Naik kereta api…tutt…tutt…tutt…
Siapa hendak turut… Ke Bandung … Surabaya…
Bolehlah naik dengan percuma, Ayo temanku lekas naik
Keretaku tak berhenti lama…
Duluuuu saya mengira bahwa PT KAI ( Kereta Api Indonesia ) adalah perusahaan keren yang menghabiskan uang dan tenaga untuk membuat jalur kereta api ciamik yang melintasi puluhan kota di Jawa. Ternyata persepsi saya salah… Nyaris semua jalur kereta api di pulau Jawa dan Sumatera dibangun oleh bangsa Belanda ketika mereka berkuasa di Indonesia.😐
Jalur kereta pertama kali dibangun di Semarang pada tahun 1864 dengan jalur sepanjang 26 kilometer menuju Tanggung yang dibangun oleh perusahaan swasta Belanda bernama NIS ( Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij ). Belanda membutuhkan waktu 60 tahun untuk membangun jalur rel sepanjang 1.518 kilometer di Jawa Tengah, namun sayangnya sekarang hanya tersisa 894 kilometer saja yang masih aktif. Jalur yang tidak aktif bisa terlihat di jalur Semarang menuju Yogyakarta dimana melewati Ambawara, Temanggung, Secang, Magelang dan Muntilan.
Minggu lalu ( 9 Juni 2013 ) saya berkesempatan mengikuti kegiatan Djeladjah Djaloer Spoor yang diselenggarakan oleh komunitas Kota Toea Magelang. Menelusuri jalur spoor ( kereta ) dari Stasiun Secang menuju Stasiun Umbul membuat saya sadar bahwa Belanda tidak main-main dengan proyek jalur kereta yang pernah dibangunnya.
Tujuan pertama kami adalah Stasiun Secang, sebuah stasiun yang terletak di jalan raya Magelang menuju Semarang. Stasiun ini tidak langsung menghadap jalan raya, sudah ada bangunan milik Koramil yang menutupinya. Bangunan kosong ini juga tidak besar seperti Stasiun Ambarawa, tapi siapa sangka bahwa Stasiun Secang pernah menjadi salah satu stasiun terpadat di Magelang. Lima jalur kereta masih bisa dilihat meski samar-samar tertutup oleh lapisan semen dan truk tronton!
Stasiun yang dibangun kurang lebih tahun 1903 ini memiliki jalur kereta Secang-Magelang, Secang-Temanggung, Secang-Ambarawa dan Secang-Umbul yang berfungsi mengangkut hasil bumi untuk kemudian diangkut ke pelabuhan Tanjung Emas maupun mengangkut penumpang yang akan singgah ke stasiun lain.
Kami dibawa menelusuri jalur kereta penumpang yang zaman dulu berfungsi mengangkut noni dan sinyo Belanda menuju Umbul. Warga asing yang dulu tinggal di Magelang selalu menyempatkan waktu untuk refreshing di tengah aktifitas padat mereka, dan salah satu tempat wisata mereka adalah permandian air hangat di Candi Umbul.
Jangan bayangkan kita bisa menaiki kereta wisata seperti di Stasiun Ambarawa! Jalur kereta Secang-Umbul bisa dikatakan nyaris tidak bersisa. Cukup miris melihat jalur kereta yang sudah tertutup aspal, dihimpit pemukiman warga, bahkan tergenang air kubangan di sawah.
Jangan bayangkan juga kami naik kendaraan bermotor untuk menelusuri jalur kereta sejarah tersebut. Dari Stasiun Secang menuju Stasiun Umbul yang berjarak kurang lebih 8 kilometer hanya bisa ditempuh dengan kaki ( baca : peserta harus trekking ).
Capek? Nggak tuh…. Justru saya merasa senang dengan pemandangan keren yang ada di sepanjang perjalanan.
Merupakan sensasi tersendiri merasakan jalur keren dengan pemandangan hamparan sawah dikelilingi perbukitan… Kami diajak melewati jalan setapak di antara ladang padi. Kemudian berbecek ria di tengah kubangan lumpur mengingat sehari sebelum acara, hujan deras melanda Magelang.
Perjalanan nggak selalu berjalan mulus, ada peserta yang rela salah satu alas kakinya putus di tengah jalan, sepatu baru yang semula berwarna putih menjadi cokelat, dan tentu saja nggak asyik kalau belum terpeleset di tengah licinnya tanjakan rumput.😀
Ada pemandangan yang membuat sedikit tercegang di tengah perjalanan, apalagi kalau bukan sebuah bukit yang dibelah menjadi dua demi terciptanya sebuah jalur kereta menuju Umbul. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda diperkirakan mencapai 350.000 gulden.
