Solosche Radio Vereeniging ( SRV )

So listen to the radio… And all the songs we used to know

So listen to the radio… Remember where we used to go… ( Radio – The Coors )

Siapa yang tidak mengenal radio? Jika dulu radio didengarkan melalui alat berbentuk kotak besar dengan julukan radiotape atau boombox, sekarang bisa mendengarkan siaran melalui aplikasi dari handphone. Sebelum ada media sosial semacam Facebook, Twitter, Path dan lain sebagainya yang gencar propaganda caleg sampai capres saat pemilu, di masa lampau radio dianggap sebagai salah satu media paling mumpuni untuk menyampaikan berita secara cepat.

Tidak perlu lagi menunggu surat kabar yang mesti diketik secara baku, dicetak untuk kemudian disebar luaskan di beberapa lapak, penyampaian berita diterima dan dibaca banyak orang yang tentu saja membutuhkan waktu lebih lama.

Siaran radio di Hindia Belanda ( masa Indonesia belum merdeka ) mengudara pertama kali pada tahun 1925 oleh BRV atau Bataviase Radio Vereniging di Batavia ( kelak Jakarta ). Hanya dengan mendengarkan gelombang suara yang ditangkap oleh radio, pendengar bisa berimajinasi lebih dalam lewat intonasi suara yang dikumandangkan oleh penyiar.

Selang beberapa tahun disusul berdirinya stasiun radio swasta bernama NIROM atau Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij tahun 1934 di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung, Medan. NIROM merupakan stasiun radio yang disokong oleh Belanda, segala acara harus melalui proses penyaringan agar tidak ada siaran bernada penyulut semangat untuk merdeka.

radio
radio
patung KGPAA Mangkunegoro VII di Museum Penyiaran RRI
patung KGPAA Mangkunegoro VII di Museum Penyiaran RRI

Perlu diketahui bahwa setahun sebelum NIROM berdiri, telah dibangun sebuah pemancar radio swasta yang tidak disokong oleh Belanda pertama kali di kota Solo. Misi guna menyiarkan siaran kesenian Jawa diawali oleh pemimpin Praja Mangkunegaran saat itu, KGPAA Mangkunagara VII ( selanjutnya disingkat MN VII ) yang memerintah mulai tahun 1916 hingga 1944 memiliki ketertarikan terhadap kemajuan teknologi. Semula pemancar radio dibangun di area kepatihan untuk sekedar menyiarkan klenengan, wayang orang serta kethoprak yang dibawakan oleh perkumpulan kesenian Mangkunegaran.

Lambat laun pemancar dibangun lebih besar agar siaran bisa didengar sampai di luar Solo. Pada tanggal 1 April 1933 resmi berdiri radio pribumi pertama kali di Hindia Belanda yang diberi nama SRV atau Solosche Radio Vereniging. Klenengan, kethoprak, wayang orang masih menjadi acara rutin di SRV meski sesekali terdapat muatan politik yang menyulut tentang kemerdekaan.

Ruang Gusti Nurul di RRI
Ruang Gusti Nurul di RRI

Untuk memaksimalkan kinerja SRV, MN VII membangun sebuah bangunan permanen sebagai kantor resmi yang didirikan di atas tanah seluas 5.000 meter persegi di wilayah Kestalan. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Gusti Nurul pada tanggal 15 September 1935. Sosok Gusti Nurul tidak bisa lepas dari SRV, bahkan bisa dibilang Gusti Nurul ikut melambungkan nama SRV sehingga tak heran nama beliau diabadikan menjadi nama salah satu ruang di RRI Solo.

Ada yang belum kenal sosok Gusti Nurul? Beliau adalah putri tunggal dari MN VII dengan permaisuri GKR Timoer ( putri Hamengku Buwono VII ) yang bernama lengkap Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani. Konon kecantikannya di masa muda dipuja banyak orang, raja, bangsawan sampai pejabat negara termasuk presiden NKRI saat itu, Bung Karno juga dikabarkan ingin meminangnya.

