Kampung Permata Itu Bernama Jayengan

Udara panas sore itu, tidak menyurutkan rasa keingin tahuan peserta yang tergabung dalam kegiatan Blusukan Solo bertajuk “Aliran Permata Sang Raja”. Kali ini peserta diajak menelusuri beberapa kampung yang ada di wilayah kelurahan Jayengan. Sebuah kampung yang terletak tak jauh dari pusat bisnis di tengah kota Solo serta berdampingan dengan kampung Kemlayan yang dulu dikenal sebagai kampung para seniman.

Seluruh peserta yang sudah berkumpul di SMP Darussalam Jayengan, satu-persatu mulai memasuki halaman Masjid Darussalam yang terletak di sebelah kompleks sekolah. Seperti yang pernah saya ceritakan di artikel sebelumnya ( klik di sini ) bahwa Masjid Darussalam membagikan bubur samin gratis ke masyarakat seusai shalat ashar selama bulan Ramadhan.

Masjid Darussalam
Masjid Darussalam

Meski tradisi tahunan yang diadakan oleh Masjid Darussalam sudah berulang kali diliput oleh media nasional, tak disangka banyak peserta yang belum pernah menyaksikannya. Sehingga sebagian besar dari mereka terkesima melihat keramaian saat pembagian bubur berlangsung. Ada peserta yang asyik mengabadikan moment tersebut dengan kameranya, ada juga yang ikut berdesakan mengambil bubur untuk ditempatkan di wadah yang telah mereka siapkan sebelumnya.

Awal tahun 1900-an pendatang asal Martapura yang singgah di Surakarta mencoba menawarkan batu mulia seperti intan dan berlian kepada raja yang memerintah waktu itu ( Paku Buwono X ) dan kerabatnya. Lambat laun dagangan yang mereka bawa diminati banyak orang, banyak priyayi atau bangsawan dan saudagar lain tertarik untuk membeli perhiasan yang mereka tawarkan.

Kegiatan menjual barang mahal tentu tidak bisa sehari langsung deal, maka dari itu mereka harus mengontrak rumah untuk tempat tinggal dan mendirikan sebuah musholla sederhana untuk bersembahyang.

H Rosidi, takmir masjid
H Rosidi, takmir masjid

Setelah keramaian mereda, tiga puluh dua peserta Blusukan Solo disambut oleh Pak H. Rosidi selaku takmir masjid. Beliau bercerita singkat tentang asal mula perantau Banjar mendirikan Masjid Darussalam. Semula masjid hanya berupa musholla kecil yang didirikan menggunakan material kayu. Lambat laun banyak perantau asal Martapura yang menetap dan sukses, mereka membangun masjid menjadi lebih kokoh menyerupai benteng berarsitektur Belanda seperti yang terlihat sekarang.

Melihat antusias rakyat dan kerabat kerajaan terhadap kilauan intan dan berlian yang mereka bawa, Paku Buwono X memberikan lahan kosong di sebuah kampung bernama Jayengan untuk mereka tinggali. Lokasi yang berdekatan dengan benteng barat keraton dimaksudkan agar mereka bisa dengan mudah memenuhi panggilan raja jika beliau membutuhkan jasa mereka.

Kesuksesan membuat mereka menjadi saudagar Banjar yang disegani di Solo, bahkan mereka mampu memboyong banyak alat pengasah batu mulia agar di kemudian hari tidak perlu lagi menunggu lama proses pengasahan dari pulau seberang. Sanak-saudara yang lain mulai berdatangan dan menetap di wilayah Jayengan dan sekitarnya. Masih ada yang mempertahankan budaya asli tempat asal mereka, namun ada pula yang sudah berbaur dengan budaya lokal hingga memunculkan istilah Jarwo atau Banjar – Jawa.

