Tiap melakukan perjalanan pasti akan menaruh kesan terhadap daerah yang dikunjungi, entah itu baik, buruk atau bahkan buruk sekali sampai rasanya tidak mau menginjakkan kaki di sana lagi. Semua relatif, tergantung bagaimana cara memandang sebuah perjalanan. Tentu saja penilaian singkat terhadap tempat tersebut berbeda dengan penilaian dari orang yang singgah lama apalagi yang menetap di daerah tersebut.
Hasil melipir Lampung beberapa waktu lalu memberikan beragam rasa, dilema wisata Cagar Alam Gunung Anak Krakatau, nyesel belum seruput kopi Lampung tapi tetap saja ada perasaan senang karena bisa menginjakkan Pulau Sumatera untuk pertama kalinya… Kesan pertama saat menginjakkan kaki di Provinsi Lampung via perjalanan darat dari Pulau Jawa adalah Siger! Sebelum kapal ferry merapat ke Pelabuhan Bakauheni, mau tidak mau mata langsung mengarah ke Menara Siger yang terletak di atas bukit belakang pelabuhan. Kesan buruk terhadap fasilitas ferry Merak-Bakauheni sedikit terlupakan melihat kemegahan Menara Siger yang menjadi kebanggaan warga Lampung dari kejauhan.
Tiga jam ke depan saya dibuai oleh pemandangan jalan negara yang dipadati truk bermuatan besar dan bus antar pulau dari balik jendela kendaraan umum yang saya naiki. Sekelibat nampak pabrik PT Bukit Asam dengan jalur kereta yang mengangkut batu bara dari Lampung Selatan sampai Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Sesampainya di kota Bandar Lampung mulai terlihat keramaian khas ibukota provinsi seperti pada umumnya. Uniknya jajaran perkantoran, gedung pemerintahan, pertokoan yang ada di kota ini selalu menempel simbol Siger di atas bangunannya. Apa itu Siger?
Siger merupakan mahkota berbentuk segitiga berwarna emas dengan cabang berjumlah tujuh atau sembilan. Jika dulu Siger yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau logam lain digunakan sebagai aksesoris keseharian wanita Lampung, sekarang Siger hanya digunakan sebagai mahkota pengantin wanita Lampung saat upacara pernikahan dan upacara adat sejenis saja. Penampakan Siger saya jumpai saat menyaksikan Festival Lampung 2014 beberapa waktu lalu, dimana terlihat penari wanita dari perwakilan tiap kabupaten di provinsi Lampung dengan bangga memamerkan mahkota emas mereka. Mahkota ini juga menjadi bagian dari koleksi Museum Lampung yang beralamatkan di Jalan Z.A Pagar Alam no 64. Terlihat sepasang manekin berpakaian adat Lampung duduk manis di Puade, tempat duduk mempelai yang berlatar belakang kain merah bercorak warna emas. Dan tentu saja koleksi mahkota-mahkota Siger lain yang bersanding rapi dengan lembaran kain Tapis ( kain tenun tradisional Lampung ).
Saat saya menyempatkan diri keliling kota seorang diri dengan menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki, baru menyadari bahwa simbol Siger yang dipasang tergantung dari kemampuan ekonomi pemilik tempat usaha. Ada yang memasang simbol terbuat dari bahan logam berkualitas, seng yang mudah berkarat sampai lukisan cat saja. Keharusan yang membuat saya bertanya dalam hati, sebenarnya ada konspirasi apa antara penggiat kerajinan simbol Siger dengan pemerintah kota ya? #ups
Penampakan simbol Siger di tengah kota menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak kagum saat mendapati logo Colonel Sanders-nya KFC dihiasi Siger di atas kepalanya. Seandainya telah dibuka gerai Mc D, Starbuck dan gerai franchise asing lain yang dihiasi simbol serupa mungkin kota Bandar Lampung akan dipandang sebagai kota nyentrik dan unik di mata wisatawan yang tentu saja semakin menarik banyak orang untuk selfie di ikon-ikon tersebut hehe.
Berbicara tentang transportasi umum di Bandar Lampung, kota ini sudah mempunyai kendaraan umum yang lumayan mumpuni. Dalam arti bisa keliling kota menggunakan angkutan kota atau kalau kepepet menggunakan ojek yang bisa ditemui di pojokan jalan raya. Umumnya angkutan kota mematok harga 3.000 rupiah sekali jalan untuk jarak dekat, 5.000 rupiah untuk jarak lumayan jauh atau jalur luar lintasannya. Namun tak jarang saya terpaksa membayar 5 000 sekali jalan padahal jarak dekat. Apalagi kalau bukan karena logat medhok saya yang semakin mengukuhkan bahwa saya adalah turis!
