Mendapati kenyataan bahwa seseorang mempunyai kekayaan lebih di atas rata-rata seringkali menimbulkan rasa iri, ingin berada di tingkat yang sama dengannya. Usaha dan kerja keras seorang enterpreneur yang telah dibukukan sering menjadi pemacu semangat. Sosoknya terus disegani, dielu-elukan semasa hidupnya.
Sayangnya saat mengalami kemunduran ekonomi, nama besarnya langsung tergeser oleh sosok yang lebih unggul. Namanya tenggelam perlahan seiring dengan waktu. Kemunduran yang bisa disebabkan oleh ketidaksamaan misi generasi penerus yang terlahir dalam keadaan terlalu nyaman. Kepintaran yang kelak disalah gunakan, atau mungkin terlalu terlena dengan kilauan harta duniawi yang membuatnya lupa bahwa roda kehidupan terus berputar…
Banyak yang mengaitkan kota Kudus sebagai pusat perusahaan rokok raksasa seperti Djarum, Nojorono/ Clas Mild dan beberapa merk rokok kretek maupun sigaret lainnya. Tak salah, tapi sebelum ada nama-nama besar itu, Kudus pernah memiliki sejarah tentang rokok kretek yang diawali oleh Nitisemito. Siapa Nitisemito? Apa peran pentingnya terhadap kota Kudus? Apakah namanya masih diingat oleh banyak orang?
Terlahir dari orang tua bernama Haji Sulaiman, seorang kepala desa dan istrinya Markanah di Desa Janggalan, Kudus. Mereka memberinya nama Rusdi sebelum beliau mengganti namanya sendiri di usia tujuh belas tahun menjadi Nitisemito. Sempat merantau ke Malang untuk bekerja sebagai buruh jahit, menjadi pengusaha pakaian jadi, lalu bangkrut. Merintis usaha pembuatan minyak kelapa saat kembali ke kampungnya, sayangnya bangkrut lagi. Semua usahanya selalu mengalami kegagalan hingga akhirnya beliau memutuskan menjadi kusir dokar dan berjualan tembakau. Di kesempatan inilah beliau bertemu dengan Nasilah dan menikahinya.
Nasilah bisa dikatakan sebagai salah satu penemu rokok kretek. Campuran irisan tembakau dan cengkeh yang dibungkus dalam klobot ( kulit jagung yang sudah dikeringkan ) dan diikat dengan tali yang dibuat oleh Nasilah disukai oleh banyak pelanggan warungnya. Kebiasaan menginang yang meninggalkan bercak merah seperti darah mulai tergeser oleh kepulan asap yang dikeluarkan oleh rokok kretek.
Awalnya Nitisemito memberi nama Kodok Nguntal Ulo. Dirasa tidak membawa hoki dan jadi bahan tertawaan banyak orang, akhirnya nama diganti menjadi Tjap Bulatan Tiga. Logo bulatan tiga yang kelak menjadi hiasan di atas istana kembar yang dibangunnya. Berkat intuisi bisnis Nitisemito yang kuat, bisnisnya berkembang dengan pesat menjadi sebuah kerajaan rokok di Kudus.
Setelah beroperasi sepuluh tahun dan meresmikan merek rokok kreteknya dengan nama Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito, pada tahun 1914 beliau mendirikan pabrik seluas 6 hektar di Desa Jati yang membawahi 15.000 buruh rokok dan mampu memproduksi 10 juta batang rokok tiap harinya. Ribuan buruh ditampung dengan maksud agar mereka tidak lagi bekerja di bawah orang-orang Belanda.
Ceita di atas hanya kisah singkat kesuksesan seorang Nitisemito… Muncul perasaan miris saat membaca akhir dari riwayat hidup Nitisemito yang terpasang di sebuah ruangan di Museum Kretek, Kudus, Jawa Tengah. Dikisahkan usaha yang kemudian dijalankan bersama menantunya, M. Karmain mengalami masa surut pada tahun 1938. Masuknya tentara Jepang dan Perang Dunia II semakin memperburuk ekonomi perusahaan hingga pabrik Bal Tiga dinyatakan pailit pada tahun 1953.
Ada sumber lain yang mengatakan bahwa jatuhnya usaha Raja Kretek Nitisemito akibat dari persaingan tidak sehat antar pengusaha rokok di Kudus saat itu. Tuduhan penggelapan pajak yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga meninggalnya M. Karmain yang menyisakan konflik internal keluarga tentang siapa pengganti Nitisemito, pewaris kerajaan rokok kretek Bal Tiga. Kerajaan kecil yang dibangun Nitisemito berakhir seiring dengan gelar Raja Kretek yang perlahan hilang ditelan oleh waktu.
