Ada yang mengatakan kesempatan tak datang dua kali.
Ada pula yang mengungkapkan bahwa jalan hidup seseorang sudah diatur oleh-Nya.
Seandainya puluhan tahun silam pemuda asal Solo bernama Go Tik Swan yang mengenyam Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa di Universitas Indonesia tidak berkukuh dengan kesukaannya terhadap budaya Jawa. Mungkin pemuda itu tidak pernah berkesempatan menari Tari Gambir Anom di Istana Merdeka dan menjadi salah satu teman dekat Ir. Soekarno, presiden Republik Indonesia kala itu.
Jika saja pemuda itu menuruti orang tuanya yang sedari awal mendesaknya kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan harapan bisa menuntut ilmu yang kelak bisa membantunya meneruskan bisnis keluarga. Mungkin tidak akan tercipta lembaran-lembaran Batik Indonesia yang legendaris dan terkenal di kalangan pencinta kain batik Nusantara.
Nama Go Tik Swan mungkin masih terdengar asing bagi beberapa orang, begitupun saya yang baru mengenalnya setelah digelitik di Lasem. Majalah terbitan tahun ’70-an yang saya temukan dan baca secara tidak sengaja memaparkan artikel berjudul “Raden Tumenggung Go Tiek Swan Tiada Rasdiskriminasi Di Keraton SURAKARTA”. Judul yang terus mengundang rasa penasaran sepulang dari Lasem. Sebab sejauh ini tidak pernah menemukan tokoh dari etnis Tionghoa yang diberi gelar oleh keraton tercatat dalam buku pelajaran sekolah.
Buku karangan Prof. Dr. Rustopo yang berjudul “Menjadi Jawa” yang sekian lama tergeletak di rak buku menjadi tahap perkenalan berikutnya. Hingga akhirnya dalam kegiatan Blusukan Solo ( sekarang Laku Lampah ) bulan April 2015 lalu, saya berkesempatan mengunjungi nDalem Hardjonegaran, kediaman Panembahan Hardjonagoro atau Go Tik Swan.
Go Tik Swan merupakan putra sulung dari Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio yang dilahirkan di Surakarta pada tanggal 11 Mei 1931. Ayahnya, Go Dhiam Ik ( 1904 – 1989 ) merupakan cucu dari Go Kiem Liong, seorang Luitenant der Chinezen van Boyolali pada zaman Susuhunan Pakubuwono XI dan Susuhunan Pakubuwono XII. Sedangkan ibunya, Tjan Ging Nio ( 1916 – 1996 ) adalah putri dari Tjan Khay Sing, Tionghoa totok yang berprofesi sebagai pengusaha batik Kota Solo tahun 1920 hingga 1940-an.
Jika ditarik lebih jauh lagi, Nyonya Tjan Khay Sing merupakan anak dari Tjan Sie Ing, seorang Luitenant der Chinezen van Surakarta pada pemerintahan PB XI dan PB XII. Tjan Sie Ing sendiri adalah orang pertama yang mendapat patch atau sewa dari sebuah pasar terbesar di Kota Solo saat itu, kini dikenal dengan nama Pasar Gedhe Hardjonagoro. Artinya kakek buyut dari pihak ayah dan ibu Go Tik Swan merupakan orang Tionghoa yang terhormat dan kaya.
Kedekatan Go Tik Swan dengan neneknya, Nyonya Tjan Khay Sing membuahkan kecintaannya terhadap tembang-tembang Jawa yang dilantunkan oleh para pembatik di perusahaan milik raja batik Kota Solo tersebut. Ditambah keakrabannya dengan KGPH Hadiwijaya, salah satu putra Susuhunan Pakubuwono X yang peduli dengan pelestarian budaya Jawa membuat Go Tik Swan muda memutuskan kuliah di Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa Fakultas Satra di Universitas Indonesia tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Singkat cerita Go Tik Swan bertemu dengan Bung Karno saat membawakan Tari Gambir Anom di Istana Merdeka sekitar tahun 1955. Keahlian menarinya dipuji oleh Sang Proklamator dan beberapa kali diundang untuk membantu menyambut tamu-tamu yang berkunjung di Istana Merdeka. Dari situ timbul kedekatan yang meyakinkan Bung Karno bahwa Go Tik Swan yang terlahir di tengah keluarga pembatik bisa dipercaya untuk membuat sebuah karya besar yang ditorehkan di atas kain mori.
Bukan batik Vorstenlanden ( Solo – Yogya ), juga bukan batik pesisir ( Cirebon, Pekalongan, Lasem ), itu permintaan dari Bung Karno kepada Go Tik Swan. Setelah melakukan survey dan belajar tentang teknik pewarnaan di beberapa tempat, akhirnya tercipta motif baru yang merupakan perpaduan batik klasik keraton yang sarat makna dan batik pesisir utara Jawa yang berwarna cerah. Terciptalah Batik Indonesia dengan motif-motif baru seperti Rengga Puspita, Kembang Bangah, hingga Sawunggaling yang terinspirasi dari nama tokoh dalam cerita rakyat Jawa Timur yang berjuang melawan penjajahan Belanda.
