Merantau dan mengadu nasib di kota besar sering membuat perantau lebih sering memuji keindahan kota sebelah, tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih indah di kota kelahirannya.
Jangan sirik dengan kepopuleran kota sebelah yang mungkin punya pemerintah daerah yang tanggap dengan potensi wisata di daerah tersebut, bentuklah citra kota kelahiranmu mulai dari diri sendiri.
Awal bulan Februari lalu pemandangan Gunung Bromo tidak seperti yang pernah saya lihat beberapa tahun silam. Musim penghujan membuat kawasan taman nasional ini cenderung berkabut mulai dari pagi sampai sore, bahkan hujan deras di malam hari mampu membuat matahari terbit keesokan harinya malu untuk menampakkan diri. Memang akhir tahun hingga awal tahun bukanlah waktu yang tepat untuk mengunjungi kawasan gunung berapi setinggi 2.392 meter tersebut, namun di balik kekurangan tersebut, saya menemukan potensi wisata lain yang tak kalah menarik tersebar di kotamadya dan kabupaten Probolinggo.
Perjalanan saya berawal dari ketertarikan terhadap sebuah penawaran jalan murah yang diadakan oleh sekelompok anak muda Probolinggo yang tergabung dalam @imProses. Sebelum isu naiknya tiket masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menjadi topik panas di kalangan wisatawan, saya sudah mengangkat ransel dan bergegas menuju terminal Bayuangga dengan penawaran di bawah lima ratus ribu untuk menikmati Tour De Probolinggo selama empat hari. ;-)
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terbagi dari empat wilayah kabupaten yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang, sehingga banyak jalan menuju Gunung Bromo. Total sembilan jam perjalanan yang harus saya tempuh dari Solo menuju Surabaya dilanjutkan menuju terminal Bayuangga, Probolinggo. Namun semua itu tidak seberapa dibanding perjalanan peserta lain yang berasal dari Bogor, Bekasi bahkan Padang. Terminal Bayuangga menjadi starting point sekaligus tempat bermalam peserta dan panitia sebelum kendaraan datang keesokan harinya.
Jarak tempuh dari Probolinggo menuju Desa Ngadisari terbilang cepat ( satu setengah jam ) disertai pemandangan khas perbukitan hijau nan subur di pagi hari membuat saya dan peserta lain lupa sejenak akan rasa capek akibat perjalanan jauh yang kami lalui sehari sebelumnya. Lupa akan kerasnya bangku yang terkadang membuat pantat sakit saat kendaraan melintasi lubang besar di sepanjang perjalanan, sesekali tubuh harus doyong kanan-kiri mengikuti belokan tajam kendaraan yang kami naiki. Ahh jangan bayangkan kami dijemput oleh angkutan desa atau bahkan bus AC yang membawa seluruh peserta beserta panitia menuju kawasan Gunung Bromo. Dua buah truk tentara menjadi kendaraan yang mengangkut kami menuju beberapa lokasi selama Tour De Probolinggo berlangsung, kawan. Seru kan? :-D
Setibanya di Desa Ngadisari, peserta dikumpulkan jadi satu di sebuah gedung pertemuan Hotel Bromo Permai yang sudah disulap menjadi tempat bermalam menyerupai barak dengan kasur berjajar rapi di lantai. Selesai meletakkan tas dan makan pagi, kami digiring oleh panitia yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswi asal Probolinggo jalan kaki dari penginapan menelusuri padang pasir menuju puncak Gunung Bromo. Mereka mengajak peserta yang juga mayoritas mahasiswa-mahasiswi ( kecuali saya ) untuk lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak wisatawan yang datang ke suatu tempat membawa sampah dan pergi tanpa membawa sampah itu pulang. Rantai sampah yang tidak ada habisnya jika tidak ada bentuk kepedulian mau memunggut sampah orang lain yang tercecer dan meletakkannya di tempat yang telah tersedia ( tempat sampah ).
Jalan kaki merupakan cara yang ampuh melihat padang pasir lebih dekat, ikut mendengar pasir berbisik dan plastik berbisik! Saya tidak pernah menyangka bahwa kawasan padang pasir menuju Gunung Bromo menimbun banyak sampah. Mulai dari putung rokok, bungkus permen, plastik keripik, bungkus pop mie, sampai jas hujan plastik tersebar di mana-mana.
Banyak sampah berasal dari wisawatan malas yang tidak peduli dengan lingkungan serta sampah-sampah yang berterbangan dari penginapan dan kios makanan yang terletak persis di atas padang pasir. Memang tidak semua sampah berhasil kami ambil, namun enam kantung plastik besar penuh sampah yang kami punggut selama perjalanan mampu memutus sedikit rantai sampah. Sedikit…
Setelah kantung-kantung sampah kami titipkan di area parkir, kami beranjak menuju puncak Bromo. Kata wisatawan mainstream, jangan ngaku ke Bromo kalau belum berhasil menuju puncak Bromo hehe. Entah energi apa yang mendorong semua peserta, satu-persatu berhasil menapaki puncak tanpa mengubris tenaga kaki yang sudah mulai lemah akibat berjalan kaki sekian kilometer saat berjalan dari penginapan menelusuri padang pasir.
Perjalanan belum berakhir…
Wuihhh jalan kakine adooh lim. aku jelas tepar kui :)
LikeLike
Untung sebelume wes dikasi sarapan jadi lumayan bertenaga menuju puncak :-)
LikeLike
dua tahun lalu ane kesana..lewat jalur malang..sumpah keren bget…
LikeLike
Hehe semua jalan menuju Gunung Bromo keren, bikin nggak bosen bolak-balik ke sana :-D
LikeLike
Bromo memang keren…
LikeLike
Setujaaa :-D
LikeLike