Beda lagi dengan sistem BRT ( Bus Rapid Transit ) Trans Bandar Lampung yang punya model mirip BatikTrans di Solo, maupun TransJakarta di Jakarta. Bus umum berpendingin ini tidak selalu berhenti di halte khusus yang telah tersedia, sering dijumpai supir dan kondektur tidak berseragam resmi, dan parahnya harga tiket tidak pasti! Lagi-lagi logat medhok saya yang menjadi alasan kuat dikenakan harga lebih mahal dari penumpang lokal. Ya sudahlah anggap saja amal dengan pak kondektur…
Jika Tanjungkarang didominasi dengan gedung perkantoran, Teluk Betung yang berada di sisi selatannya terlihat dipadati oleh bangunan khas pecinaan. Sebenarnya kedua wilayah tersebut masih dalam kesatuan kota Bandar Lampung, hanya saja penduduk masih sering menyebutkan “batas” tersebut meski sudah sejak lama disatukan menjadi ibukota Provinsi Lampung. Masih bisa menemukan rukan dan ruko berarsitektur jadul dengan penulisan yang masih jadul pula di sekitar Vihara Thay Hin Bio.
Di kawasan ini pula terlihat banyak wisatawan dari luar kota memuaskan hasrat belanja oleh-oleh khas Lampung. Sebenarnya ada beberapa toko yang menyediakan penganan khas Lampung dan souvenir seperti kaos dan sejenisnya, tapi tetap Toko Yen Yen yang menjadi primadona di Jalan Ikan Kakap ini. Mulai dari manisan Lampung, keripik pisang, kerupuk ikan, kopi asli Lampung sampai dengan dodol dan lempok durian. Semula tidak paham dengan beda lempok dan dodol, sampai mbak spg menjelaskan bahwa dodol lebih kenyal dan manis, sedangkan lempok lebih terasa durian aslinya karena hanya menggunakan sedikit gula aren. Slurppp.
Memang saya tidak meluangkan banyak waktu untuk menjelajahi kota Bandar Lampung. Belum menemukan kedai kopi yang menjual seduhan kopi asli Lampung, belum menelusuri kota tua yang didominasi bangunan kolonial, belum juga berkesempatan mencicipi makanan tradisional Lampung seperti tempoyak. Hanya bisa berandai akan kembali mengeksplore Kota Sejuta Siger dan keindahan Teluk Lampung di lain waktu.😉
Pemda lampung nggak terlalu peduli dg bangunan tua, banyak yg dihancurkan. Jaman aku kecil teluk betung tuh pecinaan bgt,mskrg yg tersisa cuma satu ruko. Kalo nggak salah skrg jadi tempat tukang jahit….
LikeLike
Yahh sayang banget… padahal dari segi sejarah Bandar Lampung pasti ada peran sangat penting buat jalur perdagangan semasa Hindia Belanda *buka RPUL*
Kak… ajak daku berburu tempoyak, desa pembuat kain Tapis ya kalo ketemuan lagi😀
LikeLike
Oleh-olehnya buat saya mana bang @Halim hehehehe
LikeLike
Oleh-olehnya ada tiga cerita tentang Lampung di artikel sebelumnya hehehe
LikeLike
aturan pasang siger ini kalo nggak salah baru ada sejak tahun 2011 atau 2012. waktu lagi pulang liburan ke lampung, kaget ngeliat banyak toko yang pasang siger.
tapi kalo saya sih seneng-seneng aja dengan aturan ini, soalnya jadi ada ciri khas lampung😛
LikeLike
Ahh berarti belum lama ya? Unik dan jadi ciri khas Lampung yang bikin wisatawan terkesima, salah satunya adalah saya😀
LikeLike
Ah, siger… untung hanya sebatas logo penghias belaka. Coba tiap perempuan Lampung didorong untuk kerap mengenakan siger, pasti banyak yang nolak, hahaha. Selain mahal, berat di kepala. kalau dipikir-pikir, busana adat yang dikenakan pria jauh lebih “manusiawi”, hehehe.
Hmmm, di mana-mana turis memang jadi sasaran empuk untuk mendulang laba ya? Makanya, mungkin besok-besok kita mesti pakai taktik berkoalisi dengan warga lokal. Agar punya bekingan jadi susah untuk dimanfaatkan sebagai sasaran empuk. Ahay!😀
LikeLike
Pernah baca artikel yang mengatakan bahwa di beberapa kota di Jepang memberlakukan diskon besar bagi pengunjung wanita yang memakai kimono. Hal ini dimaksudkan agar penduduk lokal nggak lupa akan budayanya sendiri. Kalau penawaran ini dilakukan juga oleh Lampung mungkin banyak Muli yang tertarik memakainya demi diskon gede hahaha. Mendadak jadi ngebayangin di Jawa, sanggulan, pakai kemben dan jarik😀😀
LikeLike
Wah sama ya oom, Lampung merupakan propinsi pertama di pulau Sumatera yang disinggahi …😉
LikeLike
Secara kota yang paling dekat dengan Pulau Jawa ya, om Tim… Toss duyuuu😀
LikeLike
Aku pengen nyoba kliling kota naik Trans Bandar Lampung 😆
eh, masa sih logatmu medok Lim?
