Sebagian orang selalu menganggap rumah tua sebagai bangunan yang menyeramkan, dikelilingi aura mistis, suram, tak layak huni dan anggapan negatif yang lain. Perlahan tapi pasti, mulai banyak bangunan berusia ratusan tahun diratakan, diganti dengan bangunan baru yang dinilai lebih nyaman, rukan sampai mall super kaku.
Semakin banyak manusia yang mudah terbuai dengan uang dan ketidakpuasan, mulai melupakan sejarah dan kenangan keluarganya di masa lalu. Biaya perawatan yang terlampau tinggi selalu menjadi alasan ahli waris melepas warisannya. Hanya bisa sedih saat mendapati bangunan tua yang satu tahun lalu masih berdiri tegak tiba-tiba sudah berubah wujud menjadi ruko.
Belakangan ini saya semakin menyukai kegiatan berburu bangunan tua, mata jelalatan saat menemukan rumah Jawa kuno maupun bangunan yang dibangun era kolonial di gang kampung dan jalan besar. Setelah beberapa kali ikut serta kegiatan Blusukan Solo dan terkadang terlibat di dalamnya membuat saya banyak belajar tentang cerita di balik bangunan bersejarah. Saya sering ikut serta melakukan survey dan mengumpulkan data sebelum melakukan kegiatan bulanan. Perlu diketahui bahwa proses mengenali kota itu lebih banyak duka ketimbang suka.
Kota Solo masih punya puluhan bangunan tua yang menunggu ajal, sehingga sesekali saya survey seorang diri dari gang ke gang, mengabadikan gambar bangunan tua, meminta izin pemilik rumah, penjaga rumah, sampai penghuni bayangan untuk masuk ke dalam rumah. Penghuni bayangan yang saya maksud bukanlah roh halus yang sering diberitakan oleh acara misteri di stasiun televisi, melainkan sekelompok orang yang mendirikan gubug sederhana di depan hunian kosong. Kondisi seperti ini sering dijumpai di tanah sengketa, bangunan kosong tanpa pemilik rumah asli di dalamnya.
Ada yang berperilaku ramah, basa-basi menanyakan status ( kuliah atau kerja, jomblo atau nggak #ehh ), kemudian memperbolehkan saya masuk ke dalam untuk mengamati bangunan lebih dekat. Tak jarang pemilik bangunan tua terusik dengan pejalan kaki yang asyik mengabadikan tiap sudut bangunan dari luar pagar. Banyak yang memandang remeh seolah saya dan kawan lain adalah makelar rumah, berburuk sangka dikira penjahat yang akan menyatroni rumah mereka. Beda prasangka dengan penghuni bayangan, mereka takut rumah liarnya dilaporkan ke pihak berwajib dan digusur.
Contoh penolakan demi penolakan yang pernah saya terima adalah saat melakukan survey kegiatan Blusukan Solo bertajuk Tambo Adimarga Purwosari Weg bulan Agustus 2014 lalu. Penolakan datang dari penjaga salah satu rumah tua di Purwosari yang sudah tidak ditinggali oleh pemiliknya lagi. “Maaf ya mas, yang punya rumah itu orangnya susah. Saya yang jaga rumah aja harus gedor pintu berkali-kali saat minta gaji. Itupun harus bolak-balik lebih dari satu hari. Sekali lagi maaf ya mas, nggak berani bawa masuk kalian, takut nggak digaji.”
Jawaban lebih menohok diterima oleh saya dan kawan lain saat menemui kerabat si empunya di rumah pribadinya, “Bapak nggak ada.” jawabnya ketus. Hah? Langsung syok mengira si empunya rumah sudah mangkat… Ternyata maksudnya si empunya sedang tidak mau diganggu! “Jika bapak nggak sibuk juga nggak bakal kasih izin orang masuk ke sana. Capek ditanya sana-sini. Bapak ingin tenang.” Tenang di alam baka atau tenang di rumah, entahlah.
