Dieng merupakan sebuah dataran tinggi yang terletak di dua kabupaten yaitu Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Dataran tinggi ini sebenarnya merupakan kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya, maka tidak heran disini terdapat banyak sekali kawah aktif. Selain kawah dan pemandangan alam, di Dieng banyak terdapat candi kuno yang dibangun pada abad ke-7. Bagi saya yang penggemar candi, dataran tinggi ini merupakan tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Tapi bagi yang kurang suka candi mungkin bisa mencoba petualangan unik seperti yang pernah saya alami.
Cerita berawal dari perjalanan saya ke Dieng bersama dua orang teman saya, Nur dan Maya pada tahun 2009 lalu. Dengan modal sehemat mungkin, kami mencoba menjadi traveller irit amatiran, mulai dari transportasi yang digunakan sampai jenis penginapan harus murah meriah, kecuali makanan, hehe. Berangkat dari Solo menuju kota Wonosobo memakan waktu sekitar 4 jam dengan naik bus ekonomi(25ribu), setelah itu melanjutkan perjalanan dengan mini bus menuju desa Dieng yang masih berjarak kurang lebih satu jam perjalanan lagi(5ribu). Jauh ya? Agar tidak jenuh kami sempat berhenti di perkebunan teh yang terletak di pinggir jalan menuju desa Dieng. Nama perkebunan teh itu adalah Kebun Teh TAMBI. Untuk masuk ke dalam area perkebunan, pengunjung dikenakan biaya 10ribu perorang dengan syarat harus berupa rombongan minimal 20 orang. Hmm…Jadi kami yang hanya bertiga cuma bisa menikmati pemandangan kebun teh dari samping saja.
Selesai menikmati kebun teh TAMBI dari kejauhan, kami melanjutkan perjalanan memasuki desa Dieng. Mini bus menurunkan kami di jalan raya Dieng, tepatnya di depan “Homestay Bu Djono” tempat kami bermalam di Dieng. Kenapa memilih menginap disini? Alasan utama adalah karena tempat ini sudah dikenal oleh Lonely Planet sebagai salah satu penginapan murah dan letaknya yang strategis. Meskipun di desa, homestay ini layak diacungi jempol kebersihannya, mulai dari linen kasur yang tidak bau apek sampai kamar mandi yang bersih serta tersedianya air panas yang bisa direquest. Harga kamar ini semalam 70ribu untuk standard room (twin bed), dan 20ribu untuk extra bed. Murah kan?
Setelah urusan kamar selesai, tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mencari makan malam, di homestay ini juga terdapat restoran yang menyediakan “Nasi Goreng ala Dieng” nya yang maknyus. Setelah perut terisi, kami bergegas tidur agar bisa bangun pagi untuk mengikuti morning tur yang ditawarkan pak Didik, pengurus homestay.
Pukul setengah empat subuh, mas-mas berperawakan kurus membangunkan kami yang masih ngantuk untuk bersiap-siap jalan. Hoaem… Rupanya dia adalah guide kami yang bernama Dwi. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki di tengah kegelapan, jalan pedesaan yang sepi, dingin, cuma ada suara jangkrik… kok jadi kebelet buang air kecil?! Ups.
Jalan hampir satu jam mulai terlihat rumah-rumah penduduk, tandanya kami sudah hampir sampai di Gunung Sikunir. Melewati Danau Cebong lalu mulai trekking kurang lebih setengah jam menuju puncak Sikunir. Tepat pukul lima pagi, tibalah di puncak Sikunir dan surprise… No Sunrise. Apa boleh buat, karena kondisi curah hujan yang tinggi di awal tahun membuat bukit ini selalu diselimuti kabut, sehingga tidak ada matahari terbit hari ini. Tidak putus semangat, perjalanan dilanjutkan menuruni bukit menuju Danau Cebong, yang di pinggir danau banyak ditumbuhi tanaman khas Dieng, yaitu carica.
Perkampungan yang saya lewati saat berangkat tadi mulai terlihat ramai, mulai terlihat penduduk yang ramah menebar senyum di pagi hari yang hangat. Setelah keluar dari komplek perkampungan tersebut, mas Dwi mulai menuntun ke jalan setapak yang makin lama makin sempit. Sempit sekali, sampai saya harus mengalah jalan agar teman yang lain bisa jalan duluan. Meski hujan kemarin malam membuat tanah menjadi becek, pemandangan selama lewat jalan setapak sangatlah indah. Jalan naik turun tanjakan berasa lewat hamparan bunga, mulai dari bunga kentang, bunga mawar, bunga daisy banyak tumbuh disini. Tanaman wortel yang saya lewati pun rasa-rasanya ingin saya cabut keluar dari tanah, tapi saya urungkan niat itu sebelum saya dituduh pencuri oleh penduduk setempat, hehe…
Jalan setapak yang kami lewati ini ternyata jalan pintas menuju Kawah Sikidang. Sebelum sampai Kawah Sikidang banyak dijumpai aliran sungai kecil berair hangat dan pipa-pipa besar. Pipa besar yang ada di sepanjang jalan itu digunakan sebagai aliran uap panas yang dialirkan ke PLTU. Saking panasnya, banyak ditempel peringatan dilarang menyentuh pipa tertentu karena kandungan uap nya bisa bikin tangan melepuh. Banyaknya kandungan uap dari kawah aktif di Dieng membuat desa ini ‘hidup’ berkat didirikannya PLTU, sehingga tercukupi tenaga listrik untuk kebutuhan rumah tangga mereka.
