Stasiun Mayong Nasibmu Kini

Semenjak bus antar kota dan mobil pribadi mulai meramaikan dan menguasai jalan raya di Pulau Jawa tahun 1970-an, pesona kereta api seakan memudar. Dampaknya ada banyak jalur kereta api di berbagai daerah yang di-nonaktifkan. Penumpang lebih memilih naik bus atau kendaraan beroda empat lain yang dirasa lebih cepat mengantar mereka ke daerah tujuan.

Jalur kereta tidak aktif menyisakan stasiun-stasiun mati yang punya lebih banyak cerita sedih ketimbang cerita bahagianya. Kejayaannya di masa lalu tinggal kenangan. Sebagian dari mereka sudah disulap menjadi rumah penghuni liar, tempat usaha tanpa izin resmi, hingga pasar rakyat yang menyuguhi pemandangan kumuh.

Salah satu contoh jalur kereta api mati adalah jalur yang pernah menghubungkan Kudus dan Jepara. Jalur kereta Kudus – Mayong – Gotri – Pecangaan sudah tidak lagi aktif sejak tahun 1980-an. Rel keretanya sudah tertimbun bangunan dan tertutup aspal, stasiun-stasiunnya pun terabaikan.

pintu depan Stasiun Mayong – Mesa Stila

Stasiun Mayong dibangun sekitar tahun 1873 oleh Semarang Joana Stroomtram Maatschappij  ( SJS ) untuk memudahkan pengangkutan hasil kerajinan kayu ukir Jepara yang akan dikirim menuju Pelabuhan Tanjung Emas melewati Stasiun Demak, Stasiun Kudus dan terakhir Stasiun Tawang Semarang. Stasiun yang terletak di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Jepara itu bisa dibilang salah satu stasiun kayu tertua di Indonesia.

Puluhan tahun lamanya Stasiun Mayong terabaikan. Hingga pada tahun 2001, Stasiun Mayong diboyong menuju Losari oleh Gabriella Teggia, warga asing berkebangsaan Itali yang sudah lama menetap di Indonesia. Beliau adalah pemilik sekaligus pendiri Losari Spa Retreat and Coffee Plantation yang terletak di Desa Losari, Grabag, Magelang. Meski Losari Spa Retreat and Coffee Plantation sudah pindah kepemilikan dan berganti nama menjadi MesaStila, kisah dari Stasiun Mayong masih dipertahankan.

Bekas Stasiun Mayong kini difungsikan sebagai Mayong Reception, ruang resepsionis di MesaStila. Bangunan terbuat dari kayu jati berumur lebih dari seratus tahun ini masih terlihat utuh dan nyaris tanpa cacat. Di bagian belakang tertempel papan semacam prasasti yang mengisahkan cerita singkat usaha Gabriella Teggia mempertahankan bekas Stasiun Mayong dengan memindahkannya ke Desa Losari.

“This building was transported here by forty trucks one stormy night in 2001. Fully restored, it is well-suited to its new life as gateaway to the wellness resort you enjoy today.”

Stasiun Mayong kini…

Saat saya mengintip ke salam bekas Stasiun Mayong, bagian dalamnya sudah tidak ada kursi kayu jati khas stasiun peninggalan Belanda. Mungkin tidak ada sejak awal, atau sudah raib dijarah sebelum sempat dipindahkan. Sebagai gantinya terdapat kursi penerima tamu dan meja front office serta beberapa foto dan barang antik peninggalan pemilik sebelumnya yang memberi kesan homy. Tidak memberi batas yang kaku antara staff MesaStila dan tamu.

Kotak pos peninggalan kolonial bertuliskan Brievenbus diletakkan persis di samping jendela depan Mayong Reception. Dinding kayu sebelahnya terdapat bekas loket tiket kereta. Perawatan bangunan mulai dari ujung kanan sampai kiri nyaris tidak ada celanya, begitu pula ujung atap sampai lantai.

Sungguh salut, kejayaan Stasiun Mayong di masa lalu berhasil dihidupkan kembali di Desa Losari. Magelang rasa Jepara. Seolah menyadarkan beberapa pihak, bahwa tak perlu lagi memaksakan sesuatu tetap berdiri kokoh di tempat asalnya. Bisa saja nasibnya akan menjadi lebih baik di tempat yang baru, tempat di mana ada lebih banyak kasih sayang yang dilimpahkan.

Save our heritage...

About these ads