Apa itu tingkeban? Tingkeban merupakan upacara selamatan kehamilan tujuh bulan. Banyak orang mengenal upacara ini dengan sebutan mitoni yang berasal bahasa Jawa pitu yang artinya tujuh. Upacara ini merupakan tradisi masyarakat Jawa yang dewasa ini semakin jarang dilakukan seiring dengan calon orang tua yang terkadang tidak terlalu memikirkan tradisi kuno di jaman modern seperti sekarang.
Beberapa minggu lalu saya mendapat kesempatan melihat proses mitoni salah seorang teman saya secara langsung. Persiapan yang dilakukan sangat sederhana dan sarat makna. Yang harus dilakukan keluarga menjelang upacara adalah menyiapkan tumpeng yang terdiri dari berbagai macam makanan, beberapa jarik dengan motif berbeda, dan air siraman yang diisi bunga setaman serta perlengkapan lainnya.
Di sebelah bak siraman telah disusun rapi tumpeng nasi putih yang ditutupi gudangan ( sayuran rebus ), kacang panjang yang masih utuh tanpa dipotong dan tujuh butir telur yang diletakkan di atasnya. Kacang panjang yang sengaja dibiarkan utuh memiliki arti agar keluarga panjang umur. Terlihat juga beberapa piring berisi racikan rujak, semangkok sayuran, ikan, buah-buahan ( jeruk dan pisang ), bulatan ketan warna putih, merah, hijau, coklat, kuning yang telah disusun rapi.
Acara dimulai dengan doa yang dipimpin seorang sesepuh wanita yang mendoakan agar si calon ibu bisa melalui persalinan dengan lancar serta anak lahir dengan selamat sehat jasmani dan rohani. Setelah doa selesai, upacara dimulai dengan proses siraman di mana calon ibu duduk di samping bak siraman berisi air yang diambil dari tujuh sumur/mata air.
Si calon ibu dimandikan oleh calon nenek, suami dan beberapa saksi yang hadir. Saksi yang dihadirkan biasanya adalah kerabat/tetangga dekat wanita yang sudah menimang cucu. Saat air di bak tersisa sedikit, terlihat cengkir ( kelapa muda ) bergambar wayang. Cengkir diambil dan digendong oleh calon nenek dengan selembar jarik yang masing-masing dikalungkan di pundak mereka sambil menunggu calon ibu menganti pakaiannya yang basah.
Proses selanjutnya, cengkir yang semula digendong oleh kedua calon nenek diteroboskan pelan-pelan ke dalam kain yang dipakai oleh calon ibu sambil diterima lagi di bawah yang bermakna agar bayi akan lahir normal dan lancar. Kedua cengkir bergambar wayang Kamajaya dan Kamaratih diserahkan ke calon ayah untuk dipilih salah satu kemudian dibelah dua sama rata. Maksud dari cengkir bergambar wayang yang dipilih calon ayah adalah menentukan jenis kelamin calon bayi yang tentu saja bukan suatu kesungguhan. Sedangkan arti cengkir yang dibelah dua sama rata adalah harapan supaya bayi lahir tanpa halangan.
Langkah selanjutnya adalah proses ganti pakaian. Calon ibu berdiri di tengah saksi yang hadir untuk dipakaikan jarik yang sudah disediakan. Total jarik yang telah disiapkan berjumlah tujuh sampai sebelas macam tergantung pemangku adat, dua diantaranya telah dipakai oleh calon nenek saat menggendong cengkir. Jarik/kain yang pada umumnya terdiri dari kain sidomukti, parang kusumo dan motif lain dikenakan bergantian satu-persatu oleh calon ibu sambil diiringi pertanyaan “Wes patut dereng?” ( Sudah pantas belum? ), dan dijawab oleh para saksi “Dereng patut…” ( Belum pantas ). Kain pertama dilepas lalu memakai kain kedua diiringi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Begitu dan seterusnya sampai calon ibu memakai kain terakhir ( biasanya lurik ).