Secara tidak sadar nada suara saya meninggi “Loh bukankah seharusnya bapak bangga masih mempertahankan rumah tua yang sarat sejarah? Saya sebagai warga Solo bangga loh lihat empunya yang mampu mempertahankan bangunan tua itu.” Lalu menambahkan “Kami selaku komunitas tidak ada maksud apapun kecuali mengenalkan sejarah ke teman yang belum tahu aja, Bu.” Hanya ada jawaban penolakan lagi. Sigh!
Lain cerita dengan hunian kosong dengan arsitektur keren di sebelah PLN Purwosari. Sempat tersiar kabar bahwa bangunan akan dirubuhkan oleh pemilik baru yang notabene pemilik perusahaan kain ternama di kota Solo. Setelah mendapat informasi alamat rumah tinggal empunya, kemudian meminta izin lewat sekretaris, mencoba membuat janji dengan mbak sekretaris, menunggu telpon konfirmasi seminggu, eh di-php-in. Sakitnya tuh di sini! tunjuk dada
Tidak semua bangunan tua punya cerita. Kenapa? Seiring dengan waktu dan ekonomi ahli waris yang semakin menipis, banyak rumah tua yang berpindah tangan. Meski ada pemilik baru yang peduli dengan kekunoan dan mempertahankan pondasi seperti semula sayangnya mereka tidak ada inisiatif mencari sejarah masa lalu bangunan yang mereka tempati.
Sepanjang survey baik individu maupun dengan komunitas, saya hanya menemukan segelintir pihak pemilik baru yang masih peduli dengan informasi sejarah masa lalu bangunan. Pengadilan Negeri Surakarta dan Wisma Batari yang terletak di Jalan Slamet Riyadi merupakan sedikit pihak yang masih mau mengumpulkan data lama dari berbagai sumber, menyalin dan menyebarkan informasi sejarah masa lalu ke orang yang ingin tahu tentang mereka. Tentu ini menjadi kebanggan tersendiri.
Sedangkan cerita sejarah bangunan-bangunan kolonial yang dulu ditempati oleh angkatan bersenjata pasca perang kemerdekaan yang kini sudah dimiliki oleh pihak swasta ( baca : dilelang oleh angkatan bersenjata dan pemerintah kota ) lebih banyak melupakan sejarah mengingat mereka adalah pendatang baru. Beberapa bangunan pemerintah serta sekolah-sekolah yang menempati bangunan berusia ratusan tahun pun berkisah demikian. Hanya ada sepenggal informasi bahwa bangunan sudah ditempati puluhan tahun sejak tahun 1960 an atau bahkan lebih dari itu. Mereka hanya menceritakan sejarah baru bukan sejarah lama. Terkadang juga dibumbui cerita wingit tentang kesurupan massal, penampakan di beberapa sudut. Ahh basi banget…
Ya sekali lagi lebih banyak duka ketimbang suka. Miris dengan minimnya kepedulian pemerintah kota dalam menangani pelestarian benda cagar. Saat mereka lepas dari genggaman barulah panik mencari kambing hitam untuk disalahkan. Semua kembali ke diri kita sendiri. Jangan hanya menyalahkan, berkeluh kesah, tapi bertindaklah!
Tidak harus mengumpulkan dana lewat media sosial demi membeli bangunan seharga miliaran. Dengan mengenali bangunan tua di sekitarmu, cari tahu sejarahnya dan berbagi dengan yang lain niscaya bangunan-bangunan tua di kotamu akan terkenal, diminati dan pemilik baru bisa berpikir ulang untuk tidak merubuhkan bangunan tersebut. Simpel kan? Kalau sudah terkumpul ntar bagi ke saya ya hehehe…
Cheers and peace... ;-)
Memang kita menikmati sejarah bangunan tua itu… Tapi ahli warisnya bisa saja kerepotan untuk merawatnya. Nggak nyalahi mereka sih kalau jadi judes atau nggak ramah. Aku pernah sowan ke pemilik rumah kuno di Jakarta, beliau malah maunya cepet-cepet dijual aja rumahnya dan dihancurkan juga gpp karen udah kerepotan banget ngerawatnya.
