Daya tangkap dan imajinasi setiap anak berbeda satu sama lain. Ada anak yang mudah menghapal nama tokoh dan peristiwa penting kerajaan di Nusantara setelah membaca buku sejarah berulang kali. Ada pula yang lebih senang menghapal nama dan wajah menteri Orba yang tercetak di atas karton tebal yang selalu hadir di tiap toko buku se-Indonesia.
Waktu duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah, pelajaran sejarah di kelas tidak ada menariknya bagi saya. Suara guru sejarah yang lirih itu terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Tidak mampu memberi bayangan seperti apa wajah tokoh besar dinasti-dinasti di Nusantara. Sungguh lebih menarik mendengarkan suara fresh VJ MTV apalagi suara empuk Tante Sisca saat membawakan acara bertajuk Aroma.
Setelah beranjak dewasa dan sudah terlanjur terkena faktor U, saya menyadari bahwa belajar sejarah lebih merasuk saat dipelajari langsung di lapangan. Merasakan langsung bukti kejayaan suatu tempat, mendengar langsung cerita yang disampaikan oleh penduduk lokal, apalagi melihat temuan tak terduga saat melakukan penelusuran. Bagi saya itu merupakan cara paling efektif untuk belajar sejarah.
Sama halnya saat melihat langsung sisa peradaban Kerajaan Majapahit di Museum Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Meski museumnya terlihat pucat tanpa diberi kesegaran ala anak muda oleh pihak berwajib, ternyata koleksi di dalamnya sungguh beragam dan bernilai tinggi bagi Indonesia. Beruntung waktu itu saya dan beberapa kawan didampingi oleh seorang guide yang mau mengantar masuk ke beberapa ruang dan menjelaskan temuan dari wilayah Kerajaan Majapahit.
Tercatat Kerajaan Majapahit berdiri dari tahun 1293 hingga runtuh pada tahun 1500 M dengan pusat kerajaan di Jawa Timur. Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari Dinasti Singasari yang didirikan oleh Ken Arok di kompleks Singosari, Malang ( bisa dibaca lengkapnya di sini ). Singkatnya Raden Wijaya mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit yang penamaannya diambil dari buah Maja yang rasanya pahit yang banyak ditemukan di daerah Tarik, awal pusat pemerintahan kerajaan baru.
Keseruan cerita sejarah dari dinasti yang beragama Hindu-Buddha tersebut bahwa kerajaan ini pernah memiliki seorang pemimpin perempuan bernama Tribhuana Wijayatunggadewi. Tribhuana Wijayatunggadewi yang memimpin Majapahit dari tahun 1328-1350 merupakan anak dari Raden Wijaya dan selirnya yang bernama Gayatri Rajapatni ( putri dari Kertanagara ā raja terakhir Singasari ). Selama pemerintahannya, Tribhuana dibantu oleh patih Gajah Mada yang digambarkan sebagai sosok pemberani yang berpipi tembem dan berbibir tebal.
Selagi mempersiapkan putra Tribhuana yang bernama Hayam Wuruk sebagai raja keempat Majapahit, Gajah Mada memperluas wilayah ekspansi Majapahit hingga ke luar Jawa Timur. Hayam Wuruk sendiri baru naik tahta pada saat usianya menginjak umur 16 tahun setelah ibunya mengundurkan diri. Raja muda itu kemudian memimpin kerajaan Majapahit dari tahun 1350-1389. Keberanian dan keahlian berpolitik Gajah Mada berhasil membawa Majapahit yang sudah dipimpin oleh Hayam Wuruk sebagai salah satu kerajaan yang disegani.
Seperti cerita dinasti pendahulunya, keruntuhan sebuah kerajaan selalu diawali oleh keserakahan akan uang dan perebutan kekuasaan yang seolah tidak ada ujungnya. Kejayaan kerajaan Majapahit dinyatakan berakhir pada tahun 1500-an. Wilayah kerajaan terpecah belah, muncul pemberontakan demi pemberontakan hingga akhirnya hanya menyisakan kenangan, legenda, cerita dari mulut ke mulut yang sering diragukan kebenarannya.
Sisa kejayaan dan bukti kemajuan arsitektur, persenjataan, hingga sistem pengairan di pemukiman dan wilayah Majapahit bisa dipelajari lebih seksama di dalam Museum Trowulan. Koleksi museum yang dikenal juga dengan Pusat Informasi Majapahit tersebut awalnya berasal dari koleksi dari Gedung Arca Mojokerto yang didirikan oleh R.A.A Kromodjojo Adinegoro dibantu dengan Ir. Henry Maclaine Pont pada tanggal 24 April 1924. Dari bangunan sederhana yang semula terbuat dari material alam dengan harapan tidak merusak situs yang mungkin tertanam di bawahnya, sempat ditutup pada tahun 1942 saat penjajahan Jepang, hingga berbentuk bangunan dua lantai bertembok permanen seperti sekarang.
Ada beberapa ruang yang dibedakan berdasarkan jenis peninggalannya. Sebuah ruang penyimpanan koleksi terakota, kemudian ruang khusus menyimpan peninggalan terbuat dari logam seperti keris, blencong, genta, peralatan beribadah yang lain hingga hiasan pintu. Sekali lagi, penataan koleksi di sini terlihat kurang menarik bagi generasi muda. Imajinasi harus digunakan dan pandai-pandai menemukan kesenangan di dalam ruang tersebut.
Lain halnya dengan koleksi ukiran batu yang dijajarkan di bagian tengah dan belakang. Ada ragam relief candi yang dikumpulkan dari beberapa daerah di Jawa Timur. Ukiran Lotus di batu andesit menjadi kekhasan dari era Majapahit. Masih ada koleksi arca dewa-dewi seperti Wisnu Garuda Kencana, Ardhanari ( lambang persatuan Dewa Siwa dan istrinya Dewi Parvati ), Narasimha ( penjelmaan Dewa Wisnu dengan wujud manusia berkepala singa ), Dwarapala, Kinnari dan bentuk yang lain.
Sepintas letak koleksi arca, prasasti dan relief di Museum Trowulan belum terlalu rapi dan enak dilihat, serta menumpuk kurang beraturan. Bahkan tingkat keamanannya pun dipertanyakan. Tapi menurut saya kondisinya lebih baik dari pada kondisi ruang batu di Museum Nasional ā Jakarta yang koleksinya diletakkan saling berhimpitan, kadang dilekatkan dengan semen agar koleksi tidak geser dari tempatnya, jauh dari kata waras! Huft.
Di dalam angan terbayang museum ini kelak menjadi sebuah museum dengan standar museum dunia yang berisi kebanggaan dan kesadaran pihak berwenang yang mewakili seluruh warga negara Indonesia. Bentuk penghargaan terhadap sisa peradaban yang pernah diciptakan oleh Majapahit. Tinggal memilih antara terus bermimpi atau mau mewujudkan mimpi.
Cheers and peace. ;-)