Bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan menuju kawasan Jetayu sungguh membuat saya geleng kepala. Kagum dengan kepedulian pengelola yang masih menghargai kekunoan dan kemegahan beberapa rumah dan bekas perkantoran yang dibangun pada masa Hindia Belanda. Terkesima dengan rumah berdesain indish neoklasik bekas kediaman saudagar, serta villa dan loji yang pernah digunakan warga Belanda yang pernah menetap lama di Kota Pekalongan.
Ahh sayangnya sore itu bus melaju cukup kencang, dengan maksud agar saya dan kawan lain yang tergabung dalam #FamTripJateng bisa tiba di Museum Batik Pekalongan sesuai waktu yang telah ditentukan. Andai ada waktu lebih longgar untuk mengeksplor kota, mungkin kekunoan Kota Pekalongan akan membius dan membuat saya terlena cukup lama dengan bukti kejayaannya di masa lampau.
Kesepakatan antara Paguyuban Pecinta Batik Pekalongan, Yayasan Kadin dan Pemerintah Kota Pekalongan membuahkan hasil berdirinya sebuah museum yang memiliki tujuan mengedukasi dan menumbuhkan minat dan kecintaan masyarakat terhadap batik. Museum Batik Pekalongan yang terletak di Jalan Jetayu baru diresmikan oleh Presiden SBY pada 12 Juli 2006 silam dengan koleksi lebih dari seribu lembar kain batik se-Nusantara.
Sebelum menjadi sebuah museum, pada tahun 1906 bekas City Hall Pekalongan tersebut sempat berfungsi sebagai kantor keuangan pabrik gula milik pemerintah Hindia Belanda yang membawahi tujuh pabrik gula di karesidenan Pekalongan. Tak heran tiap sudut gedungnya memiliki tipikal bangunan Eropa, pilar-pilar berukuran besar, langitan tinggi, pintu dengan kayu berkualitas hingga susunan tegel kuno dengan motif timbul yang sekarang memiliki nilai sangat tinggi di mata kolektor barang antik.
Di antara tiga ruang yang tersebar di Museum Batik Pekalongan, saya lebih betah melihat helai demi helai batik dengan motif khas Pekalongan yang dipamerkan di Ruang Pamer Tiga. Ruangan yang tidak banyak memamerkan batik-batik hasil sumbangan pejabat dan helaian kain yang bukan berasal dari Pekalongan. Perlu diketahui bahwa ada dua motif asli Pekalongan yang sudah berkembang semenjak goresan malam di atas kain mori diperkenalkan secara luas oleh para juragan batik di Pekalongan, yaitu buketan dan jlamprangan. Apa perbedaannya?
Nama buketan berasal dari bahasa Perancis bouquet yang berarti karangan bunga. Motif ini pertama kali diperkenalkan oleh Eliza Charlotte van Zuylen, seorang wanita Indo-Eropa yang menetap di Pekalongan. Inspirasi Eliza menciptakan motif buketan berawal dari gambar-gambar rangkaian bunga yang dilihatnya di majalah dan kartu pos yang dikirim dari Eropa oleh kerabatnya. Tak lama kemudian beliau mulai memproduksi batik sendiri sejak tahun 1888 mengikuti langkah wanita-wanita Indo-Eropa di Pekalongan yang sudah terlebih dahulu memproduksi dan menjual batiknya ke masyarakat luas untuk menambah pendapatan mereka selama tinggal di Hindia Belanda.
Kesuksesan motif buketan yang diusung oleh Eliza dan teman sejawatnya kelak ditiru oleh peranakan Tionghoa yang sebelumnya hanya memproduksi batik dengan motif hias porselen, burung-burungan, hingga hewan mitologi Tiongkok. Lambat laun muncullah motif yang memadukan hiasan bouquet dengan phoenix, bouquet dengan porselen serta percampuran yang lain di atas lembaran kain berwarna cerah khas pesisir Jawa. Motif-motif yang hingga kini masih bertahan dan menjadi kekhasan dari batik Pekalongan.