Masa kejayaan Nitisemito seolah-olah hanya sebagai prolog dari bisnis rokok kretek di Indonesia. Kini sudah muncul beberapa kerajaan rokok yang baru dengan pemasaran yang lebih maju. Tidak perlu menyewa pesawat Fokker untuk mengiklankan produk rokoknya, apalagi memberikan souvenir mahal kepada pembeli rokok berupa sepeda, piring porselen seperti yang dilakukan oleh Nitisemito.
Peninggalan Nitisemito yang masih terlihat hingga sekarang hanya berupa istana kembar yang terletak di Jalan Sunan Kudus. Dua buah rumah tersebut pernah ditinggali oleh putrinya, Nafiah dan Nahari. Bangunan yang dipisahkan oleh Kali Gelis tergolong sangat mewah di masanya. Mobil dan kereta kuda terparkir di halaman depannya yang luas, dipenuhi oleh perabot mewah di dalamnya serta memiliki lantai berhiaskan susunan uang logam.
Sayangnya bukti kejayaan seorang Raja Kretek hanya bisa menunggu waktu diratakan dengan tanah, karena salah satunya akan dijual oleh pemiliknya. Belum terdengar usaha pemerintah untuk mempertahankan bangunan bersejarah tersebut, apalagi empati dari kerajaan rokok yang lain untuk membeli bangunan yang punya banyak cerita terkait perkembangan rokok kretek di Indonesia.
Hanya bisa menyampaikan kata-kata yang terukir di salah satu peninggalan Nitisemito,
“Djangan Loepa Saja Poenja Nama” ~ Nitisemito
Aku jadi ikutan sedih membaca ceritanya :'(
LikeLike
Sebagai warga asli Kudus jangan sedih donk. Malah bantu kenalin sejarah istana kembar pas ada temen dari luar kota datang, seperti waktu ajak diriku ke sana hehe.
LikeLike
Siapp bang…. Yang mau ke Kudus angkat kaki :p
LikeLike
Turut berduka :(
LikeLike
Ehh jangan berduka, hayolah melipir ke Kudus, kenali Nitisemito ;-)
LikeLike
Hehehe, i’m on it Mas :)
LikeLike
mudahan pembelinya nggak meratakan si kembar
LikeLike
Harapanku juga demikian, agar keturunannya dan warga Kudus sendiri punya identitas dengan tidak melupakan sosok Nitisemito :-)
LikeLike
wow baru tahu kalau raja kretek ini berasal dari kudus, tetangga di jateng nih hehehe
LikeLike
Baru tahu juga kalo Salman besar di Pemalang. Ntar kalau butuh info tentang Pemalang kukontak yah :-D
LikeLike
Haduh Lim. Aku terhanyut mbaca tulisanmu ini.
Semoga bangunan peninggalan Nitisemito ini tetap lestari ya
LikeLike
Ngarepnya begitu… terus jadi penasaran mantan orang besar yang namanya sudah nggak dikenali banyak orang di Tuban :-D
LikeLike
Konon ada anekdot perusahaan keluarga di Indonesia bahwa generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati dan generasi ketiga memeras habis semua sisa kejayaan. Sepertinya anekdot ini juga berlaku pada keluarga Nitisemito :)
LikeLike
Agree with that! Rata-rata memang demikian, generasi penerus yang hidup terlalu sangat nyaman biasanya berakhir dengan ketidak damaian :-)
LikeLike
Suka tulisannya!
Ada rasa yang agak aneh waktu liat foto rumahnya, jadi membayangkan rumah itu saat masih dalam masa kejayaannya dulu.. wih merinding!
LikeLike
Baru cari celah buat masuk ke dalam biar bisa lihat kemewahan dan cerita masa lalunya nih, bang Regy. Atau barangkali ada teman yang berminat beli rumah di Kudus, hubungi daku yah… *macak jadi sales rumah* :-D
LikeLike
Jadi ingat belum nulis cerita tentang kudus, padahal udah dua kali ke sana….duh Lim :)
LikeLike
Judulnya waktu buat menuangkan ceritanya ke blog lebih sedikit dibanding waktu jalan-jalannya hehehe
LikeLike
Aku ikut mendukung agar rumah nitisemito tidak di jual ke orang lain, melainkan dibeli oleh Pemerintah guna dijadikan sebagai museum sejarah kretek kudus. Sejarah harus dilestarikan bukan dibumiratakan :(
LikeLike
Kadang hanya berkata, yuk kenali dan perkenalkan sejarah bangunan tua di kotamu sebelum terlambat untuk diatasi :-)
LikeLike
cerita yang mengharukan, orang Indonesia memang susah ya menjaga
warisan budaya. :(
jadi pengen ke Kudus dan museum ini, terima kasih ceritanya.