Dua ekor ayam jantan yang sedang bertarung melebarkan sayapnya yang berwarna merah darah dan sogan dengan latar hitam, itulah motif Sawunggaling yang diciptakan oleh Go Tik Swan. Hingga kini Batik Indonesia bermotif Sawunggaling masih menjadi salah satu favorit pencinta batik Nusantara.
Kerja kerasnya dihargai dan disanjung oleh Bung Karno. Menurut beberapa sumber, beliau beberapa kali berkunjung bahkan merancang ruang tamu beratap setengah lingkaran yang unik di kediaman Go Tik Swan. Puncaknya Go Tik Swan diberi kesempatan untuk menggelar pameran kebudayaan Indonesia di New York World’s Fair pada tahun 1964.
Sayangnya pameran tersebut seolah menjadi pengabdian terakhirnya terhadap Bung Karno. Gestapu meletus pada tahun 1965, tidak ada kesempatan untuk bercakap-cakap apalagi bertemu dengan Sang Proklamator lagi karena Bung Karno sudah menyandang status tahanan politik di Istana Merdeka. ( Beberapa informasi bersumber dari buku “Menjadi Jawa” karya Prof. Dr. Rustopo )
Selepasnya dari dukungan Bung Karno, Go Tik Swan tetap berkarya dan mengembangkan motif-motif baru Batik Indonesia. Bahkan beliau juga mengembangkan pembuatan keris di Besalen Suralayan yang terletak di nDalem Hardjonegaran. Sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 2008, ilmu dan kain-kain batik karyanya yang tak terhitung nilainya telah diwariskan kepada Pak Soewarno dan istrinya Bu Supiyah. Dengan demikian keberadaan Batik Indonesia tetap lestari, masih bisa dilihat bahkan diburu oleh pencinta batik generasi mendatang.
________
Note : Postingan ini diikut sertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego
Eh aku terkesima banget sama Go Tik Swan ini. Jadi pengen kesana aku Lim😀
LikeLike
nDalem Hardjonagoro terbuka bagi siapa saja yang tertarik membeli Batik Indonesia karya dari Go Tik Swan dan penerusnya. Lokasinya juga persis di tengah kota sehingga mudah ditemukan, Win.
LikeLike
duh ruang tamu idaman, so homey !
TFS this story Lim, btw baru meratiin rumah blog mu baru, ciamik…
LikeLike
Ada beberapa sudut rumah yang lebih homey lagi, tunggu di tulisan berikutnya ya kak Feb😀
Hehehe makasih, semoga theme blog yang baru ini disukai pembaca yang lain juga.
LikeLike
Menarik menyimak sejarah Go Tik Swan dan batik. Baru tahu tentang ini. Jadi penasaran ingin baca kelanjutan ceritanya. Terima kasih sudah berbagi, Halim.
Btw, blognya wajah baru. Lebih cakep
LikeLike
Akan kujelaskan jasa-jasa beliau yang semakin bikin berdecak kagum di tulisan selanjutnya.
Harap sabar menunggu ya mbak Rien😀
Terima kasih buat komen ttg wajah baru blognya😉
LikeLike
wah seru, kudu kesana nih kalo pas lagi di solo, kebetulan suka batik juga
LikeLike
Monggo pinarak Solo… Rumah ini tidak membuka showroom seperti toko batik bermerk besar, jadi harus bertemu dengan pemiliknya baru bisa melihat contoh dan memesan batik karya Go Tik Swan dan penerusnya😉
LikeLike
Batiknya cakep. Coraknya beda dengan batik umumnya. Keren nih.
LikeLiked by 1 person
Perpaduan batik keraton dan pesisir karya Pak Go ini salah satu masterpiece dunia kain batik. Tak heran para pencinta batik sampai pejabat rela antre menunggu berbulan-bulan untuk membeli selembarnya😀
LikeLike
Nama Go Tik Swan seolah tenggelam bersama turunnya Soekarno dari tampuk kekuasaan ya, Mas..Menunggu lanjutannya..,
LikeLike
Bisa dibilang begitu, tapi beliau bisa membuktikan bahwa kecintaannya terhadap budaya Jawa tidak sebatas pengaruh politik saja… (bersambung) hahaha. Biar penasaran😛
LikeLike
ini alamat lengkapnya sebelah mana sih mas halim?
LikeLike
Alamat rumah beliau akan kushare di tulisan berikutnya. Biar seru bacanya hihihi
LikeLike
baru tau ada batik go tik swan. setidaknya ilmu ku tentang batik bertambah lagi. thx yah artikelnya
LikeLike
Terima kasih. Semoga bermanfaat
LikeLike
kalau motif Sawunggaling di Malioboro ada ga ya Mas Halim?