Kawah Sikidang merupakan kawah yang bisa berpindah-pindah tempat, makanya dinamakan Si Kidang atau Si Kijang. Jadi jangan berharap kawah itu masih di posisi yang sama bila berkunjung lagi minggu depan. Dari Kawah Sikidang kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju Candi Bima.
Hujan mulai menyambut kami sedari tiba di Candi Bima sampai dengan masuk ke kawasan Telaga Warna. Melihat Telaga Warna dari atas bukit yang kata mas Dwi telaga tersebut bisa mengeluarkan kilau warna-warni terpaksa harus kami batalkan karena hujan tidak juga reda. Mungkin keberuntungan belum berpihak sama kami. Selain Telaga Warna, kami juga melewatkan objek sebuah Goa di sekitar telaga yang konon pernah disinggahi alm.mantan Pres.Suharto buat semedi….
Usai Telaga Warna berarti tur yang dituntun mas Dwi ini berakhir. Keluar dari Telaga Warna, jalan yang diambil sudah beraspal lagi, bukan jalan setapak. Kaki pegal ditambah napas yang kempas-kempis akibat jalan dari pukul stengah 4 subuh sampai 9 pagi akhirnya sampai juga di homestay. Mungkin ada yang dari tadi belum nyadar pakai transportasi apa sih tur ini kok dari awal cerita lewatnya jalan setapak melulu. Kalau ada yang sudah sadar, yup ini tur pakai “kaki”,hehe. Saya yang salah kostum memakai pakaian bak hiking ke kutub hanya bisa mendapati kaos kaki basah terkena air hujan ditambah tempelan semak belukar.
Tapi ini belum berakhir… Setelah makan pagi, kami bertiga memutuskan untuk melanjutkan tur dengan rute lain dan tentunya lebih seru.
To be continued…
Kurang dikit, ¥ªñğ nikmat ϑαή bikin kangen ke Dieng lagi…..TEH SUSU yang muantapppp abiss
kan to be continued..jadi ditunggu cerita lanjutannya yah..hehehe :p
Eh, itu nginap di Bu Jono 70rb? Kok aku akhir november lalu nginap disana sekamar twin bed cuma 50rb ya..
malah turun ya? padahal saya pergi tahun 2009 lalu :)
Atau mungkin pas kesananya dulu long weekend jadi lebih mahal? Kalo aku pas weekend biasa sih..
Betul. Waktu itu saya pergi pas weekend,bro. Check in hari Sabtu, check out hari Minggu. Mungkin itu yang bikin harga nya jadi lebih mahal. Saya lihat di blog mu guide kita ternyata Mas Dwi yang sama ya?hehe…
mantapz…biaya2 nya aq dah lupa malahan…hahaha…
rincian biaya + nota masih tersimpan rapi di file ku,May..haha. Mau tau harga nasi goreng? atau harga teh susu? :p
beautiful place…..never forgetting…….
Way to go Bro! Nice story with breathtaking pict! Awesome!
thank u :)
baca artikel lainnya juga ya..hehe
Aku malah pernah nginep di Bu Jono Rp 200ribu loh. Kamar yg private en-suite sih. Pun perginya bbrp hari sebelum tahun baru dan mepet bookingnya. Apa emang segitu atau bukan ya? -Misteri Bu Jono-
Mas Ari (Buzzerbeezz) malah pernah dapet 50ribu twin bed…
Mungkin tergantung musim liburannya, natal+tahun baru harga dinaikin. Kalau saya sempat ke Dieng lagi aku tanyain ke Bu Jono dulu ya hehehe
Nginep di sana dingin banget yaaa.
Penginapanny dsblh mn si dr prtigaan kejajar??trs yg golden sikunir tu ruteny mn y…dr pertigaan kejajar tu?bsk maw touring ksna lg ni,,kmrn blm smpet smwny…trs yg kebun teh tambi tu jln mskny dr jl.dieng ato jln utama brp meter ato km?tq infony
Kebun teh Tambi berlokasi sebelum gerbang masuk Dieng, untuk penginapan coba tanya penduduk lokal di mana tempat “Bu Djono”, banyak penduduk yang bisa membantu arahkan jalan :-)
Selamat berpetualang dan tetap GPS – Gunakan Penduduk Setempat