Suatu hari ada seorang teman menanyakan pertanyaan semacam ini, “Kamu kan Tionghoa, kenapa tertarik belajar budaya Jawa?”. Pertanyaan yang menurut saya ORBA banget. Menurut ente? Hanya bisa elus dada sambil menjawab, saya lahir di tanah Jawa, tentu saya adalah orang Jawa. Pertanyaan sejenis itu datang berulang kali dari mulut yang berbeda.
Awalnya canggung menjawab hal yang menyerempet SARA tersebut, lama-kelamaan ada rasa percaya diri yang tumbuh seiring dengan waktu. Mengenal lebih jauh sejarah kota sendiri membuat rasa itu berkembang. Semakin menghargai kekunoan, sadar akan poin-poin sejarah yang sengaja dihilangkan oleh oknum tertentu agar muncul perselisihan antar suku dan agama di tengah masyarakat.
Banyak muncul tulisan tentang kegiatan blusukan kampung bareng @BlusukanSolo di blog ini. Hampir setiap bulan ada update tentang keseruan di tengah kegiatan dan kekaguman terhadap bangunan dan cerita sejarah Kota Solo yang seolah tidak ada habisnya dikuak. Adapun saat dimana saya berhalangan hadir sehingga tidak ada tulisan yang dipublikasikan.
Pertama mengenal komunitas peduli sejarah yang terdiri dari sekelompok anak muda yang kala itu mereka masih duduk di bangku kuliah sejak April 2013 lalu, tepatnya saat kegiatan bertajuk “Blusukan nDalem Pangeran” ( cerita lengkapnya bisa diklik di sini ). Kesan pertama yang menyenangkan. Boleh dibilang mereka sudah mengubah cara pandang saya. Salut dan bangga melihat ketekunan dan kegigihan mereka, menghapus perlahan rasa pesimis akan ketidak pedulian anak muda Indonesia terhadap sejarah.
Saking rajinnya mengikuti acara setiap bulannya, rasanya seperti menemukan keluarga baru dengan kesenangan yang sama, yaitu sama-sama mau belajar sejarah. Lambat laun saya diminta ikut membantu jalannya kegiatan. Ikut berpanas ria saat survey tempat baru, mengetuk pintu rumah ke rumah terduga bangunan bersejarah, tak jarang menerima penolakan dan cibiran dari pemilik bangunan. Lebih banyak duka ketimbang suka. Itulah sebabnya tidak semua orang tertarik membagikan secara cuma-cuma sesuatu yang didapat dengan susah payah.
Di awal perkenalan, saya beranggapan bahwa biaya pendaftaran peserta akan memberikan keuntungan yang cukup bagi mereka. Kenyataannya uang yang terkumpul selalu habis untuk membayar donasi ke pemilik/ penjaga tiap bangunan yang dimasuki saat kegiatan berlangsung, ( kadang ) mencetak booklet tentang sejarah kampung, dan membeli snack atau makanan berat yang akan dikonsumsi oleh peserta di tengah perjalanan.
Belum kalau mendapati peserta yang sudah mendaftar tapi belum membayar biaya pendaftaran ternyata berhalangan hadir saat hari-H. Otomatis makanan yang sudah terlanjur dipesan satu hari sebelumnya meninggalkan sisa ( baca: tombok ). Tapi semua dijalani dengan perasaan senang dan kepuasan karena bisa membantu mengenalkan sejarah kampung-kampung yang sebelumnya dianggap remeh.
Tak dipungkiri bahwa mempertahankan kekunoan itu susah. Membengkaknya biaya perawatan bangunan tua memaksa pemilik rumah menjual bahkan merobohkan. Tim Blusukan Solo terus berkejaran dengan waktu agar bisa membawa peserta melihat lebih dekat, mendengar kisah dari saksi hidup, merasakan nuansa masa lalu yang sudah semakin sulit ditemui di kota yang semakin penuh sesak oleh ruko.
Hanya ada kesedihan saat mengetahui rumah yang diincar untuk kegiatan berikutnya sudah rata dengan tanah. Muncul penyesalan karena belum bisa bermulut manis untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangunan tua apalagi meyakinkan pemilik rumah tua agar menjualnya ke orang yang sama-sama peduli kekunoan.
