hanya dipersilakan mengisi buku tamu dan membayar sukarela ke penjaga pos. Hanya perlu menyiapkan air mineral dan tenaga yang cukup untuk menaiki ratusan anak tangga menuju puncak. Bau harum pohon pinus, tiupan angin sepoi-sepoi, serta beberapa makam menemani langkah saya menuju puncak. Ya. Ada beberapa makam di Gunung Tidar, di antara nya adalah makam Syekh Subakir, Kyai Panjang, dan Kyai Semar. Sesampainya di puncak, pengunjung bisa melihat langsung “paku Pulau Jawa” yang disimbolkan dengan tugu kecil bertuliskan aksara Jawa “SA” dengan pagar besi dan bunga sesaji mengelilinginya.
( cerita lengkap tentang Gunung Tidar bisa klik di sini )
Ada warga yang terdengar sabar, ada pula yang terdengar jutek saat memberitahu arah menuju desa Mantran Wetan. Setelah berulang kali nyasar, hanya ada perasaan plong saat melihat gerbang selamat datang di Desa Mantran Wetan yang terbuat dari jalinan anyaman bambu, jerami dan rantai pohon kering.
Jangan bayangkan panggung di festival ini terbuat dari rangkaian besi kokoh disertai lampu panggung yang megah. Para seniman menunjukkan kebolehannya di atas tanah tanpa alas kaki, pencahayaan hanya bergantung pada sinar matahari yang malu untuk muncul di tengah kabut. Tata panggung sederhana melengkapi keramahan penduduk yang tidak segan menawarkan tempat menginap secara cuma-cuma di rumah mereka. Hentakan musik yang keras tidak membuat penonton menggila, mereka tetap tenang, meresapi tiap gerakan tari yang sebagian besar memiliki arti perwujudan terima kasih kepada Tuhan dan alam. Welcome to Festival Lima Gunung!
Tidak ada situasi di mana penonton saling dorong, hanya terlihat penonton yang berdiri manis tanpa desak-desakan. Wajah lugu anak kecil sampai senyum bijak orang tua membuat hati saya bergetar… Festival Lima Gunung merupakan festival seni paling sederhana yang pernah saya tonton. Hanya bisa berandai situasi seperti ini bisa diterapkan di kota besar…
Note : Jangan terpaku pada kecanggihan alat elektronik saat melakukan suatu perjalanan. Perjalanan lebih nikmat jika dijalani sesederhana mungkin, tanpa sinyal hape, tidak bergantung pada peta maya, tidak update status di medsoc, dan tidak malu bertanya kepada penduduk lokal. Nikmatilah semua proses tanpa beban…
Itulah The Art of Nyasar #senyumlebar.
Visit Jawa Tengah 2013 !! | Visit Magelang 2015 !!
Visit Jawa Tengah every years! :-D :-D :-D
sering dengar festival ini :)
Festival sederhana yang semoga nggak jadi mainstream seperti di kota tetangga ;-)
solo ??
Solo… Dieng… Borobudur… mana lagi ya…hehehe…
mas @fahmi : 2015 insyaalloh aku di ambarawa, dekat kalo mau ke Mlg ;p
Mantap nih acara, Semoga kita tidak kehilangan jati diri seni dan budaya yang memilki nilai tinggi ini.
Salam wisata
Wujud kesenian yang harus dilestarikan oleh generasi muda agar tidak hilang tergerus zaman. :-)
Suka banget sama note-mu lim. Can’t agree more :) aku blm pernah lihat festival ini :(
Festival sederhana yang diselenggarakan tanpa bantuan pemda setempat, petani sekaligus seniman di sana berjuang dengan dana dan tenaga sendiri demi kelangsungan festival… Wajib nonton mbak :-)
Aaaaaaaaaaaaaakkkk. Pengen pulang kampung aaaaaaaaak… Tahun depan ah moga2 bisa ke festival lima gunung, sekalian pulkam. Heeeeeee… :D
Pulang kampungnya dipasin ama tanggal festival, ketemu keluarga sekalian nonton deh hehehe….
wow …. lihat foto foto kerennya jadi pengen hadir di sana juga :P
Btw, ini rutenya dari Solo – Boyolali – Magelang ya?
Betuul mas Ari, rute nyasarnya Solo – Boyolali ( Selo ) – Magelang – Ngablak, harusnya lebih deket Solo – Boloyolali ( Selo ) – Ketep – Ngablak langsung :-)
Pantes.. Bacanya aja udah kerasa jauh :p
keren ih kakak :D
Makasih kak Bowo ;-)
baru tau ini festivalnya, unik :D ada tiap tahun ya?
Tiap tahun digelar di desa yang berbeda-beda. Jadi suasana jg beda satu sama lain :-)
The power of Nyasar yang membuahkan hasil yg memukau dan lain daripada yg lain. Hehee :D
Jadi pengalaman yg tak terlupakan :-)