Hujan abu akibat letusan Gunung Kelud membuat beberapa perayaan Hari Jadi Surakarta ke-269 yang sedianya diadakan tanggal 16 Februari seperti Festival Jenang dan Solo Carnaval digeser menjadi tanggal 22-23 Februari. Begitu pula dengan kegiatan Blusukan Solo yang bertajuk #MataRantai dengan terpaksa ikut delay satu minggu dari rencana awal. Tema blusukan kali ini bertujuan mengenalkan bekas kerajaan-kerajaan Mataram Islam yang ada di sekitar Surakarta.
Banyak wisatawan yang salah paham dengan pernyataan bahwa Yogyakarta merupakan penerus satu-satunya kerajaan Mataram Islam di Nusantara, kenyataannya justru Kesultanan Yogyakarta merupakan “adik” dari Kasunanan Surakarta. Perpecahan itu ditandai dengan perjanjian Giyanti disaksikan oleh pihak VOC pada tahun 1755 dengan pemberian gelar SUNAN bagi raja Surakarta dan SULTAN bagi raja Yogyakarta, yang secara harafiah gelar SUNAN disandingkan dengan gelar para Wali Songo.
Ditelisik lebih jauh lagi pernah ada kerajaan pendahulu Surakarta yang sekarang terletak di wilayah kabupaten Sukoharjo ( sekitar 10 km dari kota Solo ) bernama Kartosuro. Ditarik lebih jauh lagi pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Pajang yang berdiri megah dan berjaya sebelum Kartasura.
Dengan menggunakan sepeda onthel, peserta BlusukanSolo diajak gowes sekaligus menikmati pemandangan pagi hari kota Solo meski sesekali menutup hidung agar abu vulkanik yang masih bertebaran di jalan raya tidak masuk ke rongga pernafasan. Jika ditanya adakah bekas peninggalan kerajaan Pajang? Saya hanya bisa menjawab sudah tidak ada sama sekali. Bekas kekuasaan Pajang hanya bisa dilihat di kampung Laweyan yang dulu merupakan bagian dari kerajaan Pajang. Ada beberapa rumah kuno yang masih memiliki arsitektur Jawa tempo dulu dengan batu bata yang masih kokoh sebagai pondasi rumah. Ada juga bunker bawah tanah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga karena zaman dulu Laweyan terkenal sebagai tempat yang rawan kriminalitas. Bunker itu masih bisa ditemui di rumah milik Pak Muryadi, cerita lengkap klik di sini.
Masjid Laweyan menjadi salah satu bekas peninggalan kerajaan Pajang, di mana masjid yang dulu merupakan sebuah pura yang dimiliki oleh Ki Beluk menjadi sebuah tempat beribadat umat Islam setelah berpindah tangan menjadi milik Ki Ageng Henis ( kakek dari Panembahan Senopati ). Menjadi tokoh penting di Pajang membuat Ki Ageng Henis kelak memperoleh tanah Mataram yang berlokasi di Kota Gede dari Joko Tingkir. Tanah Mataram tersebut menjadi awal yang baru bagi Ki Ageng Pamanahan ( ayah dari Panembahan Senopati ) sekaligus kehancuran bagi kerajaan Pajang.
Bingung? Mari membaca sekilas cerita tentang awal mula Kerajaan Pajang…
Pajang merupakan sebuah kerajaan kecil yang konon sudah ada sejak abad ke-14 di bawah kekuasaan Majapahit. Letaknya di pedalaman dan berdekatan dengan sungai Bengawan Solo membuat kerajaan Pajang memiliki jalur perniagaan yang menguntungkan, sehingga tak heran jika Demak berambisi menguasai Pajang. Selanjutnya Pajang menjadi kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Demak setelah kehancuran Majapahit.
Terjadi perebutan tahta antara keturunan pewaris tahta Pajang dengan penguasa kerajaan Demak. Terjadi peperangan sampai abad ke -16 sampai akhirnya Mas Karebet atau Hadiwijaya atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir yang merupakan keturunan dari Brawijaya – Majapahit berhasil menggulingkan kerajaan Demak. Jaka Tingkir meneruskan trah kerajaan Demak dan memerintah mulai tahun 1546 dengan gelar adipati hingga menjadi raja di tahun 1549 sampai beliau mangkat pada tahun 1582 dengan kekuasaan meliputi wilayah Madiun hingga Blora. Pusat pemerintahan yang terletak di pesisir dipindah letak ke pedalaman yang tak lain adalah Pajang, tempat di mana Jaka Tingkir mengawali itu semua.
Pertikaian tak berhenti sampai di situ, Arya Pangiri yang merupakan keturunan Demak melakukan aksi balas dendam dengan menyingkirkan adik iparnya Pangeran Benawa atau Sultan Prabuwijaya ( anak dari Jaka Tingkir ) dari kerajaan Pajang. Akhirnya Sultan Prabuwijaya dibantu Sutawijaya ( Panembahan Senopati ) berhasil merebut kembali Pajang. Sayangnya Sultan Prabuwijaya hanya memerintah mulai tahun 1587 hingga 1588 saja, selanjutnya kerajaan Pajang mengalami kemunduran dan menjadi bagian dari kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.