Di kain terakhir pertanyaan “Wes patut?” kembali dilontarkan dan ibu-ibu yang hadir menjawab “Patut…suk yen wedhok ayu, yen lanang gantengg…” ( Sudah pantas… kelak kalau cewek cantik, kalau cowok ganteng ). Setelah calon ibu memakai jarik yang sudah patut, di perutnya dilingkarkan janur yang sudah disiapkan sebelumnya. Upacara selesai dan bancakan dikeluarkan dan dimakan ramai-ramai oleh kerabat dan tetangga yang hadir.
Note : Proses mitoni hanya dilakukan saat ibu mengandung anak pertama saja. Biasanya dilakukan sesuai kalender Jawa, Rabu Wage atau Sabtu Wage. Tatacara mitoni sendiri tidak terlalu mengikat, semua tergantung dari kesiapan keluarga penyelenggara. Selesai upacara tingkeban, masih ada upacara procotan yaitu prosesi menjelang kelahiran bayi dimana calon ibu makan jenang procot, jenang yang terbuat dari tepung beras yang kadang dilengkapi dengan jongkong ( sejenis makanan terbuat dari ketela pohon ), diberi pisang utuh dan disiram saus santan. Arti dari upacara procotan supaya kelak calon bayi mudah keluar dari janin si ibu.
Special thanks to mbak Nia dan mas Heri atas undangan upacara mitoni-nya serta informasi dan izinnya untuk bisa ditulis di blog :-)
seperti proses siraman kalau orang mau nikah ya
Btw, urapnya bikin ngiler *salahfokus
Seru prosesi nya…dan urap nya juga asli enak hehe… :-D
Kakakku yang nikah sama orang Jawa juga ikutan tradisi ini. Sayang aku gak lihat karena sekolah. Katanya sampe berjualan segala :)
Betul om ndut…banyak tatacara di mitoni tgt kesiapan keluarga aja :-)
Saya juga sudah jarang sekali lihat adat ini… tetapi memang sebenarnya ini juga tidak hanya ada di jawa, pesta nujuh bulanan juga ada di banyak daerah, namun memiliki tata pesta yang berbeda…
@slam kenal dari aku di http://faridwajdi.com
Betul kawan…mitoni sudah merupakan budaya dari Indonesia bukan dari pulau Jawa saja :-)
Salam kenal
ini jawa dimananya ya mas ? keren
Temen saya yang nyelenggarain upacara mitoni di rumahnya Solo aja :-)
sepertinya di solo dan jogja budayanya masih dipegang teguh banget ya :)
rupanya budaya tujuh bulanan dimana2 ada ya…
Masih banyak dilakukan di pulau Jawa terutama di Jawa Tengah dan Yogya :-)
ooo begitu, waktu di jogja, malah blm pernah lihat saya :D
wah budaya tujuh bulanannya masih dijalani ya.
Betul…masih ada lho tradisi ini hehe…
iya. walau dah mulai berkurang, tapi salut pada mereka yang masih memegang tradisi ini
kalau di tempat saya di jatim, tujuh bulanan hanya pengajian dan bancakan tanpa siraman. wadah bancakan di foto unyu sekali :3
Di Jawa Tengah & Yogya masih kuat pengaruh kratonnya jd bbrp masih bikin upacara mitoni seperti ini. :)
haiiy…mantab.
mas nopan:salamkenal..pengajian juga diadakansaat janin berusia 4 bula(120hari)
Nahh.. dijawab bu Nia sendiri :-D
Lucu, unik n keren ya, selamat Jenk Nia… Jd pengen pulg ke rmh biar dipitoni, hehehe
:-)
kalo di kami suku karo juga ada acara 7 bulanan ini bang.
kalo di kami namanya “besur-besuri”
besur itu artinya kenyang.
jadi emang iya, si ibu bakal disuguhi makanan berupa ayam yg sudah dimasak dan lainnya sampai kenyang :)
Wahh menarik dan baru tahu nih… Ternyata tiap daerah di Indonesia punya tradisi 7bulanan meski dengan tata cara upacara yang berbeda ya :-)
Iya bro :)
[…] http://jejak-bocahilang.com/2013/03/23/tingkeban-nujuh-bulanan/ […]