Kegiatan yang terbilang tidak biasa ini kadang dilirik oleh pihak tertentu. Belum muncul kejelian dari pemerintah kota apalagi dinas pariwisata setempat terhadap bangunan tua yang tersebar di kampung-kampung Kota Solo otomatis membuat komunitas ini masih dipandang sebelah mata. Apesnya nama Blusukan Solo pernah dikaitkan dengan tim sukses salah satu calon gubernur ibukota ( sekarang sudah duduk manis di kursi panas ) saat beliau gencar “mblusuk” pasar dan kampung. Duhh.
Sekalinya mendapat perhatian ekstra justru datang dari pihak yang ngunu kuwi lah. Sebut saja namanya Departemen Mawar, mereka tertarik mengajak kerja sama Blusukan Solo untuk mengadakan kegiatan di akhir tahun. ACARANYA DINAS AKHIR TAHUN YANG JEBAKAN BETMEN BEGITUUU. Maaf caplocks mendadak jebol, karena begitulah. Ideologi mendadak berubah karena iming-iming uang rakyat yang dihambur-hamburkan dengan cara kurang jelas. Tentu tidak semua pihak berkelakuan demikian, hanya saja dari kejadian tersebut saya jadi berkesimpulan bahwa ada sebagian dari kawan-kawan yang tergoda untuk “dijebak” lagi.
Muncul dilema yang menjalar perlahan setelah merasakan tingkat keseruan acara yang pasang surut tidak beraturan. Tiba-tiba rasa lelah untuk berbagi mulai dirasakan. Apakah kelak akan terus mengantungkan uang dari Departemen Mawar atau pihak serupa yang menawarkan hal yang sama untuk memenuhi kebutuhan manusiawi? Akankah pemerintah kota terus membiarkannya berjalan tanpa arah? Haruskah kelelahan dan perjuangan yang sudah dijalani selama bertahun-tahun dengan mudahnya diganti oleh lembaran kertas yang kelak tidak akan dibawa sampai akhirat? Haruskah kepuasaan dan senyum di awal menjadi kenangan belaka?
Ahh rasanya masih perlu banyak belajar dari masyarakat dan tidak berharap lebih dari suatu pihak, termasuk sayapun. Tapi waktu terus berjalan… Manusia tidak bisa mengulang waktu kecuali punya mesin waktunya Doraemon…
Kegiatan #DolanBareng bertajuk “A Little Piece of MATARAM, The Last Journey” yang diselenggarakan tanggal 14 Juni 2015 di Cepogo, Boyolali menjadi acara terakhir Blusukan Solo. Lagi-lagi saya berhalangan hadir, hanya bisa mendengar cuilan cerita seru yang menguras emosi. Perjalanan terakhir yang seolah menjadi awal, bukan akhir.
Warga kampung yang menganggap kampungnya biasa saja mulai peka terhadap sejarah masa lalu leluhurnya. Peserta yang belum mengenal sejarah jadi tahu dan ingin tahu lebih banyak lagi. Penonton acara televisi yang terjebak euforia “dunia lain” jadi paham bahwa bangunan tua tidak seseram yang dibayangkan asal melihat dari sisi yang berbeda, yaitu sejarah hebatnya di masa lalu. Termasuk menyadarkan pejalan seperti saya bahwa sekecil apapun daerah yang dikunjungi pasti ada sesuatu entah itu cagar budaya maupun kisah pahlawan lokal yang semula diremehkan jadi terlihat menarik.
Hanya bisa berucap dalam hati, jangan anggap kalian bukan siapa-siapa, kalianlah pahlawan yang sudah menggerakkan hati banyak orang agar semakin mencintai kekunoan kota Solo. Tetaplah berbagi semangat belajar sejarah yang sudah meracuni banyak orang. Akan menunggu keceriaan itu kembali dengan langkah yang baru.
Akhir kata… terima kasih Blusukan Solo.
Cheers and Peace.