Mestinya lebih banyak kepedulian hadir baik dari pemerintah maupun masyarakat ya…
LikeLike
Pasti mbak Eka salah satu pemilik judes yang nggak suka diintip rumahnya ya? Gpp kok asalkan jemuran dalemannya dimasukin dulu hahahaha…
Penang dan Melaka di negara sebelah aja bisa bikin penduduknya cinta dengan bangunan tua di sana. Kenapa Indonesia tidak bisa? Ini yang bikin optimis bahwa Indonesia juga bisa jika ada kelompok khusus entah LSM maupun pemerintah yg kasih arahan agar heritage tetap bertahan. :-D
LikeLike
Hahaha. Rumahku belum ada yang tuaaa. KTP aja yang tua, eh :p
Aiih menarik juga kalau biaa ada gerakan yang bikin kita jatuh cintrong sama bangunan tua kita.
LikeLike
Saya sudah sejak lama mendambakan ketika berkeluarga kelak bisa punya dan tinggal di rumah berarsitektur kuno seperti banyak berserak di Jalan Besar Ijen, Malang
LikeLike
Wahh iyaa di Jalan Ijen, Malang masih punya banyak rumah kolonial yang bikin ngiler pingin punya, meski harga juga keren selangit hehehe
LikeLike
Yap, kalau selangit itu pasti :D
LikeLike
Saya malah semangat kalau denger cerita2 berbau mistis seputar rumah tua, hahaha. :D
Kalau menurut saya bangunan-bangunan tua itu kan sifatnya masih milik pribadi, bukan milik pemerintah. Jadi ya memang kewenangan mereka untuk boleh atau tidaknya kita bertamu ke sana. Cuma memang ya disayangkan kalau sikap mereka kurang bersahabat dan juga bila bangunannya tidak terawat.
Eh, mungkin saja mereka tidak sudi menerima tamu karena takut “ditelanjangi” sebab mereka tidak merawat bangunan bersejarah dengan baik, hehehe.
Oh iya, untuk inventaris bangunan-bangunan bersejarah, mungkin dirimu bisa menyambangi situs ini: http://heritageinventory.web.id/
LikeLike
Cerita mistis kuanggap sebagai bonus tapi nggak diceritakan di sini, ntar blogku jadi sasaran tim uji nyali lak repot hehehe…
Yup mereka merasa ditelanjangi, penghuni bayangan cemas ketahuan kenyataan rumah nempel mereka, yang acuh terhadap perawatan malu dengan rumahnya yang terlantar. Tapi paling gemes kalau lihat bangunan tua “milik” angkatan bersenjata yang malah disalah gunakan seperti contoh Benteng Willem I di Ambarawa…
LikeLike
makin konsisten nih tema tulisannya, dan informasinya selalu lengkap.
Keren Lim!
LikeLike
Makasih bang… *sungkem dengan senior* :-D
LikeLike
Di sini rumah tua rata-rata mahal perawatan karena terbuat dari kayu ulin, ahli waris gak punya cukup dana untuk memperbaiki, kaya rumah betang yang udah berumur dua ratusan tahun di biarkan bolong-bolong karena gak cukup dana buat renovasi..
LikeLike
Sedih kalo lihat bangunan megah yang dibangun nenek moyangnya yang sudah kuras tenaga dan bahan dalam kondisi tidak terawat. Jika generasi sekarang merubuhkan rumah tua dan bangun rumah mirip yang lama kurasa udah nggak mungkin lagi. Bisa pun tentu dengan harga lebih mahal.
