Ada yang mengatakan Laweyan berasal dari kata Lawe, nama benang untuk membuat kain selimut yang konon dibawa oleh para pedagang saat mereka mengarungi sungai Bengawan Solo sampai akhirnya menetap di sepanjang pesisir Sungai Pajang. Komoditi utama kain selimut berkembang menjadi kain mori yang kemudian diolah menjadi kain batik ( banyak titik ). Motif keraton yang telah dimodifikasi menghasilkan karya yang lebih bagus, ragam corak baru membuat pengunjung dari luar Surakarta tertarik untuk mengoleksinya. Lambat laun Laweyan menjadi pusat dagang batik tulis yang ramai dan menjadi pemukiman tetap para saudagar batik.
Mereka hidup ngaluwih-luwih ( berlebih-lebih ) dengan harta kekayaan yang lebih dari cukup, mereka membangun rumah mewah dengan arsitektur perpaduan Belanda, Jawa dan China. Kekayaan yang berlimpah membuat mereka sedikit waspada dengan kejahatan di sekeliling kampung, membangun tembok tinggi mengelilingi rumah mewah mereka, membuat pintu belakang rumah yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain, sampai membuat bunker untuk menyembunyikan harta mereka.
Zaman sudah berubah, Laweyan juga ikut berubah. Beberapa rumah kuno direnovasi sedemikian rupa demi terciptanya sebuah showroom batik yang nyaman bagi para pengunjung. Ada yang masih mempertahankan bentuk asli, ada pula yang sudah merubuhkan tembok tinggi yang mengelilingi rumah mereka, merubuhkan bangunan lama kemudian membangun rumah modern, tegel antik diganti dengan keramik putih polos demi terciptanya sebuah hunian modern seperti yang mereka idamkan. Jangan khawatir, tidak semua bangunan berubah menjadi modern kok, banyak ahli waris yang masih peduli dengan heritage yang tersebar di kampung Laweyan.
______
Masih berdiri dengan gagah sebuah tempat ibadah bernama Langgar Merdeka di pertigaan jalan menuju Jalan Sidoluhur. Bangunan dominan warna hijau ini terdiri dari dua lantai, lantai dasar digunakan untuk tempat usaha, sedangkan lantai dua digunakan untuk beribadah. Siapa sangka bangunan tua yang sering disebut Langgar Al Ikhlas oleh penduduk sekitar tersebut merupakan bekas rumah candu. Semenjak dibeli oleh saudagar sekaligus tokoh Laweyan bernama H Iman Mashadi pada tahun 1940, rumah ini beralih fungsi menjadi rumah ibadah yang kemudian diresmikan pada tahun 1946 dan diberi nama “Merdeka” oleh Presiden Soekarno. Kondisi sekarang, Langgar Merdeka sudah resmi menjadi salah satu cagar budaya di kota Solo. Pengunjung boleh masuk dan beribadah di dalamnya asalkan minta izin terlebih dahulu ke pengurus langgar.
______
Seperti saya sebut di atas, banyak saudagar yang membangun bunker di bawah rumah dengan tujuan menyimpan harta benda mereka. Tingkat kejahatan yang tinggi membuat para saudagar terpaksa mengali lubang khusus untuk menyimpan perhiasan, kain batik, sampai alat cap motif batik. Sayangnya semenjak Laweyan dicurigai sebagai markas persembunyian PKI pada tahun 1965, banyak rumah kuno mulai menutup pintu masuk ke bunker agar tidak dituduh macam-macam. Sejauh ini hanya ada sebuah rumah yang masih mempertahankan bunker di bawah rumahnya. Rumah milik pak Harun Muryadi yang terletak tidak jauh dari jembatan Laweyan masih memiliki bunker berukuran kurang lebih 3 x 3 meter. Pengunjung akan disambut dengan ramah oleh pak Muryadi sendiri serta merasakan suasana homy di bangunan kuno yang konon sudah ada sejak kerajaan Pajang. :-)
______
Tak jauh dari rumah “bunker” pak Muryadi, terdapat sebuah rumah kuno dengan gaya indisch bernama nDalem Djimatan. Konon bangunan ini berdiri di atas lahan milik Ki Ageng Henis, ayah dari Ki Ageng Pamanahan yang di kemudian hari dihuni oleh Mas Ngabehi Djimat Kartohastono dan dinamakan nDalem Djimatan sampai sekarang. Terdapat tujuh sumur di kompleks rumah yang terletak di Jalan Tiga Negeri no 144 ini, sayangnya sumur sudah terkotak-kotak sesuai pembagian hak waris keturunan pemilik yang sekarang. Sempat mendapat dana pemugaran dari pemerintah membuat nDalem Djimatan menjadi salah satu rumah kuno Laweyan yang membuka sedikit pintunya untuk umum, bahkan nDalem ini sekarang berfungsi sebagai Lab UNIBA ( Universitas Islam Batik ) Surakarta dan memiliki taman bacaan di samping bangunan inti.