Blusukan Solo membubarkan diriatau dirimu keluar dari sana, Mas? Ah apapun yg terjadi semoga tambah banyak anak muda yg mencintai sejarah ya…
Blusukan Solo sudah menjadi kenangan. Mudah-mudahan semakin banyak anak muda sampai tua yang tergerak untuk mau mengenal sejarah kota atau malah kampung masing-masing. :-)
Komunitas yg dulu aku ikuti juga ada masa-masa seperti itu. Seiring semakin punya nama, semakin dilirik banyak pihak, dan lantas jadi rawan digaet untuk “kepentingan” sana-sini. Akhirnya ya kami memilih untuk bubar. Jalan sendiri-sendiri. Karena memang pada awalnya berdiri dilandasi oleh dasar senang-senang, bukan karena ada unsur “politis”. Ironis ya? :p
Tapi setidaknya, komunitas Blusukan Solo sudah bisa menginspirasi banyak orang. Sudah bisa menyadarkan banyak orang akan arti pentingnya sejarah. Semoga di kemudian hari banyak bermunculan orang-orang yang mewarisi semangat dari Blusukan Solo walaupun tidak berbentuk sebuah komunitas.
Landasan kesenangan yang goyah oleh unsur tertentu memang bikin dilema. Trus jadi penasaran komunitas apa yang pernah dirimu ikuti, Wi :-P
Komunitas sepedaan sih Lim. Anggotanya puluhan orang gitu. Terus ya gitu deh…. Awalnya cuma mau nyepeda seneng2 eh malah digaet kepentingan sana-sini jadinya nggak seru, bubar aja deh mendingan
Aku suka teriak ‘orang Indonesia, kalau ada yang bilang Tionghoa. Tionghoa masih sering dianggap bukan orang Indonesia :(
Kadang ya heran dengan “batas” yang masih bertahan sampai sekarang, padahal negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore sudah tidak nampak batas seperti itu…
Terjadi di banyak tempat, peninggalan sejarah diabaikan karena dianggap mengganggu atau tak menguntungkan. Salut untuk misi sosial yg kuat dari kawan-kawan Blusukan Solo. Memang sayang harus berakhir. Tapi semangat yg kuat tak bisa dibendung begitu saja. Akan ada jalan untuk melanjutkan misi.
Terima kasih Mas Edy. Banyak yang masih belum peka dengan peninggalan bersejarah yang seharusnya sudah bisa diperkenalkan sebagai salah satu obyek wisata mumpuni suatu daerah. Semoga spirit dari Blusukan Solo bisa menyebar ke daerah lain :-)
See you again, bukannya goodbye. Which mean it still continue. Mungkin dengan format berbeda namun spiritnya sama. Laku lampah kalo ga salah nama barunya.
Sampai sekarang saya masih belum kesempatan ikut blusukan solo. Kadang mau ikut minder. Ketuwekan ^.^
anyway, matursembah nuwun kagem blusukan solo.
The spirit carries on.. (nyomot lagune dream theatre)
Ting Tong, mangkok cantiknya bisa diambil di pos hahaha
Loh kok pake acara minder segala, banyak ibu-bapak yang ikut blusukan loh. Tidak mengenal usia, jadi ayok ikut kalo sudah menetap di Solo lagi hehe
Ini acara bagus, mengajarkan masyarakat ttg sejarah tp dibuat seperti petualangan jd gak ngebosenin. Semoga ke depannya banyak komunitas seperti ini di tiap kota. Jadi gak melulu ke mall terus. Bosan!! 😣
Sejauh ini sudah ada beberapa kota yang punya kegiatan serupa. Magelang ada Kota Toea Magelang, Semarang punya Lopen Semarang, lalu Jakarta punya Jakarta Walking Tour. Bisa dicek masing-masing akun medsoc-nya, mbak Clara :-)
aku follow blusukan solo, berharap suatu ketika bisa ikut gabung
Follow jejakbocahilang juga kan? Hihihi
tempatnya unik ya halim
Lokasi sebagian besar gambar ada di Solo, Win :-)
mau lagi kesana haha
Semoga suatu hari nanti juga ada komunitas seperti ini yang bisa saya ikuti :)). Sayang sekali kalau komunitas seperti ini harus menyurut karena alasan-alasan politis yang menjadikan idealisme berbelok, tapi semoga sukses buat kalian semua, kalian adalah orang-orang hebat dan saya mesti belajar banyak dari kalian, dari dirimu dan teman-teman semua Mas :hehe…
Wah itu Candi Lawang ya… semoga suatu hari nanti bisa datang ke sana. Dan ada lingga menyembul di foto Candi Sari, hmm… sesuatu yang menarik untuk diselidiki.