Angka yang terbilang fantastik di zaman itu!
Sayangnya jalur MAHAL tersebut dibiarkan mangkrak tanpa perawatan sama sekali…
Cetakan baja buatan pabrik KRUPP dari Jerman tidak diragukan lagi kekuatannya, sebagai contoh jembatan kereta yang membelah Sungai Elo masih terlihat kokoh sampai sekarang. Bekas jembatan tersebut tidak digunakan oleh warga sebagai sarana penyeberangan. Hanya orang bernyali besar saja yang berani melintasi rel baja tanpa penopang kayu dengan aliran deras Sungai Elo di bawahnya.😉
Bukan pemandangan alam saja yang saya nikmati, saya juga merasakan keramahan penduduk setempat yang sedari awal perjalanan selalu menebar senyum ramah tanpa beban. Ahh andai keramahan semacam ini bisa ditemukan di kota besar Indonesia *wink.
Tak terasa saya dan kawan lain sudah berjalan selama kurang lebih empat jam. Empat jam yang memberikan banyak pengalaman dan pandangan baru tentang jalur perkereta-apian Magelang. “Candi Umbul masih jauh nggak ya?” pertanyaan yang sering dilontarkan kawan lain, sampai akhirnya terlihat reruntuhan bangunan yang dulu bernama Stasiun Candi Umbul. Hurayyy…
Stasiun Candi Umbul hanya tinggal puing-puing saja. Mas Bagus selaku pemandu kami hanya memberi gambaran tentang ruang yang sekiranya merupakan ruang tunggu dan loket. Catatan sejarah tempat ini bisa dikatakan tidak lengkap, sehingga tidak banyak informasi yang dilontarkan.
Lega rasanya saat tiba di kompleks Candi Umbul yang memiliki kolam air hangat. Kaki pegal dicelupkan ke dalam air belerang di kolam terbuat dari batu andesit yang konon merupakan peninggalan Hindu kuno.
Candi Umbul terletak di kecamatan Grabag yang bisa ditempuh dengan kendaraan kurang lebih 30 menit dari kota Magelang tanpa harus mblusuk ke sawah seperti saya. Pengunjung cukup membayar tiket masuk sebesar 3.300 rupiah saja.
Terdapat dua kolam sama besar dengan aliran air yang terus mengalir disertai gelembung udara yang mumbul ( muncul ke permukaan ). Eits ini bukan gelembung kentut… tapi gelembung air dari bawah kolam.
Posisinya terletak jauh dari kompleks Candi Gedong Songo yang juga memiliki sumber belerang, jauh pula dari gunung berapi, jadi dari mana air belerang ini berasal? Hmm masih merupakan teka-teki yang belum terpecahkan…
Jangan terlalu dipikir, cukup nikmati saja pemandangan indah yang menyegarkan pikiran di sana, okay!
Note : Miris dan kecewa campur aduk saat melihat jalur sepur ( kereta ) yang terabaikan, tapi apa boleh buat karena semua sudah terlambat untuk diatasi. Hanya bisa berharap anak muda terutama pelajar bisa mempertahankan catatan sejarah yang ada untuk diceritakan ke anak cucunya kelak. Tanpa rasa peduli dengan jejak sejarah yang diwariskan oleh nenek moyang, manusia hanya seperti sebuah robot yang dikendalikan oleh remote control kehancuran budaya…
Say thanks untuk komunitas Kota Toea Magelang yang memberi ilmu baru tentang jalur kereta Secang – Umbul dan pengalaman mblusuk sawah.😀
seru, kak Hal! btw Djeladjah Djaloer Spoor ini diadakan secara berkala atau cuma sesekali?
LikeLike
Cuma sekali aja tanpa ada penggulangan event yang sama, setiap bulan tempatnya berbeda-beda hehe…
Jadi kalau tertarik harus langsung daftar di komunitasnya langsung
LikeLike
bagus sih biar ga komersil, tapi kasian saya yg tinggalnya jauh.. #halah
btw thnks infonya!