Garis keturunan kerajaan Pajang tidak berakhir sampai di situ saja, Ronggowarsito dan Yosodipuro merupakan cucu-cucu Sultan Prabuwijaya yang menjadi pujangga tersohor di Nusantara. Dan perlu diketahui bahwa perebutan tahta di Nusantara tetap berakhir dengan garis keturunan Ken Arok – Ken Dedes ( Tumampel – Singosari – Majapahit ). Seorang putri dari Sultan Prabuwijaya yang menikah dengan anak dari Panembahan Senopati kelak memiliki keturunan bernama Sultan Agung ( 1613 – 1645 ), raja Mataram terbesar. Jalur zig-zag tapi tetap kembali ke selera asal kan? :-D
Semoga mampu dipahami dan nggak perlu mengerenyitkan dahi untuk membaca cerita sejarah singkat di atas, hehe.
Nyaris tidak ada bekas-bekas kerajaan membuat kerajaan Pajang seolah hanya tinggal nama saja. Kerajaan Pajang dikisahkan tidak memiliki tembok tinggi untuk melindungi istananya, hanya ada parit mengelilingi kompleks istana yang konon dihuni oleh buaya. Parit yang terhubung sampai sungai Bengawan Solo masih bisa dijumpai di belakang pendopo baru Yayasan Kasultanan Karaton Pajang. Sampai sekarang para ahli sejarah masih mempertanyakan di mana letak alun-alun, pendopo agung, sampai nDalem raja.
Semua peninggalan kerajaan Pajang sudah dipindahkan ke Mataram semasa Panembahan Senopati, sehingga tidak ada arca ataupun benda pusaka yang bisa dilihat di petilasan tersebut. Hanya terlihat pohon beringin tua yang menyambut peserta masuk serta sebuah patung macan putih di sampingnya. Persis di bagian belakang petilasan terdapat sebuah ruang kecil untuk meletakkan sebuah batu yang konon merupakan peninggalan Keraton Pajang. Sayangnya benda yang diragukan keabsahannya tersebut sering digunakan sebagai sarana semedi oleh kalangan tertentu. Bahkan terdapat peraturan yang memperbolehkan pengunjung menginap selama 3 x 24 jam ( baca : semedi ).
Oh men...
Setelah puas mendengar cerita dari juru kunci dan melihat langsung beberapa jejak kerajaan Pajang, peserta melanjutkan perjalanan menuju bekas kerajaan Mataram Islam yang lain, yaitu Kartasura.
belum pernah ke sana. doakan suatu hari nanti ada kesempatan untuk ke sana langsung!
Yuk singgah ke Pajang, belajar sejarah nggak membosankan kok :-D
Cerita jatuh bangunnya Majapahit memang seru… bahan pustaka cerita2 ini bertebaran dengan berbagai versi yang berbeda… pengen juga blusukan ke Solo nih
Banyak versi yang kadang bikin bingung merangkum dan menulisnya hehe.
Monggo ke Solo, nti aku antar keliling tempat-tempat baru :-)
tulisan ini mengingatkan saya beberapa tahun lalu saat mengunjungi kampung laweyan….hum berburu batik di kampung batik laweyan
Laweyan punya sisi sejarah yang menarik selain dari batik sendiri loh. Kalo ke Solo lagi, info aja biar bisa kutemenin :-D
siappppp,,,,sekarang aja saya belum sempet nulis tentang kampung batik laweyan,,ya neh ada bahan referensi ttg laweyan
Blusukan edisi ini penjelasannya sama sekali gak masuk ke otak…kecapekan ngontel hahaha
Pas juru kunci petilasan Pajang cerita detil keraton Pajang, malah kutinggal hunting foto hahaha…
Paling berkesan malah penjelasan masuk akal dari Pak Surya di Kartosuro ne :-D
Ceritanya kumplit lim. Ini yang dekat laweyan yang kita pernah kesana kan ya, tapi ga ada orang yang jaga disitu. Kasian bentuknya udh ga kerawat ya.
Bobby udah pernah kuajak masuk ke rumah Bunker belum ya? Lupa hehe… Next time ulang lagi aja Bob :-D
Ke bunker bapak itu sudah lim, sudah pernah masuk koq.. Pengen ke solo lagi ke tempat lain. Masih bersedia nemenin kan hehe
Ayoo aja, siap anter keliling lagi deh… Masih banyak objek yg belum dimasuki kan? :-)
Weh? Sepengetahuan saya kerajaan Pajang itu letaknya ya dekat Demak, kan suksesi dari kerajaan Demak. Ternyata letaknya di deket Solo toh… baru tahu. Sayang ya bangunan fisik kratonnya udah tak berbekas. Di Kartasura pun hanya tersisa temboknya saja. Sayang banget…
Dari Demak langsung dipindah Jaka Tingkir ke Pajang karena memiliki jalur perniagaan yang menguntungkan dan konon kerajaan yang sudah dibobol musuh dirasa hilang aura kejayaannya maka dari itu harus dipindah :-)
asik juga nih kang
:-D
Seru juga blusukan pake onthel….
Keliling Lampung bisa pake onthel nggak? Mupeng ama heritage di Lampung nih :-)
ini cerita keren sekali kawan ;)
Makasih kawan… Yuk kapan ke Solo, nti kuantar keliling Solo dan sekitarnya :-)
Menarik, ternyata Laweyan justru masih menyimpan bukti konkret keberadaan Kerajaan Pajang. Yuuuhuuu .. :D
Iya kampung Laweyan justru merupakan bekas nyata yg masih trsisa dari kerajaan Pajang, selebihnya bekas kerajaan sudah rata dengan tanah :-)