salam kenal,
Yuki
LikeLike
Thank u sudah mampir, Yuki :-)
Kudus juga punya kuliner khas yang enak loh, jadi jgn lupa untuk kulineran kalo ke sana :-D
LikeLike
iyaaa, favoritku apalagi kalau bukan Soto Kudus, hihiy… :)
LikeLike
Pernah coba sate kebo? Nyummy juga loh… *mendadak jadi laper* hehehe
LikeLike
yaaah, gak suka kumpul kebo. *lah
gak suka daging kebo hahaha…
LikeLike
Ya Tuhan, miris benar melihatnya :(
Tapi adalah hakikat manusia untuk lupa, meski begitu, kita harus melawan lupa untuk bisa tetap sekadar mencoba supaya bangunan mahakarya ini tetap berdiri. Kejayaan ekonomi kolonial hampir tak ada lagi kalau bangunan-bangunan sebagai buktinya dibiarkan runtuh begitu saja…
LikeLiked by 1 person
Kudus ternyata punya beberapa bangunan kolonial yg masih bertahan dan masih utuh, Gara. Salah satunya (terduga) rumah petinggi Hindia Belanda yg sekarang jadi factory outlet. Baru tahap survey siapa yang dulu pernah menempatinya :-)
LikeLike
Semoga bangun-bangunan itu bisa tetap terjaga ya, Mas :amin.
LikeLike
Pasti luas banget ya rumahnya dan ramai pada masa jayanya
LikeLike
Dulu semua orang terpukau dengan kemegahan istana kembar, sayang sekarang kharismanya sudah sedikit pudar, Riky
LikeLike
Rumahnya keren banget. Sampai sekarang pun aku masih berani bilang kalau rumahnya keren!
LikeLike
Arsitekturnya bukan seperti bangunan indish yang banyak dibangun di masa kolonial, sungguh punya bentuk spesial yang menunjukkan pesona “raja kretek”, apalagi ditambah logo Bal Tiga di atapnya :-)
LikeLike
Arsitektur rumahnya itu yang bikin jadi keren.
semoga gak jadi di jual ya,dan tetap menjadikan warisan budaya
LikeLike
Arsitektur keren yang bernilai sangat tinggi di masa sekarang dengan material yang tidak mudah didapat di masa sekarang :-)
LikeLike
Itu yang jual siapa? Keturunannyakah?
LikeLike
Sepertinya masih ditinggali oleh keturunannya. Kalau ada kesempatan masuk ke dalam akan saya tanyakan :-)
LikeLike
nice share story
LikeLike
Thank u Andreas :-)
LikeLike
Wah Baru tau cerita INI :) … ITU ngeliat rokok2 jaman dulu, jd pgn nyobain ihh.. Tp rokok kretek aku ga kuat sih…terbiasa ama yg filter :p..
Kalo k kudus ntr mW mampir ke museumnya ah ^o^
LikeLike
Museum Kretek di Kudus bercerita banyak tentang sejarah rokok di Indonesia. Monggo mampir :-)
LikeLike
Miris banget ih… padahal kalau di luar negeri, hal-hal heritage begini sangat dipelihara dan bisa dijual habis-habisan. Tetapi bisa jadi untuk memulainya perlu dana yang tidak sedikit dan itu sudah masuk ke kantong para koruptor :'(
LikeLike
Tingkat kepedulian terhadap perawatan bangunan tua di Indonesia masih tergolong rendah. Belum menyadari bahwa mereka yang dianggap kuno justru memberi nilai lebih sebagai obyek wisata, tempat usaha seperti rumah makan dan penginapan dll. Yah mudah-mudahan sebelum hancur semua, pemilik bangunan tsb sudah jeli terhadap potensi dan mengembangkannya :-)
LikeLike
sedih bacanya
LikeLike
Mas, sudah bertemu sama cucu nitisemito? Jika belum, kadang mampir saja dirumah bapak nusjirwan nitisemito di alamat depan rumah kembarnya sendiri, seberang jalan yg ada playgroupnya. Tanyakan perihal penjua
lan rumah itu. Supaya jelas mengapa rumah itu dijual. Yang saya tahu, pak nus cinta segala peninggalan eyangnya.
LikeLike
Wahh ini informasi yang menarik dan berguna sekali. Next time kalau ke Kudus lagi akan saya temui Pak Nusjirwan. Terima kasih banyak, kawan :-)
LikeLike
”Seharusnya memang peninggalan kerajaan Kretek di Kota Kudus di abadikan dan dirawat sebagai salah satu Cagar Budaya , khususnya bagi pengusaha – pengusaha Rokok di Seluruh Indonesia ikut melestarikan dan mengigat sejarah tersebut , memang tidak hanya Bal Tiga ..Djambu Bol Kudus juga runtuh..mungkin benar apa yang di comentkan saudara kita Halim Santoso..tks.
LikeLike
Sekarang rokok kretek hampir dipunahkan , bukti dari peraturan oleh pemerintah yg sangat tidak mendukung para pabrikan rokok kecil … yg membahayakan lah, yg membunuhmu lah, haram lah dll termasuk cukai yg tinggi. Bener2 rokok kretek tinggal sejarah saja …….
LikeLike