Hanya bisa berkecil hati saat mendapati gerbang masuk museum diikat dengan rantai bergembok tiga tahun yang lalu. Tak ada penjaga yang menjelaskan kenapa museum ditutup, tak ada keterangan kapan museum akan dibuka kembali. Setahun setelahnya, dinding seng masih berjajar sangat rapat menutup semua akses masuknya. Anehnya tidak terlihat aktivitas para pekerja di dalamnya. Renovasi belum selesai rupanya.
Kekecewaan yang saya pendam sekian lama akhirnya terbayar oleh kunjungan bersama Komunitas Kota Toea Magelang bulan September tahun lalu. Kisah lengkapnya bisa dibaca di Jalur Spoor Setengah Terabaikan. Stasiun Ambarawa atau sekarang dikenal dengan nama Museum Kereta Api Ambarawa menjadi titik akhir dari perjalanan jelajah jalur kereta api jurusan Bedono – Ambarawa.
Beberapa tahun lalu Dipo Lokomotif Stasiun Ambarawa belum dibuka untuk umum. Sekarang justru difungsikan sebagai gerbang masuk para pengunjung museum. Boleh dibilang museum ini salah satu museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Siapapun yang tertarik untuk melihat koleksi lokomotif-lokomotif uap peninggalan perusahaan-perusahaan kereta api milik Belanda dan sejarah perkereta apian di Nusantara, di sini pusatnya.
Setelah Benteng Willem I dibangun di Ambarawa, pemerintah Belanda merencanakan pembangunan jalur transportasi yang memudahkan tentaranya menuju Semarang. Beberapa tahun kemudian mulai dirancang jalur kereta dan beberapa stasiun mulai dari Ambarawa – Stasiun Tuntang – Bringin – Gogodalem – Tempuran – Stasiun Kedungjati dilanjutkan menuju Semarang. Stasiun di Ambarawa diberi nama Willem I sebagai penghormatan terhadap Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick ( berkuasa : 1815 – 1840 ). Stasiun Willem I yang berdiri di atas lahan seluas 127.500 meter persegi diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873 bersamaan dengan stasiun-stasiun penghubung lainnya.
Kondisi bangunan masih dalam kondisi terawat meskipun sudah tidak berfungsi sebagai stasiun kereta aktif sejak tahun 1976. Alasan apalagi kalau bukan karena perjalanan menggunakan kereta api dinilai lambat dan tidak efisien dibandingkan bus umum dan kendaraan peribadi yang meramaikan jalan raya di kota dan desa pada masa orde baru. Oleh PJKA, nama PT KAI kala itu, Stasiun Ambarawa kemudian difungsikan sebagai Museum Kereta Api Ambarawa yang menampung bekas lokomotif uap baik yang masih bisa dijalankan maupun yang sudah rusak mesin.
Seiring dengan waktu, mulai digerakkan lagi kereta wisata yang melayani jalur Ambarawa-Bedono pp dan Ambarawa-Tuntang pp dengan menggunakan lokomotif uap seri B5512 yang mampu melewati jalur bergigi. Harga sewanya 10 juta dengan kapasitas 40 penumpang. Maklum, proses penguapannya harus dibantu dengan pembakaran kayu jati agar bisa melaju di jalur pegunungan.
Proses renovasi yang dilakukan lebih dari tiga tahun memberikan wajah baru bagi Museum Kereta Api Ambarawa. Semua koleksi lokomotif uap di sana sudah diberi papan keterangan yang berisi sejarah singkat dan kegunaannya di masa lampau. Seperti salah satunya adalah kisah lokomotif uap seri B22 yang didatangkan dari pabrik Hartmann, Jerman oleh NIS – Netherlands Indische Spoorweg Maatschappij pada tahun 1899-1901. Setelah Perang Dunia II berakhir, sebanyak 20 loko dipindah ke Sumatera Selatan dan sebagian di Solo, Gundih, Kudus dan Purwodadi. Yang menjadi koleksi dari museum adalah lokomotif uap yang dulu melayani jalur Purwodadi – Gundih.
Masih ada lokomotif uap seri D10 yang didatangkan pada tahun 1913 – 1915 oleh perusahaan kereta api swasta Belanda, SDS – Seradjodal Stoomtram Maatschappij dan SJS – Semarang – Joeana Stoomtram Maatchappij. Lokomotif uap ini pernah digunakan untuk menarik gerbong penumpang dan hasil bumi dari Wonosobo, Banjarnegara dan sekitarnya. Merupakan jenis pertama yang menggunakan roda bersistem “Klien-Lindner” di Jawa. Mampu menjelajahi jalur dengan kecuraman 18% dan berbelok dengan mulus pada tikungan tajam di jalur pegunungan.
Saat mendapati koleksi lokomotif sudah dibariskan di jalur kereta khusus dengan pelindung yang memadai, saya hanya bisa terkikik. Lebih rapi tentu saja. Tidak ada lagi lokomotif yang diletakkan di bawah terpaan sinar matahari yang terik saat kemarau dan guyuran hujan saat musim penghujan. Mereka berusaha menghapus anggapan koleksi seolah tidak dirawat dengan baik jika pengunjung melihat catnya sudah memudar dan rangka besinya berkarat. Sayangnya dengan penataan yang baru, pengunjung tidak bisa foto ala-ala dengan apik lagi. Menghemat biaya perawatan, namun di sisi lain meninggalkan ketidak puasan bagi pemburu gambar apik.
Selain mengumpulkan lokomotif yang tersebar di Indonesia, pihak Museum Kereta Api Ambarawa juga tengah berusaha memindahkan halte-stasiun mati di beberapa kota. Saat saya berkunjung ke sana, terdapat bekas Halte Cicayur yang dulu berdiri tegak di Desa Cisauk, Tangerang. Juga Halte Cikoya atau banyak disebut sebagai bekas Stasiun Cikoya di Cikasungka, Tangerang. Pondasi bangunan keduanya terbuat dari kayu sehingga memudahkan proses pemindahan. Genteng asli bikinan Steenbakkreij Tangerang pun ikut dipertahankan. Mengingatkan saya pada kisah pemindahan bekas Stasiun Mayong di MesaStila, Losari, Magelang.
Lokomotif uap terlihat senang diberi kesempatan menua di rumah baru. Mudah-mudahan diikuti oleh semua stasiun yang terabaikan dan dilupakan peminatnya. Jangan anggap cerita kejayaannya hanya dongeng belaka, anggaplah dia sebagai bagian dari sejarah peradaban manusia.
Save our heritage...