______
Masjid tertua di Surakarta ini semula berbentuk pura milik Ki Beluk yang semula beragama Hindu Jawa. Kedekatan dan kemuliaan sifat Ki Ageng Henis membuat Ki Beluk kemudian memeluk agama Islam. Pura diserahkan oleh Ki Ageng Henis dan berdirilah sebuah masjid pada tahun 1546. Bisa dikatakan bangunan cagar ini memiliki catatan sejarah penting terbentuknya kerajaan Mataram Islam di Jawa yang didirikan oleh Panembahan Senopati, putera dari Ki Ageng Pamanahan. Masjid sudah mengalami beberapa perubahan seperti pondasi awal kayu diganti dengan tembok pada tahun 1800-an. Hanya menyisakan undakan yang menandakan bahwa dulu bangunan berupa sebuah pura serta beberapa arca di kompleks makam belakang masjid.
Kompleks makam yang terletak di belakang masjid memiliki pintu persis di samping masjid. Total tiga pintu besar warna biru harus dilewati peziarah, selain pintu tambahan menghadap jalan utama yang dibangun khusus oleh Sinuhun Paku Buwono X.
Cukup mengenakan pakaian rapi dan sopan untuk melihat lebih dekat makam Ki Ageng Henis. Ada ratusan makam kerabat kerajaan Pajang serta kerabat Ki Ageng Henis seperti Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Permaisuri Paku Buwono V serta makam Sinuhun Paku Buwono II. Nama terakhir yang saya sebutkan mungkin banyak yang tidak menyangka karena hampir semua keturunan raja Mataram dimakamkan di Astana Imogiri. Namun inilah kenyataannya, Susunuhun Paku Buwono II berpendapat jika beliau dimakamkan di samping Ki Ageng Henis dipercaya mampu menjaga keraton Surakarta dari serangan musuh.
______
Beberapa spot menarik di atas sudah membuktikan bahwa banyak tempat menarik yang bisa ditelusuri saat singgah di kampung Laweyan. Sekali lagi kampung Laweyan sudah mulai berbenah, pengunjung tak lagi harus terpaku imej
“Laweyan kampung shopping batik”.
Banyak kejutan saat menelusuri gang-gang kecil di Laweyan seperti pintu warna-warni di sepanjang jalan, tembok yang fotogenik buat difoto sampai menemukan jajanan khas Laweyan bernama Ledre. Jajanan pasar terbuat dari campuran beras ketan dan parutan kelapa tersebut dibakar tanpa menggunakan minyak diisi dengan irisan pisang rojo yang empuk. Nyumm nyum, sudah terbayang bentuk Ledre Laweyan? :-D
______
Sekarang ada kabar baik bagi penikmat bangunan tua di Laweyan, tak perlu berlama-lama keliling showroom batik hanya untuk melihat kemegahan rumah saudagar batik. Ada sebuah rumah kuno yang membuka pintunya lebar-lebar untuk menyambut pengunjung serta mempersilakan mereka melihat desain mewah rumah kuno sampai puas. Tempat yang saya maksud adalah Wedangan Rumah Nenek, sebuah konsep baru dan unik di Laweyan yang menggunakan bangunan kuno sebagai tempat nongkrong dan pelepas lelah selesai mblusuk gang-gang di Laweyan. Rumah bekas perusahaan batik Atmowikoro yang beralamat di Jalan Sidoluhur 58 ini memiliki tempat yang sangat homy, seruput teh krampul sambil membayangkan kehidupan mewah mbok mase dan mas nganten saat mereka mendiami bangunan perpaduan Belanda – Jawa tersebut.
