Hidup di daerah pedesaan yang dikelilingi sawah, kicauan burung, derap langkah unggas yang melintas di depan rumah masih menjadi hal yang kurang menarik bagi warga yang tinggal di tempat yang lebih ramai ( baca : kota ). Terbiasa hidup di tengah kota yang bising dipenuhi polusi suara serta udara penuh asap kendaraan yang menyesakkan napas justru membuat saya mendambakan hidup tenang di desa. Impian terpendam ini saya legakan sedikit saat mengunjungi Desa Tembi yang terletak di Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Dengan menggunakan kendaraan pribadi, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit saja dari pusat kota Yogyakarta menuju arah Parangtritis. Setelah melewati ISI Yogya, laju kendaraan saya pelankan hingga menemukan sebuah gapura kecil di kanan jalan dengan papan bertuliskan Desa Wisata Tembi.
Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke desa wisata Tembi dan saat memesan kamar lewat situs booking online saya tidak menyadari bahwa ada lebih dari satu penginapan berbasis homestay maupun guesthouse yang berembel-embel “Tembi”. Semua menawarkan kamar berbentuk cottage dengan pemandangan hamparan sawah, sehingga dari situs terlihat foto-foto kamar yang mirip satu sama lain.
Salah membaca nama penginapan membuat saya sempat nyasar ke Tembi Rumah Budaya di jalan raya Parangtritis KM 8,4 dan kabar gembiranya saya menerima penolakan karena nama tidak terdaftar di meja resepsionis! Setelah membaca dengan seksama, ternyata di lembar invoice tertera nama Omah Tembi, bukan Tembi Rumah Budaya! Baiklah… *melipir kalem*
Omah Tembi ( http://www.omahtembi.com/ ) terletak di kompleks desa wisata dengan gapura kecil yang saya lewati di awal perjalanan, bukan di jalan raya. Sedikit mblusuk kampung membuat Omah Tembi memiliki suasana yang lebih tenang dan sepi, jauh dari suara bising kendaraan. Halaman luas dengan rumput dan pohon hijau ditambah cottage berbentuk rumah adat Jawa Limasan dengan gebyok berkayu jati membuat suasana hati ini semakin syahdu #halah.
Homestay ini terletak mepet sawah, sehingga tidak perlu berjalan jauh untuk melihat lebih dekat para petani yang sedang menyiangi sawah. Pokoknya kudu honeymoon dan bikin anak di sini! #ehh. Welcome drink berupa satu teko berisi seduhan jahe, cengkeh, kayu manis, dan kayu secang yang sudah disiapkan menambah kenikmatan suasana di tengah pedesaan. Sayangnya harga makanan di Omah Tembi terbilang agak mahal untuk ukuran kantong saya, sehingga saya dan kawan memutuskan mencari makan di luar homestay.
Beda dengan Tembi Rumah Budaya ( http://tembi.net/bale-inap ) yang terletak di pinggir jalan besar, ditambah popularitasnya di dunia maya membuat tempat ini memiliki harga kamar yang lebih mahal. Anehnya harga makanan yang bisa dibeli oleh tamu umum justru malah lebih murah dari Omah Tembi. Biasanya harga penginapan di Tembi sudah termasuk makan tiga kali sehari kecuali memesan “room only” lewat situs booking online untuk homestay tertentu. Museum dan kegiatan seni yang rutin digelar tiap minggunya menjadi keunggulan dari Tembi Rumah Budaya sehingga tak heran selalu fully booked saat akhir pekan dan musim liburan sekolah.
Masih ada banyak penginapan di Tembi, seperti D’Omah yang memiliki harga “bule” dengan fasilitas kolam renang berukuran besar, halaman berumput hijau dikelilingi pohon rindang yang cocok untuk yoga. Turis di Tembi juga bisa tinggal di beberapa cottage khusus yang tersedia di rumah-rumah warga, tentu dengan fasilitas ala desa dan harga lebih murah. Oh iya para wisatawan juga bisa mencoba penawaran workshop yang tersebar di rumah penduduk maupun di galery yang dimiliki masing-masing penginapan.
Wisata yang masih dicap “minat khusus” ini termasuk salah satu cara tercepat mengangkat ekonomi penduduk setempat terutama potensi desa. Yogya patut bangga dengan ini. Saya sendiri merasa iri dengan Yogya yang mampu menciptakan konsep desa wisata semacam ini. Desa wisata terdekat dari kota saya hanya ada desa wisata Bekonang yang belum memfasilitasi akomodasi bagi wisatawan yang ingin singgah lebih dari setengah hari.