Jadi bingung ini salah leluhur yang bikin bangunan terlalu bagus atau apesnya penerus yang ekonomi mepet hehe…
LikeLike
nah ini lim . sama gw juga gemes banget sama kondisi rumah2 tua yg dirubuhin trus diganti ulang. menurut undang-undang cagar budaya no 11 tahun 2010 semua udah jelas diatur . Benda yang memiliki gaya khas minimal berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah dan kebudayaan, dan memiliki nilai budaya untuk kepribadian bangsa dapat dikategorikan benda cagar budaya. Jelas rumah-rumah tua itu bs termasuk benda cagar budaya. Ah come on goverment. Too many our culture is lost.
LikeLike
Sederet rumah tua di sebuah kampung, satu komplek penuh bangunan tua, bukankah seharusnya bisa jadi wisata kota tua yang menarik seperti Eropa? Betul nggak? Ya begitulah mind set cekak Indonesia yang masih perlu diubah sejak dini biar nggak gampang banget punya pikiran meratakan bangunan tua hehe
LikeLike
saya termasuk orang yang tdk bisa menikmati bangunan tua, rasanya aneh gitu, bangunan modern kan lebih bagus hihi…
LikeLike
Ehmm dikasi “racun” apa ya biar tertarik bangunan tua? hehehe… Setiap orang punya pandangan terhadap kesukaan masing-masing, ada yang nggak suka pantai tapi suka gunung begitu juga sebaliknya, ada yang nggak suka bangunan tua tapi suka dengan bangunan modern seperti Ari. :-D
LikeLike
Bener, mereka (para pemilik bangunan) butuh dukungan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bisa bantu mempromosikannya sebagai objek wisata, misalnya dibikin ‘Heritage Trail’ gitu. Pun masyarakatnya.
Sayangnya masih sedikit masyarakat kita yang suka berwisata ke bangunan-bangunan tua. Aku suka sih, tapi biasanya buat lihat2 dan foto2 doang. Gak sampa diulik sejarahnya hehe. Nanti akan mulai mengulik, mas :D *salim*
LikeLike
Ayo ublek-ublek Yogya dan bangunan tua di sana, ntar kusamperin deh hehehe.
Kurasa Yogya masih ada beberapa komplek kampung yang punya bangunan-bangunan tua masih terawat seperti di Kota Baru. Kalo Solo sih udah blontheng alias ada yang masih utuh ada juga yang sudah berubah wujud dalam satu deret, jadi yen disawang kok marai bete hahaha…
LikeLike
Aku udah merantau lagi di Bandung nih, hehehe. Di sini banyak banget bangunan tua bergaya art-deco. Rata-rata difungsikan sebagai bangunan komersial, jadi tetep terawat.
Kalau Jogja, bener di Kota Baru banyak banget bangunan tua. Pas liburan kemarin aku sempet muter2 sana. Kebanyakan digunakan untuk sekolah, dan ada papan yang menginformasikan bahwa itu adalah bangunan cagar budaya sehingga nggak boleh diubah-ubah :)
LikeLike
bener banget, biaya merawat bangunan tua kan gede banget mas
LikeLike
Rata-rata yang komentar di sini pesimis semua ya. Jadi salah leluhur yang bikin hunian mewah atau penerus yang nggak bisa atur ekonomi nih hehe… Ntar di postingan selanjutnya kukasih contoh bbrp bangunan yang bisa bertahan di tengah kritisnya ekonomi si ahli waris :-)
LikeLike
*njur meneng *merenung
nggak pesimis juga mas, tapi emang begitu faktanya, meski masih banyak juga gedung tua yang masih semok, cakep :) *eh
LikeLike
Eh ini nggak ngomongin janda kembang di kota sebelah kan? Hahaha
LikeLike
wakakakakaaa
LikeLike
Niatmu mulia sekali. Tapi memang sih, niat baik tak selalu mendapat respon positif. Aku cuma berharap saja agar orang makin melek tentang cagar budaya, entah itu sudah ditetapkan oleh pemerintah ataupun belum. Nyesek sih kalau tau ada bangunan kuno yang digusur trus diganti sama ruko. :'(
LikeLike
Wisatawan Indonesia berbondong-bondong tur ke Eropa, cuma lihat bangunan tua… tapi… kalo di negaranya sendiri malah ogah lihat bangunan tua. Njuk piye iki :-D
LikeLike
Bahannya soal bangunan tua solo sudah banyak, tinggal dibikin buku :D
LikeLike
Hahaha mbak Yus bisa aja loh, masih butuh bahan lebih rinci dan bantuan dari cah Blusukan Solo :-D
LikeLike
bangunan tua itu memang keren buat objek foto..
salut sama usahanya buat survey bangunan tua di Solo..
saya aja belum tentu berani minta izin, yang ada curi2 foto..
hahahaha..