LikeLike
Banyak yang bilang begitu… menurut mbak Dian?😀
LikeLike
Ah, aku belum menginjakkan kaki di bumi Sumatera juga nih. Buatku Bandar Lampung ini adalah salah satu kota di Indonesia yang asik untuk dieksplor
Untung aku udah nggak medok, haha. Kelamaan di Bandung dan pergaulannya sama anak2 Jabodetabek😄
LikeLike
Ishh terus sekarang nada ngomongnya jadi “elu” “guwe” ya? hahaha… Nggak apa medok, artinya daku cinta dengan aksen JawaTengah-an #halah
LikeLike
Hahaha. Ya begitulah, mas. Soalnya pas kuliah Komunikasi dulu diajarin, seorang public speaker yg baik dianjurkan untuk tidak memiliki logat daerah tertentu *ngeles*😀
LikeLike
durennya bikin ngileeerrr
LikeLike
Beneran mengoda… malah dulu sampe punya niatan beli satu biji buat dimakan sendiri! untungnya inget kesehatan jd bawa pulang lempok durian-nya aja hehe
LikeLike
Dulu jaman saya kuliah di lampung (10thn yll), Siger ini sudah ada di mana mana kok walaupun gak sebanyak sekarang…
Lampung ini memang salah satu propinsi yang unik di sumatra, saya paling suka ukiran2nya yang kaku dan patah2, kain tapisnya dan sulam ususnya yang unik, dan satu lagi, logat asli lampung selalu bikin saya nyengir2…
LikeLike
Sulam usus dan teknik kain tapisnya unik, sayangnya kmrn cuma sempat baca keterangan dan hasil jadinya di Museum Lampung aja
Nggak perhatian tentang logat asli Lampung yg terdengar beda nih. Kalo ketemuan dipraktekin ya, bang… hehehe
LikeLike
sigerrrr moga masih tetep bertahan ditengah gempuran teknologi…moga semakin sering diadakan festival untuk menjaga budaya lampung termasuk ttg siger
LikeLike
Pas nonton festival saya malah sedikit syok dengan pejabat daerah yg justru memakai baju “batik” ( motif Lampung katanya ) secara itu acaranya “Festival Tapis”. Kocakk… hehehe. Andai Tapis ikut dipopulerkan melalui baju dinas pejabat, bahan dasar desain perancang asli Lampung munkin provinsi ini jadi semakin unik dan istimewa
LikeLike
yaaaa mas sepertinya para pejabat kurang perhatian dan bangga terhadap budaya dan pakaian daerahnya sendiri…
LikeLike
Ternyata Bandar Lampung seru juga yaaaa..😀
LikeLike
Huum Ri… hikmahnya jangan sepelekan kota sekecil apapun itu, banyak yang bisa digali *lirik Pati + Juwana*😀
LikeLike
Ditunggu lho kunjungannya ke Pati n Juwana *padahal entah kapan lagi mau mudik ke sana*
LikeLike
sama dong, Lampung juga provinsi di Sumatera yang pertama gue singgahi.. soalnya gue lahir di situ.. hahaha..
Eh pas di Lampung lo nggak sempat makan pempek, ya Lim? waaahh rugi bangettt..
LikeLike
Kedua kali ke Lampung juga nggak sempet Vir. Tapi berhasil icip Bakso Sony yang memang enak dan beda ama bakso di Jawa hehehe
LikeLike
Secetek pengetahuan saya belajar budaya & bahasa lampung di sekolah selama 9 tahun, siger cabangnya ada 9, yg melambangkan 9 keturunan lampung. Jaman ikut paskibra, dulu saya harus hafal nama dr kesembilan keturunan itu. Saiki wes lali.😀
Kalo soal tempoyak, aku malah gk doyan. Haha.. Duren, buatku, enaknya dimakan seger, bkn difermentasi, pdhl emakku suka bikin klo lg musim duren. Pernah aku bawa ke serang 3 toples, aku kasih2in aja sbg oleh2.
Yok kpn mau ke lampung lg, ajakin akuu
LikeLike
Wahh kalau emaknya mbak Noe bikin tempoyak, daku dikasih tahu biar bisa nyicip ya hehehe
LikeLike
Wah belum main ke tanjung bintang mas selain terkenal dgn batu akiknya batu bungur ada tempat wisata yg bagus dulunya terawat tapi sekarang terabaikan namanya “granid indah” kapan2 mampir mas
LikeLike
Menarik ihh, Tanjung Bintang catat dulu… semakin banyak wish list obyek di Lampung nih, apa perlu ngekost ya hehe
LikeLike
Wah … Lampung dengan pesonanya sendiri….jadi pengen ke lampung ….
LikeLike
Ibukota provinsi Lampung, Bandar Lampung sudah memperlihatkan pesona kotanya, belum lagi alam yang tersebar di pinggir kotanya. Dijamin betah lama-lama di sana😉
LikeLike