Dewasa ini banyak wisatawan lokal yang kurang tertarik dengan “minat khusus” tersebut. Ada tipe tamu yang terlihat kepepet menginap di Tembi gegara kondisi weekend dimana semua hotel di Yogya penuh, selanjutnya mereka cek out subuh untuk kembali ke kota Yogya dan melupakan potensi desa wisata Tembi. Saat saya mengintari kampung, juga hanya terlihat rombongan bule saja yang menaruh minat terhadap workshop membuat batik, membeli kerajinan dari tanah liat buatan warga, mereka juga tidak takut berbecek ria berjalan di pematang sawah. Sementara itu, wisatawan dalam negeri hanya terlihat leyeh-leyeh di dalam kamar ber-AC, ngadem di restoran, takut high heel mereka terperosok di kubangan lumpur. Hmmm.
Andai “minat khusus” ini bisa berimbang dengan wisata alam dan wisata belanja di Indonesia, akan semakin banyak anak muda di desa yang enggan bermimpi hijrah ke Jakarta apalagi kerja di luar negeri jadi TKI. Rasa-rasanya sudah bukan zamannya punya pandangan hidup di kota besar lebih menjamin kebahagian dan berpenghasilan lebih besar. Penghasilan besar namun pengeluaran juga besar, sama aja bohong to?
Sekecil apapun tempat tinggalmu pasti ada potensi besar di tiap sudutnya…😉
——–
Note : Tulisan ini ikut meramaikan World Tourism Day 2014 #WTD2014
aku sih paling suka nginep di tempat kaya gini daripada hotel modern di pusat kota. Rasanya adem n tenang banget. Wih, lain kali kalo ke Jogja mesti ke desa Tembi nih😀
LikeLike
Recommended nginep di sini pas melipir Yogya, Deb… Lupakan penginapan mahal di Malioboro dan sekitarnya yang udah penuh sesak itu
LikeLike
abdai di sekitar solo ada yaa, sebetulnya banyak sih, cuman belum digarap maksimal *tengok bekonang*
LikeLike
Hooh kih jadi kepingin ngegarap Bekonang… Eh tapi ada info turis bule udah sedikit diarahkan keliling kampung di Bekonang pakai sepeda onthel oleh salah satu agen di Solo… Ehmm sebelum mereka lanjut ke TW sih, alias masih jadi tempat transit aja hiks
LikeLike
Baru denger ini mas halim. Yang di bekonang belum kegarap bagus mungkin kebanyakan wisatawan kesana hanya sekedar transit dari Solo ke Lawu lewat jalur selatan.
LikeLike
Konsep desa wisata Tembi udah dirintis sejak tahun 2007 hehe…
Kalo bagi saya pribadi, sebenernya Bekonang lebih punya variasi yang mampu mengundang minat wisatawan. Betul kata sampeyan, belum tergarap bagus dan cuma jadi tempat transit sebelum naik TW.
LikeLike
Jadi ini ceritanya dirimu kecele ya Bro?😀. Tapi baru tahu juga sih klo di sekitar Tembi juga banyak penginapan yang namanya mirip-mirip Tembi Rumah Budaya.
Bener seperti yang dirimu bilang. Nggak semua wisatawan lokal senang dengan wisata minat khusus seperti ini. Tapi harapanku ya jangan juga wisatawan lokal “dipaksa” untuk menikmati wisata seperti ini. Ntar jadinya malah banyak wisatawan 4l4y yg merusak esensi dari wisata khusus macam ini, hehehe.
Wisata pedesaan jenis ini cocoknya sih untuk mereka yang jarang bersentuhan dengan budaya lokal. Umpamanya mereka yang nggak pernah beranjak dari kota metropolitan dan ingin menyingkir sejenak dari hiruk-pikuk kota besar. Menurut saya bagus ada penginapan semacam ini. Suatu saat jika kita ingin kembali menelusuri asal-muasal kebudayaan kita, mungkin akan berlabuh ke tempat-tempat seperti ini.