Kini banyak rumah pengasah berlian sudah menutup usahanya, tercatat hanya dua sampai tiga yang masih bertahan. Sebuah toko jual beli dan lelang batu mulia milik saudagar Banjar yang terletak di sebelah vihara Po An Kiong – Coyudan juga sudah tutup sejak lama. Kemunduran usaha bukan berarti menghentikan mata pencaharian mereka, masih bisa ditemui beberapa ahli batu mulia yang membuka lapak di depan toko emas kawasan Secoyudan. Selebihnya mereka banyak menjual batu mulia lewat promosi mulut ke mulut.

Jangan heran tak banyak terlihat rumah berarsitektur Banjar di kampung Jayengan, karena beberapa sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Hanya terlihat sedikit rumah dengan atap lancip berhiaskan ragam ukiran khas Banjar serta rumah beratap model perisai buntung. Salah satunya adalah bekas kediaman saudagar Banjar bernama H. Abdoessoekoer yang berarsitektur campuran indish. Bu Fitri, pemilik rumah sekaligus keturunan dari H. Abdoessoekoer menyambut ramah kedatangan kami dan berbagi sedikit cerita tentang sejarah tempat tinggal keluarganya.

Perjalanan dilanjutkan menuju Kalilarangan, jalan kecil yang dipenuhi oleh kios bikin betul stempel, plakat kendaraan sampai jasa pemasangan reklame. Toko Aneka merupakan generasi pertama jasa pembuatan stempel di tahun ’80-an, baru di awal tahun 2000-an Kalilarangan dipenuhi kios-kios yang menawarkan jasa serupa.

Sama halnya dengan nama Jayengan yang berasal dari nama prajurit keraton Jayengastro, Kalilarangan juga punya asal usul penamaan. Persis di bawah jalan raya terdapat sebuah aliran kali ( bahasa Jawa dari sungai ) yang mengalir dari Kadipolo menuju dalam keraton. Dulu air sungai tersebut digunakan sebagai pasokan air bersih istana, sehingga raja melarang warganya untuk membuang segala macam sampah apalagi buang air di sepanjang sungai. Dari situlah nama Kalilarangan berasal.

Tenoen Soerakarta
Tenoen Soerakarta

Perlu diketahui bahwa Jayengan tak hanya didominasi oleh pedagang permata saja, puluhan tahun yang lalu pernah ada kompleks pabrik pembuatan kain tenun bernama Solosche Tenoen “Soerakarta” yang sayangnya sudah tinggal puing-puing saja. Nasib bekas pabrik gelas, pabrik sarung dan pabrik limun malah tidak ada bekasnya lagi.

Serabi Notosuman asli
Serabi Notosuman asli

Tercatat pernah ada sebuah rumah seorang keturunan Paku Buwono X yang kini namanya diabadikan sebagai nama kampung Notosuman di kelurahan Jayengan. Konon ndalem keluarga Notokusumo tersebut memiliki kompleks yang cukup luas, bahkan dikabarkan mempunyai istal kuda di halamannya. Namun sejak tahun 1950-an hunian sudah dijual oleh ahli waris dan sekarang sudah menjadi kompleks perumahan pendatang asal Banjar.

Nama Notosuman sendiri masih terdengar harum, apa lagi kalau bukan karena keberadaan Serabi Notosuman. Lapak serabi yang terletak di jalan batas kampung Notosuman dan Kratonan selalu ramai oleh turis yang ingin merasakan rasa asli dari serabi. Terpecah menjadi dua membuat penikmat serabi harus jeli agar tidak salah masuk dan tidak keliru membedakan mana yang asli dan mirip asli.

salah satu nDalem kuno
salah satu nDalem kuno

Berjalan kaki lumayan jauh di bulan puasa tidak mengurangi semangat peserta yang sedari awal perjalanan sudah menahan lapar dan haus. Langit berawan di tengah kegiatan memberikan kenyamanan tersendiri. Akhir perjalanan, peserta dibawa mengunjungi sebuah rumah model Jawa kuno yang konon menjadi rumah pertama di kampung Jayengan. Di depan ruang tamu dengan alat penerangan yang minim, pemilik rumah bercerita bahwa puluhan tahun yang lalu sebelum kawasan ini dipenuhi pemukiman penduduk, Jayengan tak lain adalah rawa-rawa.