LikeLike
Hahaha… Kudu cari waktu cuti yang pas buat berkorban ikut acaranya😀
LikeLike
pengen nyemplung di kolam air hangatnya, kayaknya segerrr banget😀
LikeLike
Seger dan capek hilang karena kandungan belerang
LikeLike
iyah…efek dekat gunung merapi ya😀
LikeLike
Perjalanannya keren lim, anti mainstream banget yah. Banyak pengetahuan dari post-mu yang ini. Jadinya kamu banyak utang nih samaku, harus dibawa juga kesana hehe
LikeLike
Siapp jd guide… Tinggal pilih objek di blog yahh hihi #promosi😀
LikeLike
utang sama aku juga lim :))
btw jadi inget jalur kereta di Bukit Tinggi deh, udah ga kepake juga, padahal dulu katanya jadi mempermudah perjalanan padang panjang – bukit tinggi loh. dan kalo dipikir2 waktu jaman Jepang gitu pembangunan rel kereta apinya udah sintingnya, soalnya ada terowongan dibawah bukit gitu, jadi semacam ngebolongin bukit :))
LikeLike
Yup di Sawah Lunto pun terdapat jalur keretanya dari Padang, fungsinya dulu buat angkut batubara.
Siap jadi guide kalo dirimu berkunjung ke Solo, kawan…
LikeLike
wah… asikk tuh lihatnya. seru ya berjalan menyusuri jalan kereta.
memang Belanda dulu tak gitu aja bikin rel pasti dah ada perhitungannya. seru baca postnya nih. thank you
LikeLike
Semoga terinspirasi menelusuri jejak kereta yang hilang juga hehehe…
LikeLike
Halo bung Halim. Wah, baru tau juga kalo njenengan blogger juga😀😀
Salam kenal, okay..
oya, ada info kalo mau ikut Jelajah Plengkung tgl 7 Juli. Rute Trekking dalam kota sekitar 5 Km. More info : Fb Kota Toea Magelang. saya ngga bisa ikut lagi mau trekking ke Surabaya.
😉
LikeLike
*jabat tangan salam blogger*😀
LikeLike
Jalur Spoor di tempat ini relatif masih bisa terlihat, masih ada sebagian besar rel yang terlihat meskipun samar-samar. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah jalur Magelang – Blabak yang nyaris sudah tidak berbekas, sebagian besar sudah tertanam aspal akibat pelebaran jalan.😀
LikeLike
Mas Anjar tahu jalurnya nggak? Yokk survey bareng😀
LikeLike
sedikit banyak tahu, cuma masalahnya ga ada waktu buat survey, kerjaaa.. haha..😀
LikeLike
Asik juga tuh trekking menyusuri rel kereta api dan berakhir di kolam air panas sebagai bonus untuk betis yang letih.😀
LikeLike
Setelah sampai di Umbul, semua perserta girang banget lihat air hangat buat berendam hehe….
LikeLike
Haiiiiiiiiihhh… Mas Halim sampai Secang juga? Rumah nenek saya itu di Ngadirojo, di dekat-dekat situ juga ada rel yang rusaknya, sebelum sampai Secang… Dan sekarang kayaknya sudah diaspal semua. Terakhir liat itu rel, tahun 2002 mungkin.😦
LikeLike
Wahh lain kali ajak saya mampir sana ya hehe…
LikeLike
Kyaaaaaaaaa….. Baru tau malah, kalau di Magelang ada komunitas kota tua juga… Wah, mungkin karena saya jarang sowan ke rumah Mbah, sampai nggak tau lagi Magelang udah kayak apa sekarang.😦
LikeLike
mantap ini mas…kayak di palagan ambarawa ya mas bro heheh yang museum kereta…
LikeLike
Makasih kawan
Stasiun Ambarawa masih paling juara museum keretanya, koleksi masi terawat, kantor juga masih dipake hehe…
LikeLike
coba kalau jalur kereta “legenda” ini diaktifkan lagi, dikelola dg baik, dijadikan objek wisata… pasti keren!! secang gitu loh
*menatap KTP*
LikeLike
Moso kalah ama Ambarawa… Jalur yg sekaligus bisa membuat Candi Umbul terkenal secara luas.
Nahh yg menatap KTP yuk maree dibantu aktifin lagi pengelolaannya hehehe…
LikeLike
waaaah, keren ini
LikeLike
Thanks mba Olive
LikeLike
Ini acaranya keren banget, mas. Jadi pengen ikutan kalau diadain lagi
LikeLike
Kok aku iri ya (pake banget) sama penjelajahan jalur spoor ini.. huhuhu.. Keren banget Halim!!