LikeLike
Huehehe ntar kalo nemu investor yang mau bikin homestay beginian akan kunasehati, bikin rules yang ngelarang 4l4y selfie kelamaan + injek rumput dan berkeliaran di pekarangan😀
Lihat dari plat mobil yang parkir di sekitaran Tembi memang rata-rata berplat B – D – L, secara mereka mencari tempat relax yang berbeda dengan kota asal mereka kali ya. Wisata minat khusus macam ini memang kudu sabar menunggu waktu dulu😉
LikeLike
Keindahan dari sebuah kesederhanaan
LikeLike
Right!😀
LikeLike
Saya cuma pernah mampir ke D’Omah buat makan dessert, dan itupun dibayarin kantor. Tapi masih inget banget suasana adem ayem tentrem khas pedesaannya, jadi ngebayangin pengen punya rumah di pedesaan kayak gitu. Udara masih seger, suasana gak hiruk pikuk, semuanya terasa damai. Nanti kalo ke Jogja lagi nginep di Tembi ah…
LikeLike
Kalo suka ketenangan, Tembi jadi pilihan yang pas buat relax di tengah pedesaan.
Bama, dirimu suka intip desa berbasis wisata kan? Nahh kalo mlipir ke Solo, ntar kuajak ke Bekonang biar terpesona alamnya juga😀
LikeLike
Siap!!! Pasti kalo ke Solo tak kabari.
LikeLike
Wah itu teko nya jadul banget ya hihihi….
LikeLike
Teko “blirik” kalau orang sini bilang hehe.
Bang, di Jambi atau Pekanbaru ada desa atau perkebunan yang terbuka untuk umum nggak ya? *nyicil informasi*😀
LikeLike
Klo di kota jambi : Sekoja, diluar jambi ada Desa Rantau Panjang. Di Pekanbaru ada desa Buluh Cina tapiiiii saya sendiri belum pernah kesana ( Cuma lewat aja :p) jadi blum bisa kasih rekomendasi hehe
LikeLike
Sudah ada yang pernah ditulis di blog belum? hehehe
*browsing satu-satu*
LikeLike
Blum ada nulis apa2 hehe…
LikeLike
Tinggal di desa selama beberapa hari itu emang nikmat, mas. Bulan Agustus lalu main ke rumah eyang di Gunung Kidul yg masih asri
Kenapa bule menyukai minat khusus seperti ini dan turis lokal enggak, menurutku karena turis mancanegara ini menganggap hal tersebut (becek di sawah dan kegiatan desa lainnya) sebagai sebuah pengalaman yg unik. Sementara buat turis lokal, mereka menganggap itu sebagai hal murahan, nggak bisa dibangga-banggain sama temen-temennya.
Miris sih. Benar negeri kita butuh sebuah revolusi mental *bukan kampanye politik berbayar*
LikeLike
Mental kalo direvolusi dadakan bisa “mental” ( terlempar ). Kudu slow motion kalau sudah terlanjur basah atau dengan cara didisiplinkan sejak dari kecil tentang pengenalan cinta alam, cinta kampung, cinta dalam negeri dan cinta-cinta yang lain termasuk sama patjar #eaaa
LikeLike
Ya itulah pokoknya. Mental bangsa kita perlu diubah hehe.
LikeLike
Terbiasa hidup di tengah kota yang bising dipenuhi polusi suara serta udara penuh asap kendaraan yang membuat napas sesak justru membuat saya mendambakan hidup tenang di desa. <- padahal masih di Solo ya Lim, belum di Jakarta atau di kota yang lebih pikuk. Baca ini aku jadi pengen honeymoon-an lagi deh..😀
LikeLike
Maka dari itulah nggak pernah betah di Jakarta. Ada tawaran kerja di sana pun milih say NO ketimbang stress dan sakit-sakitan di kota metropolitan…
Ri… tempat ini syahdu banget loh, Nenny pasti kerasan, ehm tapi si dedek bayi gimana ya? Jangan sampai dedek bayi jadi kameraman gratisan buat honeymoon kalian loh hahahaha😀
LikeLike
eehh, mestinya postingan ini masuk di posbar WTD2014 kemarin nih, Tourism & Community Development. kan cocok.. aku taut di blog aku ya.
anyway. aku sukaaa dengan suasana ini. aku pernah nemu desa wisata juga di daerah gunung kidul, cuma belum tertata lagi aja. suasananya enak banget, adem. mbuh, mungkin aku udah bosen jadi orang kota dan pengen di desa, kok kayaknya enak. tapi ya nggak tahu, apa sanggup menghadapi kehidupan sosialnya? soalnya katanya di desa itu kan harus pandai bersosialisasi sekali. begitu..
