Dari Pangandaran dengan naik mini bus selama kurang lebih 2jam menuju ke kota Ciamis. Masih ingat dengan sms dari teman saya di post sebelumnya? Nah, dengan petunjuk singkat itu, dari terminal kota Ciamis saya naik lagi angkutan umum semacam mobil elf menuju ke daerah Sindang Kasih,Panjalu. Saat berangkat dari terminal, angkutan umum ini masih sepi penumpang, tapi setelah masuk di tengah desa kursi sudah terisi penuh sesak. Mulai dari pedagang yang membeli sembako dari kota, pedagang sayuran, sampai pedagang ayam… Duh,saking penuhnya isi di dalam mobil, tas saya sampai tidak bisa saya letakkan di pangkuan kaki, terpaksa harus dipindahkan di atap mobil. Meski mobil sudah terisi penuh, masih ada juga anak-anak sekolah yang boleh naik… Mereka dipaksa duduk di atap mobil bersama tas ransel saya, ditemani keranjang sayuran serta barang dagangan penumpang lain. Untung hewan ternak berkaki empat belum masuk, kalo ikut naik mau ditaruh dimana tuh?
Mobil masih tidak terlalu banyak di daerah ini, jadi jalanan terasa lenggang. Meski suasana di jalan sepi, di mobil tidak terasa sepi gara-gara keramaian ‘musik’ gossip para ibu-ibu yang bahan pembicaraan mereka mulai dari ngomongin tetangganya, ngomongin suaminya, sampai ngossipin artis yang mereka lihat di tv tadi pagi. Saya yang semula menikmati pemandangan gunung malah ikut cekikikan mendengar cerita-cerita lucu mereka. Hujan tiba-tiba datang, mobil berhenti sebentar untuk memasang terpal di atas atap mobil supaya barang-barang penumpang tidak terlalu basah. Waduh,gimana nasib anak-anak yang duduk di atas atap itu ya? Ternyata mereka malah asik bermain air hujan. Perjalanan menuju Panjalu yang melewati bukit-bukit membuat udara terasa dingin.
Mobil mendadak berhenti, tiba-tiba saya ditepuk oleh kernet mobil yang menyuruh saya turun dari mobil ini dan ganti mobil yang terletak di seberang jalan. Angkutan ini bergerak menuju arah lain, jadi untuk ke arah Panjalu saya dioper angkutan lain yang turun di terminal.
Setelah mengambil tas ransel di tengah-tengah anak-anak yang masih duduk di atap mobil, saya segera naik ke angkutan di seberang jalan. Pemandangan mulai berubah menjadi hamparan sawah-sawah di sekeliling bukit yang udara makin terasa dingin karena hujan belum juga reda.
Sesampainya di terminal, saya mencoba minta petunjuk arah lagi ke teman saya karena posisi sekarang sudah tidak sesuai petunjuknya lagi. Sinyal operator di daerah ini masih minim, jadi balasan petunjuk juga tidak terkirim cepat. Akhirnya saya naik ojek dengan harga penawaran 10ribu. Pak ojek sendiri merasa awam dengan nama desa yang saya maksud. Berulang kali putar-putar di blok rumah-rumah penduduk, sampai akhirnya menemukan kata kunci “rumah ibu Bali”. Kata itu manjur, tetangga dengan sigap tahu keberadaan “rumah ibu Bali”. Dengan keadaan baju basah kuyup, saya disambut teman saya dan ibu nya di depan pintu.
Keesokan harinya aktifitas saya jalan-jalan di sekitar sawah, embun pagi yang menerpa badan rasanya segar sekali, bukan hal yang bisa dirasakan di kota. Kehidupan penduduk setempat yang santai, jalanan yang tenang, tidak ada suara bising apalagi polusi kendaraan…Wuih…rasa-rasanya seminggu tinggal disini betah deh.
Niat awal sebenarnya saya diajak pulang bersama-sama dengan suami teman saya yang kebetulan besok harinya akan kembali ke Solo naik mobil, tapi karena saya ada urusan di Bandung maka saya terpaksa menolak ajakannya. Sebelum bertolak ke Bandung, sempat melihat salah satu objek wisata terkenal di Panjalu, yaitu Situ Lengkong.
Kata “Situ” dalam bahasa indonesia berarti “Danau”. Situ Lengkong atau sering disebut Situ Panjalu merupakan danau hasil buatan para leluhur Panjalu pada abad ke-7. Panjalu awal mulanya merupakan salah satu kerajaan Hindu. Saat putra Mahkota Borosngora mengantikan ayahnya sebagai raja, kerajaan Panjalu berubah menjadi kerajaan Islam. Setelah menjadi raja, konon Syang Hyang Borosngora (gelar putra mahkota setelah menjadi raja) menumpahkan Air ZamZam yang dibawanya dari Mekah ke sebuah Lembah Pasir Jambu. Kemudian Lembah itu air bertambah banyak dan terjadilah Danau yang sekarang disebut Situ Lengkong.
Harga tiket masuk Situ Panjalu hanya 2.500 rupiah saja. Antara cerita sejarah dan legenda menjadikan tempat ini salah satu tempat berziarah bagi umat Islam. Di tengah danau terdapat pulau kecil yang disebut Nusa Gede, yang terdapat makam leluhur kerajaan Panjalu. Selain wisata religi, danau ini juga merupakan salah satu konservasi alam dikarenakan jumlah flora&fauna nya yang beragam. Untuk faunanya banyak terdapat biawak, elang, dan kalong yang sering beterbangan di atas pulau Nusa Gede, ada juga ular sanca yang beberapanya ditangkap dan dipertontonkan di pinggir danau.
Sebenarnya masih banyak objek wisata lain di Panjalu, salah satunya ada air terjun yang dengar-dengar memiliki tujuh tingkat. Tapi sayang karena cuti kantor yang mengikat membuat saya harus bergegas melanjutkan perjalanan.
Tunggu kedatangan saya lagi, Panjalu….
Create a free website or blog at WordPress.com. The Suburbia Theme.
dekat bgt sama kampung gw itu hahaha tapi deket kampungnya sendiri belom pernah kesana *tragis :(
Keren lo Situ Panjalu…jd kepingin ke sana lagi buat nambak ikan #ehh hehe…