LikeLike
Beberapa malah senang rumahnya diintip dan dikorek sejarahnya, ya hanya beberapa saja sih hehehe… Kalau bukan kita yang peduli siapa lagi? Maka dari itu saya nekad aja survey ke mereka biar dapat suka dan duka jadi penghuni bangunan tua. Ayo share bangunan tua di kota mbak Endah :-D
LikeLike
Itu nDalem Doyoatmojo dijual gak Lim? Harganya berapa ya? *kulakan uang dari daun*
LikeLike
Kutanyain ahli warisnya dulu yes… kalo dijual, kudu dibeli loh, biar bisa jadi tempat ngumpul member kelompencapir hahaha
LikeLike
Di Kudus sendiri ada bangunan tua (Rumah Kembar) peninggalan Niti Semito (Juragan Kretek pertama di Kudus). Dulunya lantainya terbuat dari koin emas yang sekarang sudah tiada dan kini di depan pagar rumah itu bertuliskan Rumah Dijual.
memang sungguh disayangkan jika bangunan tua yang bersejarah tak diperhatikan oleh pemerintah.
LikeLike
Rumah-rumah tersebut masih bisa dimasuki oleh umum atau harus minta izin oleh pihak tertentu? Atau harus menyamar sebagai calon pembeli rumah ya? *mata berbinar* hehehe
LikeLike
Haha… nah itu yang belum saya tahu mas… paling ya minta ijin sama yang punya rumah, atau bisa tuh pur- pura jadi pembeli bertopeng….
LikeLike
sygnya ndalem doyoatmojo ga dibuka buat umum.. di jogja ada bangunan misterius yg trkenal jg namanya gereja gothic, seru nih kalo bisa ke sana
LikeLike
Kadang bangunan2 tua itu terpaksa dibongkar dan diganti pemerintah untuk pelebaran jalan, contoh rumah nenekku di Lampung, rumah tua yg terbuat dr papan kayu, gede klo hajatan sekampung mungkin muat :D
terpaksa dibongkar diganti rumah modern :(
Sedih tp mau gimana lagi? masa kita ngotot mempertahankan dan gak mendukung pembangunan negara. :)
serba salah memang..hehe
LikeLike
Senasib dengan rumahku, mbak Mel. Rumahku dulu bangunan tua, gegara kena pelebaran jalan akhirnya dibongkar dan jadi bangunan modern. Tapi setelah pergantian walikota ke sekian-you-know-who, kampungku baru dipikirkan untuk jadi kawasan chinatown mirip negara tetangga. Dalam artian sebisa mungkin bangunan tua dipertahankan, didaftar cagar budaya, urusan pelebaran jalan dkk dinomor sekiankan. Sayangnya you-know-who keburu naik pangkat, sekarang kembali jadi mimpi lagi deh :-)
LikeLike
sayang bgt ya.
LikeLike
begitulah nasib si “tua”, semakin terpinggirkan
LikeLike
Hayoo di kotamu ada bangunan tua yang masih tersisa apa aja? Ajakin puter-puter ke sana donk hehehe
LikeLike
kemarin baru saja ke klenteng di tengah kota sih..tapi sudah dipugar kayaknya
LikeLike
Hendi domisili Banjarnegara ya? Ntar minta bantuannya kalo sempat mlipir ke sana yah :-)
LikeLike
sebenere ga bisa janji juga, soale jarang2 bepergian hehehehe
LikeLike