Akhir tahun 1936 rombongan KGPAA Mangkunagara VII berlabuh menuju negeri Belanda guna menghadiri pesta pernikahan Putri Juliana. MN VII diundang sebagai tamu kehormatan dan bagian dari pengisi acara pernikahan Putri Juliana ( kelak menjadi ratu Belanda pengganti Ratu Wilhelmina ). Hadiah pernikahan berupa perhiasaan mewah dianggap kurang memberi kesan mendalam, sehingga MN VII  mengajukan hadiah berupa sebuah pertunjukan tari yang akan dibawakan oleh putrinya yang tak lain adalah Gusti Nurul dengan iringan gamelan dari Solo secara live.

Tanpa membawa seperangkat gamelan dan rombongan pengrawit tentu saja membuat Ratu Wilhelmina bingung dengan pernyataan tersebut. Panitia meragukan ide tersebut karena tidak mau acara pernikahan berantakan gara-gara gagasan tak biasa tersebut. Maka dari itu sebulan sebelum pesta berlangsung, Gusti Nurul diminta melakukan tes pementasan yang disaksikan oleh panitia penyelenggara dan dihadiri Ratu Wilhelmina sendiri.

Iringan gamelan Kyai Kanyut Mesem dimainkan secara langsung dari pendopo Pura Mangkunegaran, dipancarkan melalui SRV ke pemancar radio Belanda. Alunan musik mengiringi gerakan demi gerakan Tari Sari Tunggal yang dibawakan apik oleh Gusti Nurul. Hanya ada decak kagum dan tepuk tangan yang meriah dari para panitia atas ide tak biasa dari MN VII dan kekaguman terhadap kesenian asli Jawa yang dibawakan oleh Gusti Nurul.

Akhirnya Gusti Nurul yang sudah memakai pakaian tari lengkap menunjukkan kebolehannya dalam menari di hadapan 200 tamu undangan yang sebagian besar berisi para pemimpin dan petinggi berbagai negara pada tanggal 6 Januari 1937, sehari sebelum hari pernikahan Putri Juliana. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti kendala cuaca dalam menangkap gelombang suara dari SRV, perusahaan Philips milik Belanda sudah merekam terlebih dahulu alunan gamelan yang dilantunkan oleh Kyai Kanyut Mesem dari Pura Mangkunegaran.

Sehingga Gusti Nurul bisa dengan lancar menari tarian Sari Tunggal di hadapan para tamu di Istana Noordeinde Belanda tanpa perasaan takut suara radio ngandat. Pertunjukan berlangsung sukses, nama MN VII melambung di antara petinggi negara lain, SRV semakin disanjung di Hindia Belanda dan sejak itu sosok Gusti Nurul dianggap seperti selebriti yang mampu mengharumkan budaya Jawa di negeri seberang. ( sumber : Streven Naar Geluk karya Ully Hermono )

Nahh sudah kenal dengan Gusti Nurul kan? Peran SRV tidak berhenti sampai situ saja, SRV juga berperan penting di masa pergerakan kemerdekaan untuk menyuarakan propaganda tentang kemerdekaan NKRI. Setelah Bung Karno menyatakan kemerdekaan, aset-aset milik kerajaan di seluruh Nusantara otomatis diambil alih oleh negara. Batas kekuasaan kerajaan hanya menyisakan bangunan di lingkup baluwarti ( tembok luar keraton ) saja. SRV milik Praja Mangkunegaran berubah nama menjadi RRI ( Radio Republik Indonesia ) dengan R. Maladi sebagai kepala RRI Surakarta pertama yang menjabat mulai tahun 1945 hingga 1946.