LikeLike
Ayo mas next time pas dirimu mudik cari program jelajah di Magelang lagi
LikeLike
sayang banget 350.000 gulden terbuang percuma -,- kalau sekarang dirupiahin jadi berapa ya itu😀
LikeLike
Cukup membuka wawasan saya, Foto-fotonya keren!
Silahkan berkunjung ke “Berwisata di Bawah Bayang Syariat http://bairuindra.blogspot.com/2014/03/berwisata-di-bawah-bayang-syariat.html sekadar membuat rindu pada hati yang ingin berkunjung ke Banda Aceh. Tks
LikeLike
Maksih Uda nambah wawasan saya
LikeLike
Semoga bermanfaat, kawan
LikeLike
start dari mana jalurnya mana saja
LikeLike
Sudah dijelaskan pada tulisan di atas, saya menelusuri jalur dari Secang menuju Umbul, Magelang
LikeLike
mas halim salam kenal
saya adalah pecinta kereta api terutama pada jalur2 mati.
kalau boleh tau touring seperti diatas biayanya berapa ya mas?
apakah touring seperti diatas hanya fokus pada jalur mati kereta api saja?
saya berencana membuat tulisan mengenai jalur mati di jawa tengah, dan saya ingin mengungak sejarah jalur kereta di magelang, ambarawa, temanggung dan wonosobo.
kalau tau informasi mengenai hal tersebut saya minta tolong infonya ya mas
ini cp saya: 085725571790
makasih
LikeLike
Salam kenal juga, kawan… Segera saya info tentang komunitas yang mengadakan acara tersebut ya, agar bisa memperoleh informasi yang lebih lengkap
LikeLike
Membaca posting-an ini, saya jadi teringat kembali kecintaan terhadap kereta api. Berhubung rumah saya tak jauh dari stasiun kereta, masa kecil sering saya habiskan di stasiun. Dari yang hanya melihat kereta jarak jauh yang melintas langsung, naik lokomotif, naik langsiran gerbong barang, sampai menyusuri jejak rel yang sudah tidak terpakai. Sayangnya, aktivitas itu tidak bisa dilakukan lagi mengingat area stasiun sudah disterilkan. Demi kereta api yang lebih baik, tentu saya dukung.
LikeLike
weh, jangan-jangan koh Halim ini termasuk komunitas heritage KAI😐
LikeLike
Hahaha ora bro… tahu jalur mati kereta api juga gegara komunitas Kota Toea Magelang. Ikutan aja kalau mereka bikin acara lagi😀
LikeLike
maybe someday😀
LikeLike
Saya sebagai orang secang mengucapkam terimakasih dan bangga atas blusukanya ke kecamatan secang😀
semua tempat yg ada di fto itu dulu sering menjadi tempat bermain saya dan kawan kawan.
Jadi mengingatkan saya pada masa kecil :’)
bigthanks {}
LikeLike
Sama-sama Alga. Senang bisa membantu nostalgia Alga terhadap masa kecil di Kecamatan Secang
LikeLike
[…] Memang betul jalan sedikit demi sedikit terasa menanjak, kadang disertai turunan dan sesekali belokan yang menyuguhkan pemandangan perbukitan yang mengagumkan. Jalur membelah bukit tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit dengan pekerja yang banyak pula. Seperti jalur Secang – Umbul yang pernah saya jelajahi bersama KTM dua tahun silam, cerita lengkapnya baca –> Jalur Spoor Yang Terabaikan. […]
LikeLike
Capernya menarik… Jadi pengen jelajah jalur kereta lama, kebetulan di belakang rumah nenek ada jalur kereta yang sudah lama tidak terpakai, plus jembatannya dan butuh nyali tinggi buat nyebrangnya karena ketinggiannya bikin merinding…😀
Rumah nenek saya ada di Temanggung desa Walitelon. Baru tau kl rel kereta yang sudah tak terpakai itu jalurnya semarang – jogjakarta.
Tapi saya tinggal di bali sekarang, Ha.. Ha.. Ha.. kudu cari waktu buat main kesana…
LikeLike
Temanggung – Parakan juga ada jalur kereta yang terhubung ke Magelang. Barangkali aja rumah neneknya punya letak tak jauh dengan jalur kereta tersebut, mungkin pas mudik bisa diintip hehehe. Terima kasih sudah mampir, mas Danu
LikeLike