Seru kan?
Jangan ragu untuk mengunjungi Laweyan… Yuk wisata sejarah di Laweyan ! ;-)
Wow keren, kok bisa dapat akses moto-moto rumah di sekitar Laweyan?
Laweyan salah satu artinya adalah ‘receh sebesar 25 rupiah’.
LikeLike
Malah baru tahu kalau Laweyan punya arti lain “receh sebesar 25 rupiah” hehe
Laweyan sudah nggak tertutup seperti dulu lagi, sebagian dari mereka sudah sadar akan potensi wisata sejarah di kampung mereka :-)
LikeLike
Oh gitu, untuk umum bisa yak.
Laweyan berasal dari kata ‘Selawe’ yang artinya 25 rupiah.
Laweyan artinya 25 rupiah-an, pecahan 25 perak.
Solo emang elok.
LikeLike
Bagus banget beberapa bangunan udah dipercantik dan gak terlihat ringkih dimakan zaman. Koh Halim jadi guide nanti kalau aku ke Solo ya.
LikeLike
Woohoo siyapp…dengan senang hati ajak kokoh keliling Solo sampe puas :-)
LikeLike
Berkali-kali ke laweyan tak bakal bosan :)
LikeLike
Ngobrol nggak ada habisnya di rumah kakek, seruput teh anget di rumah nenek, serasa main ke rumah kerabat sendiri ya hehehe
LikeLike
tempat berburu batik paling juara di solo
sekali kepleset ke laweyan bakal betah berrlama2 di sana
batiknya dapat, heritagenya juga
LikeLike
Mas Danang korban terlanjur keplesetnya ya? hehehe
Jangan bosan dengan Laweyan, karena Laweyan nggak pernah bikin jenuh :-D
LikeLike
Wahy… adakah kesempatan yang tidak dibilang emas jika aku bisa mampir ke sana kelak … hm….
LikeLike
Pintu masih tetap terbuka, kawan :-)
LikeLike
wahh.. mari kita angkat nama solo :D
LikeLike
Mari :-)
LikeLike
postingannya keren lae, btw ini infonya dr wawancara ya???
salut deh, bs inget buat mengulasnya semua!
LikeLike
Sudah sering ke Laweyan dan mengenalkan tempat tersebut ke teman yg datang dari luar kota. Hanya baru kali ini menceritakan semua objek di blog :-)
LikeLike
ahhh jadi pengen ke solo. 2014 pasti ke Solo!
LikeLike
Siyap gelar karpet merah dan jadi guide hehe
LikeLike
Nanti aku kabari kalau udah mau ke sana ya, mau naik bis Jokowi itu
LikeLike
Saya dulu pernah dari sini pas ada acara ultahnya komunitas blogger di Solo, sempat melihat salah satu rumah yg masih ada bunker di dalamnya. Sempat juga melihat beberapa rumah batik dan cara pembuatan batik tulis, sungguh pengalaman tak terlupakan.
LikeLike
Yuk mampir lagi ke Solo untuk lihat bangunan bersejarah yang lain :-)
LikeLike
eh ada bunker yg masih berfungsi yah? kalo skrg ini masih dipake jadi tempat penyimpanan apa cuma buat heritage aja ? sempet ke bunkernya ga kohal?
LikeLike
Sekarang udah jd cagar yg dilindungi, tinggal di rumah pak Muryadi aja yg masih tersisa :-)
Udah sering masuk ke dalam pas anter temen dari luar kota, kapan giliranmu berkunjung ke Solo, Mei? :-D
LikeLike
Lieemmmmmmmmmm….ahhaaa..baru tau aku klo itu atasnya langgar merdeka….miris ya..ora reti. pdhal tinggalku skrg di pajang
LikeLike
Langgar Merdeka keren lo atas e… sing omah e Jongke ayo mlipir ;-)
LikeLike
kapan ngejak aq mlipir rono lim
LikeLike
Lokasine cedhak lo… yuk kapan golek tanggal prei kantormu sik hehe
LikeLike