Kini SRV tinggal kenangan, dan kenangan masa lalu SRV hingga bertransformasi menjadi RRI bisa dilihat di Museum Penyiaran RRI Surakarta. Tertata dengan rapi koleksi radio kuno beserta perangkat pendukung penyiaran dari masa ke masa. Bahkan masih tersimpan sebuah alat pembangkit listrik manual yang dulu digunakan untuk menghidupkan pemancar Radio Kambing. Radio Kambing yang kini diletakkan di Monumen Pers sangat berperan besar terhadap penyiaran di masa perang gerilya tahun 1949 terutama saat Serangan Umum Empat Hari di Surakarta. Kursi penyiar terbuat dari rotan dilengkapi poros besi ulir yang bisa berputar 360 derajat yang sudah ada sejak SRV berdiri ikut menjadi bagian dari koleksi Museum Penyiaran RRI.

Sayangnya hanya segelintir orang yang tahu tentang keberadaan museum yang diresmikan sejak tahun 2011 ini. Bahkan saya sendiri mengetahui keberadaan museum saat mengikuti kegiatan Blusukan Solo bulan April lalu. Padahal bangunan peninggalan KGPAA Mangkunagara VII yang wafat tahun 1944 ini punya potensi besar untuk mengenalkan sejarah penyiaran di Indonesia. Museum ini belum terbuka sepenuhnya untuk umum, dalam arti pengunjung yang berminat masuk ke dalam museum harus melapor dan melampirkan surat tertuju pimpinan RRI agar diberi izin masuk ke dalam.

Dari cerita sejarah singkat tentang Solosche Radio Vereeniging atau SRV yang merupakan cikal bakal RRI di atas, memang sudah selayaknya jika Museum Penyiaran RRI lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat maupun departemen yang menaunginya.

Tapi jangan terlalu berharap dengan aksi pemerintah saja yang ujungnya membuat kecewa dan berakhir nyinyiran di media sosial. Jika kamu termasuk yang peduli dengan sejarah bangsa, jangan terlalu berpikir tentang rempongnya birokrasi rumit untuk mempertahankan kelangsungan peninggalan bersejarah.

Jika kamu ingin negara Indonesia menjadi lebih maju, cintailah sejarah kotamu terlebih dahulu sebelum mengagumi sejarah bangsa lain. Percayalah bahwa sejarah itu nggak susah dipelajari asalkan kita mau belajar dan melihatnya di tempat kejadian secara langsung. Jadi tunggu apa lagi, kawan?

Kalau bukan kita, siapa lagi? Ayo ke Museum! ;-)

12 comments

  1. Jadi inget di solo atau dimana gituh ada orang yang usahanya bikin radio jadul ini FB-nya https://www.facebook.com/singgih.s.kartono?fref=ts . Harga satu buah radio jadul paling murah 500 ribu loh. Siapa tahu bisa ketemu dia, buat ditulis di blog ini.

    Like

    • Malah baru tahu sekarang dan sudah kenalan lewat FB sesuai link yang diberikan :-D
      Mudah-mudahan ada kesempatan untuk bertemu dengan beliau secara langsung. Terima kasih infonya :-)

      Like

  2. Betul di RRI Solo ada Musium radio perjuangan. Silahkan mas, mba datang mengunjungi. Musium itu bisa dikunjungi saiapa saja, cuma ada izin dari pihak kami.

    Like

    • Terima kasih sudah mampir di blog ini. Senang bisa memasuki dan melihat koleksi keren Museum Penyiaran dan mengenal sosok KGPAA Mangkunegoro VII di RRI Solo beberapa bulan lalu. Sekali di udara tetap di udara! :-)

      Like

  3. mendengarkan radio memang memiliki sensasi tersendiri daripada lainnya (misal mp3). sayangnya dari kos ku di perbatasan solo-sukoharjo tidak banyak radio yang “nyangkut”. jadinya masih sering streaming radio jogja :)

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

Gravatar
WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out / Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out / Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out / Change )

Google+ photo

You are commenting using your Google+ account. Log Out / Change )

Connecting to %s