Waktu yang semakin mendekati adzan maghrib membuat kami harus bergegas meninggalkan rumah tersebut dan menutup acara dengan menikmati takjil berbuka puasa di Masjid Darussalam. Dan kegiatan Blusukan Solo di bulan Ramadhan ini pun berakhir. :-)

Note : Setiap kampung punya cerita yang tergabung dalam sejarah sebuah kota. Kumpulan cerita kota mengukuhkan jati diri sebuah bangsa, menjadikannya sebuah negara yang punya identitas. Cheers and peace

25 comments

  1. Ko aku kok selalu ngiler model jalan-jalanmu yg mblusuk kampung gitu,,, dan bubur itu pernah aku lihat di tivi tivi tuh :) bikin kopdar blusukan ko nanti aku ikut hahaha

    Like

    • Asik tuh bikin kopdar blusukan. Ntar nongkrong gaul di pinggir jalan kampung sembari seruput kopi hahaha…

      Lid, yen aku mlipir ke Jombang kudu cariin kampung yg bersejarah ya #nahloh

      Like

      • eh gubraaaakkkk, tak jak jalan-jalan ke Candi, Gereja Tua, Kuburan hahahaha… sek sek mikir kampung bersejarah di jombang di mana yaaaa

        Like

    • Salam kenal, mas… Pernah tinggal di Jayengan kah? Semoga nggak ada kata yang salah tentang Jayengan, kalau ada mohon koreksinya hehehe :-D

      Like

      • Kebetulan masa kecil saya disana. Sekretaris yayasan darussalam paman saya. “Penunggu” masjidnya dl alm kaik (kakek) dan ninik (nenek) saya. Ya begitulah, saya salah satu hasil asimilasi suku banjar dan jawa disana. :)

        Like

      • Menarik sekali. Sungguh senang dengan sambutan hangat warga Banjar saat saya hunting foto proses pembuatan Bubur Samin di masjid bulan Ramadhan kemarin. Semua welcome dan menjawab pertanyaan yang diajukan, salut. :-)

        Like

  2. ya ampuuunn, asyik banget. iya, enaknya blusukan itu rame-rame ya, jadi penjelasan yang didapat juga semuanya, ada guide yang ngejelasin, hehe. aku kalo blusukan sendiri suka gak berani nanya-nanya, soalnya takutnya bukan bertanya pada orang yang tepat.

    Like

    • Pernah nanya ke sembarang orang, hasilnya malah dibentak tapi malah seneng karena jadi pengalaman di perjalanan hehehe
      Ayo kak ke Solo, ntar kuanter mblusuk deh :-D

      Like

      • sebenarnya emang tiap daerah itu punya kekhasan-nya sendiri, ya. masa aku juga baru tahun ini mblusuk di kota kelahiranku sendiri, cirebon..

        Like

    • Jadi Fahmi selaku mantan Putra Solo udah pernah icip bubur samin Masjid Darussalam belum? *sambit selempang* :-P

      Like

  3. kalau nyebut Kalilarangan jadi inget ada bakso enak dulu jaman tahun 90-an
    asyik tuh bro kalau ada acara jelajah kampung plus dikasih tau seluk-beluk sejarahnya :D

    Like

    • Bakso Kalilarangan masih eksis loh, bahkan buka “nomer 2” di Jln Yos Sudarso, nggak jauh dari gang nya. Kalau siang pasti rame pelanggan hehehe

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

Gravatar
WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out / Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out / Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out / Change )

Google+ photo

You are commenting using your Google+ account. Log Out / Change )

Connecting to %s