“Kalau mau cari ladang garam di Gresik aja. Lebih banyak, mas.” sahut seorang ibu di dalam bus jurusan Sampang. “Di sini sudah jarang.” lanjutnya saat seorang kawan menanyakan keberadaan ladang garam di Madura dua tahun yang lalu. Waktu itu hanya bisa membatin mungkin kami bertanya kepada orang yang tidak tepat, kurang tahu mengenai sejarah garam di Pulau Madura.
Disebutkan oleh sebuah sumber bahwa luas seluruh area sentra-sentra garam di Indonesia adalah 19.664 ha. Meski kini sudah menyusut hampir separuhnya, luas area penggaraman di Pulau Madura pernah tercatat 11.693 ha! Entah apa yang ada di dalam pikiran si ibu, sudah jelas ada bukti bahwa Madura itu Pulau Garam kan?
Setelah menempuh perjalanan sekian puluh menit dengan bus umum, kami turun di sebuah persimpangan dan melanjutkan perjalanan naik ojek menuju Desa Krampon, Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang. Setibanya di sana, proses pembuatan garam sudah selesai mengingat matahari sudah hampir tenggelam. Hanya bisa berpuas diri melihat gunungan garam yang sudah dipanen dan mengabadikan biasan matahari sore yang terpantul di ladang garam.
Beberapa bulan lalu saya kembali menginjakkan kaki di Pulau Madura dan memusatkan perburuan ladang garam di Kabupaten Sumenep. Petak-petak berisi air dengan kadar garam rendah terbentang luas di Desa Karang Anyar, Nambakor, Pinggir Papas dan Kalianget yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Sumenep.
Masih tersisa bekas kompleks pemukiman para pejabat Jawatan Regie Garam di Kalianget. Jawatan Regie Garam sendiri adalah pabrik garam yang dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1921. Setelah kemerdekaan namanya ganti berulang ulang kali hingga tahun 1998 menjadi PT GARAM ( Persero ) di bawah naungan Kementerian BUMN.
Bermusim kering lebih panjang dengan sedikitnya sungai dan sumber air tawar memudahkan sisi selatan Pulau Madura dalam mengolah garam secara tradisional. Pada musim kemarau, lahan berukuran sekitar 15 x 25 meter akan dibagi menjadi empat petak guna menampung dan menyaring air dari laut. Petak tersebut masing-masing diisi air laut mentah dan dibiarkan mengering selama beberapa hari.
Setelah itu petani garam akan meratakan tanah dengan menggunakan roll kemudian mengisinya dengan air dari petak sebelahnya dan mengeringkannya kembali. Demikian seterusnya hingga menyisakan padatan kristal garam yang siap dipasarkan. Proses yang terdengar menarik kan? Anehnya saat itu tidak terlihat satu petanipun yang sedang memanen. Sial, rupanya saya datang pada saat yang tidak tepat karena musim kemarau di Pulau Madura baru dimulai bulan Juli hingga Desember.
Gagal mengabadikan aksi para petani yang sedang memanen garam tidak membuat saya putus asa. Atas bantuan seorang kawan yang tinggal di Kalianget, saya berkesempatan untuk melihat lebih dekat bangunan-bangunan tua yang masih kokoh. Sisa bukti kejayaan garam di Pulau Madura.
to be continued…
________
Note : Luas lahan produksi penggaraman PT GARAM di Pulau Madura tercatat seluas 5.340 ha yang terbagi menjadi empat wilayah di tiga kabupaten. Mangunan di Kabupaten Pamekasan, Krampon di Kabupaten Sampang dan dua di Kabupaten Sumenep, salah satunya di Kalianget.
Madura memang surganya yg asin asin y mas
Lalu surga yang manis-manis di mana ya? *mikir* hahaha
Eh tapi kulinernya Madura nggak asin, cocok di lidah yang suka makan manis. Nah lo :-D
Surga yg manis manis d jogja solo.gudengnya manis manis dan bnyk pabrik gula.termasuk ce nya..manizz manizz :)
PLTA-nya apik bentuknya :hehe, fotonya diambil dengan sangat cantik juga Mas :hehe. Ditunggu bangun-bangunan tua lain yang menunggu untuk dibahas di laman blog ini ya :)).
Out of topic, bagi saya Kalianget punya arti sendiri soalnya jadi kerajaan yang berpengaruh dalam legenda Jayaprana dan Layonsari :)). Semoga ada ulasan lengkap soal daerah itu ya Mas :amin.