LikeLike
Nahh itu dia masalah kehidupan sosialnya… Orang kota terbiasa “lu loe gue guwe” yang nggak pernah kenal deket sama tetangga, ngegossip cuma lewat bbm, wasapp, line dkk. Interaksi manusia normal yang perlahan hilang itu masih bertahan di pedesaan, itulah yang seharusnya dikembalikan lagi😉
Wahh daku telat tahu ttg info WTD nya… tapiii mau banget donk ditautkan di blog mbak Indri😀
LikeLike
ayo ditaut balik dong, kakaak..😀
LikeLike
[…] #WTD2014 Felicia Lasmana >> Tourism & Community Development: Travelling for People or Places? Tekno Bolang Discover Indonesia Halim San Mengkhayal Masa Depan di Desa Wisata Tembi […]
LikeLike
[…] Halim San – Mengkhayal Masa Depan di Desa Wisata Tembi […]
LikeLike
Sudah pengen banget ke sini sejak ngobrolin soal Desa Tembi ini sama sepupu. Dan pas ngelihat foto2 di atas, WOW banget!
Btw, teko-nya keren ya Lim? Di sini sudah jarang yg pake
LikeLike
Desa Tembi ini sebenarnya bisa jadi contoh desa wisata yang terbilang sukses. Sayangnya banyak kabar tersiar para pejabat malah study banding nggak penting ke luar negeri demi melihat contoh desa wisata sukses. *hening*
Teko bliriknya masih banyak dijumpai di Solo dsk loh, mau kulakan berapa biji? hehehe
LikeLike
sukaa! kalo pergi2 emang lebih suka nginep di tempat etnik gini daripada hotel minimalis, cuma kendala di saya penakut kelas kakap.. dan kesan etnik kadang remang-remang kalo malam T_T
LikeLike
Malam waktunya tidur dan family time bukan untuk keluyuran, maka dari itulah guesthouse di pedesaan diciptakan remang-remang hehehe…
LikeLike
sebagai org yg nafkahnya dari hasil kerja di ibukota, jd iri ama org2 yg bisa kerja apalagi tinggal di tempat adem bgini …
desa Tembi aku pernah dgr sih… secara kampungku jg di Solo mas😀 tp tiap kali ke Jogja ya cuma mampir kulinean doang, dan balik lagi ke Solo ;p..
Tapi next pulkam, aku pgn kesana ah…… yg bgini ini yg slalu aku cari pas liburan.. kalo mw cari yg rame2, ato shopping mah, di Jkt banyak… Solo malah lebih murah kalo mw shopping ;p
LikeLike
Wahhh jabat tangan sesama wong Solo😀
Desa wisata Tembi ini masih sepi ( kecuali weekend ) dan belum digandrungi wisatawan dari ibukota, bener-bener contoh yang tepat buat bikin desa wisata serupa di sekitar Solo *cari investor*
LikeLike
Wah cakep ya.
LikeLike
Yogya lanjut Solo, ntar kukasih tunjuk Desa Bekonang yang masih stengah perawan. Hyuk ke Solo hehehe
LikeLike
sedep bener homestaynya … kapan aku diajak kemari
LikeLike
Liburan ke Yogya bisa mampir di mari… trus pertanyaannya kapan kak Danan nyebrang ke Jawa? hehehe
LikeLike
Nunggu lamaran dan tiket gratis dari nganu kak
LikeLike
Jadi inget kicauan di twitter gak sik lim, opo meneh yen welcome snack-e ledre, gandos, leker, godril, timus, gembrot, cenil, cethot, grontol, lemjongan, sawut …
*loh kok malah keinginan pribadi*
LikeLike
Ahh kicauan bikin guesthouse ya?
Tamune iso betahhh ra gelem mulih yen welcome snack e sekomplit itu… *gelar lapak lenjongan di Pekanbaru*😀
LikeLike
Saya juga pernah ke desa Tembi waktu BN 2013 tahun kemarin mas.😀
enak banget suasana desanya terasa, orang-orangnya juga ramah dan saling senyum salam dan sapa.
Amazing memorize.
LikeLike
Dulu waktu BN 2013 saya juga telah ke desa Tembi mas.
Orang-orangnya, suasana desanya memang keren mas. Jarang kita temukan di luar desa Tembi.
Memang cocok bila dijadikan desa wisata itu mah.
LikeLike
Waahh asyiknya bisa tinggal lama dan punya kenangan indah di sana. Desa Wisata Tembi salah satu contoh sukses sebuah desa wisata di Indonesia yang semoga bisa diikuti calon desa wisata di daerah lain ya😀
LikeLike
Alam di desa Tembi memang indah..bisa dijadikan pilihan untuk wisatawan yang refreshing dan menikmati suasana pedesaan di Jogja…
Jangan lupa menyaksikan Sendratari Ramayana Ballet di Mandira Baruga (Purawisata)…visit us : http://www.amazingramayanaballet.com
LikeLike