Go Tik Swan, keren banget sejarahnya
LikeLike
Kalau motif batiknya muncul di Malioboro, brarti sudah dibajak oleh pihak tak bertanggung jawab donk? Hehehe
Batik karya Go Tik Swan dijual dan bisa dipesan di rumah batiknya langsung
LikeLike
Ooo ternyata di sini foto lukisannya hehehe. Seru juga, dan jadi pengen tau lebih lanjut tentang motif batik yang diciptakan oleh Go Tik Swan
LikeLiked by 1 person
Lukisannya kufoto dari jauh hehehe. Kisah Go Tik Swan sungguh menarik perhatianku semenjak dua tahun lalu. Sayangnya nggak sempat mengenalnya lebih awal, bahkan nyokap juga jarang berkisah tentang beliau.
LikeLiked by 1 person
Nyokap kenal juga Lim?
LikeLike
Pas kutanyain, jawabnya nggak kenal dengan almarhum. Tapi biasanya orang sini kalau lihat wajahnya langsung, ngobrol ngalor-ngidul ujungnya “Ohh kamu anaknya si itu. Ohh ternyata adiknya si ini?”😀
LikeLiked by 1 person
Harus ngalor ngidul dulu biasanya baru ternyata kenal hehehe …
LikeLike
Apa pun ras dan sukunya, Indonesia ya tetaplah Indonesia. Ia adalah satu, kendati kalau dilihat di bawah kaca pembesar, mozaik penyusunnya ada berbagai warna :hehe. Saya juga belajar tentang bagaimana kita mesti menuruti panggilan jiwa dari seorang Go Tik Swan. Habisnya beliau betul-betul konsisten dan total melakoni impiannya, sampai menentang orang tua.
Cuma pertanyaannya sekarang, jiwa saya memanggil ke arah mana nih, ya… :hehe :peace.
LikeLike
Ada satu tokoh Tionghoa lagi yang baru kucari jejaknya. Beliau sama konsistennya dengan Go Tik Swan dalam mewujudkan kecintaannya terhadap budaya Jawa. Mudah-mudahan sih bisa ketemu langsung dengan keturunannya.
Lain kali kalau ketemuan boleh deh dirimu kuwawancara, mo nanya ttg arah jiwamu mau dibawa ke mana? Siapa tahu aja besok jadi orang penting. Hahaha
LikeLiked by 1 person
Doh amin, mudah-mudahan saya jadi orang penting :hehe. Oke, reportasenya ditunggu ya Mas :)).
LikeLike
Batik lehendaris nih…
Indonesia memang super kaya dengan tradisi yang eksis sampai sekarang.
Semoga tulisannya beruntung di kompetisi #KainDanPerjalanan ya.
LikeLike
Salah satu karya anak bangsa yang sudah seharusnya dilestarikan dan mulai dikenal oleh generasi muda. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini
LikeLike
Loh ini di Solo mas? Waaaah kemarin aku ke Solo nggak mampir ke tempat ginian… Kemarin pas ke Solo niatnya mau tanya-tanya rekomen tempat di Solo ke mas Halim eh malah lupa hehehe
LikeLike
Wahh kok nggak kabar-kabari kalo di Solo, tahu gitu kan bisa dawdar ( dawet darat ). Selain nDalem Hardjonegaran ada banyak yg menarik juga di sekitar sana.
LikeLike
Itu dia mas, ingetnya pas udah stuck nggak tau mau kemana lagi. Akhirnya ke The Park deh cari makan hehehe
LikeLiked by 1 person
[…] Sosok Go Tik Swan memang asing bagi sebagian orang. Nama Tionghoa ini juga tidak pernah muncul di buku sejarah sekolah. Berangkat dari rasa penasarannya setelah berkunjung ke Lasem, Halim Santoso memulai riset seputar tokoh tersebut yang membuahkan cerita perjalanan sarat informasi dan sejarah. Baca selengkapnya di sini. […]
LikeLike
Koh Haliiiiiim, selamat ya, dapet juara 3 Wego. Pasti kenal banget sama juri2nya hua hua hua😀 *kabuuuur*
LikeLike
Makasih ya Adie. Eh emang jurinya siapa? Malah nggak tahu loh. Dirimu yang jadi juri? Asekkkk😀
LikeLike
batik semakin hari semakin kece dan dulu hanay dipakai ke kondangan, sekarang dalam acaar apapun panats saja pakai batik
LikeLike
Batik sudah menjadi busana sehari-hari sekarang, padahal dulu batik dianggap barang bernilai tinggi. Dulu kalau butuh uang, batik bisa digadaikan kalau sekarang mungkin pegadaian udah menolak hahaha
LikeLike