Terus baru tahu dari komen Gara kalau ada legenda Jayaprana dan Layonsari. Pas ke sana jujur saja khilaf, mata berbinar atau mungkin ijo kayak lihat duit segepok, trus pakai ngiler lihat setiap detail bangunan berarsitektur kolonial yang wow banget #makinlebay hahaha
Jayaprana dan Layonsari itu cerita Sam Pek Eng Tay rasa Bali Mas :)). Kalau syair lagunya dinyanyikan dengan benar, bisa nangis bercucuran orang yang dengar soalnya sedih banget nada-nadanya (tapi susah juga dipelajari :hehe). Ada juga situs makamnya mereka yang bisa dikunjungi, sekarang berbentuk sebuah pura *kode* :hehe.
Sip, ditunggu cerita soal bangunan kolonialnya :)).
Pas ke Bangkalan kemaren kok ya ngga kepikiran cari ladang garam ya. Blas lupa begitu dipamerin Bukit Jaddih, Lim. Hehehe .. Next time ah, eksplorasi Madura lebih lama lagi .. Bareng yuks .. :D
Pingin mbaleni Sumenep lagi plus cari pantai di Madura yok. Entah kenapa bekalangan jodohnya ama bangunan mlulu jadi sakaw pantai deh hahaha
mau dunks, aku belom pernah ke Sumenep pula, Lim .. :D
berarti nggak semua daerah pantai bisa dan ada ladang garamnya ya mas? tergantung masyarakatnya membudidayakan atau enggak. Jarang nemuin daerah pantai yang menyediakan lokasi khusus buat budi daya garam. Apa saya yang kudet yak :/
Setahu saya ladang garam cocok di pesisir yang tidak memiliki gelombang laut yang tinggi, punya musim kemarau yang lebih panjang. Gresik dan Lasem merupakan daerah penghasil garam yang masih menggunakan proses tradisional di Pulau Jawa. Untuk Madura banyak dijumpai di pesisir selatan karena sungai dan sumber air tawarnya lebih sedikit sehingga air laut lebih pekat dan menghasilkan kualitas garam terbaik se-Indonesia :-)
baru tau kalau ladang garam begini ya tempatnya, belum pernah lihat huhu…
tapi kata-kata dipanen lucu ya, seolah-olah tanaman juga.
btw, baru ngeh tampilan blog-nya baru, kereeeen! :))
Asyikk tampilan blognya dipuji. Makasih, kak Yuki. Kalau musim kemarau pantulan dari ladang garam jadi fotogenik banget karena seperti cermin. Kudunya mereka yg mengolah garam disebut petani atau penambang ya? Panennya musiman soalnya hahaha
wah, cakep banget pasti ya, apalagi kalau pas senja juga mantul warna oranyenya.
makanya, apa sebutannya, ya? tapi aku pernah denger sih kayaknya petani garam.
Ke Madura dua kali, tapi gak pernah mampir ke ladang garam dalam jarak dekat sekalipun, kecuali cuma lewat doang dan lihat prosesnya dari jauh. Menarik sih, karena belum pernah lihat di tempat lain. Waktu itu sempat lihat petani garam yang sedang memanen garamnya dengan alat semacam kerokan gitu, dan yang lainnya mengisi ladang garamnya. Eh tapi kenapa disebut petani ya, khan mereka gak bertani? hahaha …
Btw, setiap kali ke Sampang aku selalu nyari rujak Madura. Dan rujak Tije di Sampang itu konon salah satu yang terenak, karena menurut temanku yang tinggal di sana, di Madura itu ada kompetisi khusus rujak Madura. Yang jadi pemenang, biasanya akan semakin laris manis :-)
Kalo disebut penambang garam pas nggak? tapi kok merasa kebacanya aneh ya hahaha. Ya weslah anggap sama aja :-P
Ahh kuliner rujak belum sempat cicipi waktu itu. Baru sempat cicip sate ama soto yang hits dan uenakk di Sumenep hehe. Denger-denger petis di Madura juga khas.
Iya ya aneh ya kalau penambang, gak ditambang :-D
Harus cobain Lim, petisnya beda memang, warnanya coklat tua mirip gula aren, bukan hitam seperti yang di Surabaya. Dan secara personal aku lebih suka petis Madura.
Brarti next time kalo pas kangen ladang garam di Madura kudu mlipir cari rujak, beli oleh-oleh petis ama lanjut tanning ke pulau #baeklah :-D
Harus! … O iya tanning nya di Gili Labak. Bikin penasaran juga tuh pulau satu itu Lim ,,, dan dengar-dengar sempat mau dijual ke swasta.
waha syik ya, terlhat panas terik ay di fotonya ,itu memungkinkan pembuatan garam makin cepat
Kabar baiknya foto yang saya ambil masih dikategorikan berkunjung saat musim bukan kemarau hihihi. Jadi bisa dibayangkan sendiri sepanas apa kalau sudah kemarau. Kedengaran seru sih kalau bisa berpanas ria bareng para petani garam di sana *siapin topi caping* :-D