Lain cerita dengan motif jlamprang yang diawali di Desa Krapyak, Pekalongan Utara. Konon ragam hias ini dipengaruhi oleh kain patola dari Gujarat, India. Penamaannya sendiri diambil dari sebuah nama pohon jlamprang yang dulu tumbuh subur di Desa Krapyak. Dengan mengusung hiasan bujur sangkar yang setiap sisinya melengkung yang disatukan sehingga membentuk persinggungan empat buah lingkaran membuat jlamprang terlihat “gagah”.
Dulu batik jlamprang sering dianggap sebagai benda sakral yang dijadikan media penghubung dunia bawah dengan dunia atas, atau dengan kata lain media untuk bertemu penguasa laut Utara. Jika pantai Selatan punya Nyi Roro Kidul, pantai Utara tercipta tokoh Den Ayu Lanjar. Yah sebelas dua belas lah… Itu kepercayaan masyarakat yang masih percaya hal-hal mistis, jangan takut karena sekarang batik bermotif jlamprang tidak lagi dianggap demikian. :-)
Dua motif khas Pekalongan yang tersimpan rapi di Museum Batik Pekalongan mampu memperluas wawasan saya terhadap keragaman kain tradisional di Nusantara. Ini baru Kota Pekalongan, belum kota-kota pesisir serta batik khas keraton yang lain.
Oh iya, menurut mas guide Museum Batik Pekalongan, ratusan lembar kain batik koleksi museum diputar tata letak dan penampilannya tiap bulan. Maksud baiknya agar pengunjung bisa melihat keragaman batik koleksi museum, tidak bosan berkunjung lebih dari sekali karena melihat koleksi yang berbeda dari waktu ke waktu.
Sisi negatifnya calon pengunjung tidak bisa melihat motif keren yang pernah dipamerkan kawannya yang pernah datang sebelumnya. Yah mudah-mudahan Ruang Pamer Tiga tetap mempertahankan rak-rak kaca berisi lembaran batik buketan dan jlamprang serta memaparkan lebih jelas sejarah juragan-juragan batik yang pernah mendiami Pekalongan.
Ayo ke museum!
Sekarang tiket masuknya berapa bang? Dulu pernah ke sana tapi udah lama, waktu masih sd hehe
LikeLike
Oh iya lupa tambahin informasi tiket masuk Museum Batik Pekalongan di atas hehehe.
Tiket masuk untuk anak-anak 1.000 rupiah, dewasa 5.000 rupiah :-)
LikeLike
Wah masih sama aja ya kayak dulu, murah aja deh pokoknya. Salut lah sama pemkot Pekalongan yang nggak ajimumpung hehe
LikeLike
Wait… SD? Museum pertama kali buka tahun 2006, jadi umurmu sekarang berapa, Bay? *hitung pake sempoa* :-P
LikeLike
Iya SD. Yah pas di buka SBY gitu hehehe, pas tuh kelas 6. Udah 20 tahun nih, udah beranjak tua hehehe
LikeLike
Hm, baru saja konstruksi kayu yang sama saya lihat di daerah Malang :hehe. Kayu zaman dulu memang sangat berkualitas dan tahan lama. Kalau rusak pun, dari luar tidak terlihat meski di dalamnya keropos… *jadi ingat kayu-kayu di Museum Fatahillah sebelum direnovasi*.
Motif jlamprangan lebih geometris ya. Hm, buketannya bagus sekali :)). Pekalongan itu kota pesisir, jadi motif batiknya lebih berani dan lebih kaya warna :)).