Tulisan mengenai Candi Sari dan Lawang yang belum populer di kalangan selebriti akan segera kutulis. Jadi tenang aja semua rahasia di Cepogo akan kukuak secara tajam #halah :-D
Baiklah, saya tunggu :)).
Sampai sekarang belum tau alasan pergantian identitas blusukan Solo :(
Pasti nggak ikut Blusukan Last Journey ya, Maya? :-)
masih bucket list banget nih Lim, blusukan sama kamu pasti seru abis :)
* * *
Jalan2Liburan → Weekend Well Spent in Disneyland Paris
Sudah siap antar mblusuk dari dulu loh hehehe. Kalau ke Yogya atau Solo let’s me know :-D
Blusukan yang nggak akan dicecar negatif sama orang :)
Seperti biasa, foto-fotonya keren Lim!
Terima kasih Om Ndut. :-)
Itu dia mas, saya bingung kenapa kebanyakan orang Indonesia agak waspada sama orang keturunan China. Padahal, dalam sejarah bangsa ini tidak ada satupun nama bangsa yang berkaitan dengan China yang memiliki label penjajah. Kenapa ya orang Indonesia malah nggak benci sama bangsa yang udah menjajah mereka? Mungkin Mas Halim tau? Hehe
Btw, Blusukan Solo ada rencana buka cabang gitu nggak mas? Kayak di Semarang gitu? Yaaah jadinya Blusukan Semarang. Kayaknya di Semarang belum ada deh… Daaaan bangunan historis di Semarang banyak tersebar diberbagai penjuru kota, nggak cuman terpusat di kawasan kota lama, tapi ya itu… nggak ada Blusukan Semarang jadinya ya lambat laun bangunannya keburu roboh sebelum generasi muda pada tau itu asalnya bangunan apa gitu, kasihan ya.
Kalau pendapat saya sih semua efek dari orba yang melarang budaya Tionghoa keluar dari “sangkar”, beda dengan Malaysia dan Singapur yang membebaskan budaya Melayu dan Tionghoa untuk berkreasi. Lagi-lagi ini taktik politik agar selalu muncul perpecahan di tanah air, menyadur siasat kolonial hehehe.
Sampai akhirnya Imlek dan perayaan budaya Tionghoa yang lain dikeluarkan dari “sangkar” setelah Gus Dur menjabat jadi Presiden RI. Proud of him. :-)
Semarang punya Lopen Semarang, Bay. Kalau tertarik dengan heritage Magelang bisa intip Kota Toea Magelang. Bisa dicek akun media sosialnya. ;-)
Oooh giti ya menurut versi orang Tionghoa-nya sendiri. Kalau saya sih malah mikirnya orang-orang orba mengkambing hitam-kan orang Tionghoa untuk menutupi kesalahan mereka gitu mas. Bisa jadi nggak sih? Hehe
Ah sudahlah, yang penting sekarang orang Tionghoa nggak bisa dipandang sebelah mata, soalnya banyak preatasi luar biasa yang mereka persembahkan buat Indonesia. Jadi ya mau Tionghoa kek, mau Jawa ke, Sunda kek, ya tetep aja KTP-nya Indonesia. Ya kan mas? Hehe
Waaah saya yang orang Semarang malah baru tau deh mas ada lopen ini. Btw, makasih infonya ya mas, saya sudah kepo-kepoin medsos-nya si lopen ini hehe
Saya bangga jadi Indonesia dan selalu jadi Indonesia :-D Ada beberapa tokoh Tionghoa di Solo yang selama ini belum banyak dikenal, semoga bisa saya kenalkan ke pembaca juga ;-)
hiks ikut sedih bacanya lim, semoga walau sudah bubar, spirit blusukan solo tetap terasa hingga lamaa…menginspirasi anak muda lain untuk cinta sejarah bangsanya sendiri…
Spirit Blusukan Solo sudah meracuni banyak orang termasuk saya. Pastinya dengan kegiatan semacam ini membuat semua orang semakin cinta dan bangga dengan negaranya sendiri. :-)