LikeLike
Suka lagi langitan rumah peninggalan kolonial pasti dibikin tinggi biar sirkulasi udara lancar, selalu terasa sejuk saat musim kemarau datang :-D
Betul, motif jlamprang lebih geometris, motif parang-parangan di Solo-Yogya pun demikian. Makanya heran kok bisa batik jlamprang dianggap sakral pada zaman dulu hehehe. Mungkin Den Ayu lanjar-nya lebih tertarik sama yang geometris gitu kali ya #ngarang hahaha
LikeLiked by 1 person
Yap, desain langit-langit tinggi, selain megah, juga membuat ruangan adem.
Nah, mungkin juga Mas :hihi.
LikeLiked by 1 person
yudi sekarang sedang menjalin kerjasama dengan teman di pekalongan bang. mau bikin batik ala aceh. insya Allah akan launching dalam tahun ini :)
LikeLike
Kerennn! Kudukung dari jauh, Yudi. Kalau sudah launching bolehlah colek-colek biar bisa kubantu promosiin Batik ala Aceh :-D
LikeLike
makasih bang Halim.. insya Allah coming soon bang.. mohon doanya.
LikeLiked by 1 person
Tuhh kan udah ketebak dari judulnya yang aku baca tadi siang. hehe
tapi aku gak melihat dari judul kok koh, udah ah yang penting aku ninggalin jejak di sini…
LikeLike
Jejak jelata sudah meninggalkan jejak di jejak-bocahilang #okesip :-D
Sering-sering mampir yah biar dapat piring cantik hahaha
LikeLike
Wooooh..batiknya, coraknya, designnya, warnanya…Aku jatuh cinta hehehe…
LikeLike
Warna cerahnya ditambah hiasan bunga-bungaan di buketan memang bikin ngiler. Di Pesindon juga dijual kain bermotif demikian meski nggak seklasik yang di museum sih hehehe
LikeLike
Pengen mampir ke Pekaalongan tapi waktunya itu loh hehehe pas puasa aja ah hehehe
LikeLike
Padahal deket dari Pemalang kan? Hayukk main ke Pekalongan, trus aku diajak biar bisa melipir ke Pemalang sekalian ya hahaha
LikeLike
wah aku baru tau sejarah batik buketan kayak gitu hehe
LikeLike
Untung motif buketan di Batik Pekalongan nggak diklaim ama orang Eropa yah hahaha
LikeLike
Motif batiknya keren2 yaaa, Salut ama batik
Btw kalo tiket masuk remaja macam aku ini berapa bang ???? kan aku bukan anak2 dan bukan dewasa#laluDigampar
LikeLike
Anuh kak… itu kumisnya nggak memperkuat pernyataan kak Cumi masuk kategori remaja. Jadi maap ya kaka masuk kategori film dewasa ehh dewasa maksudnya :-D :-D
LikeLike
pekalongan, sebuah kota yang bikin penasaran, apakah namanya dari “pek a long an” atau “pe kalong an” sementara temenku yg asli situ lebih suka nyebut kotanya “kalongan” :)
liat museum ini pengen deh pemko solo bikin museum batik juga, yang lebih ramah kantong hahahaha
LikeLike
Ada banyak versi asal nama Pekalongan, kebanyakan orang menyebarkan yang versi tapa “kalong” nya Joko Bau Rekso, pahlawan daerah Pekalongan. Tapa dengan bergelantung seperti kelelawar. Nama Pekalongan sendiri baru muncul setelah Sultan Agung raja Mataram bertahta, konon beliau yang memberikan nama tersebut setelah mendengar kisah Joko Bau :-)
LikeLike
So, pe kalong an jadinya :)
LikeLike
Baru sekali sih ke Pekalongan, dulu pas otw ke Bandung. Ya cuma numpang lewat. Belum tahu museum tersebut hahaha.
LikeLike
Kota Pekalongan sudah dinobatkan sebagai Creative City UNESCO ( kalo yang ini resmi, bukan gelar pencitraan seperti kota tetangga ). Wajib singgah deh biar tahu keseriusan pemerintah daerah dalam memajukan kampung batik di sana dan bikin museum yang lumayan apik tersebut. :-)
LikeLike