Memory of Jayapura

“Mam, aku mau merantau ke Jayapura!” kalimat yang membuat nyokap sedikit syok saat mendengarnya beberapa tahun silam.

Suka dan duka menjadi bumbu dari merantau. Dari merantau saya banyak bertemu teman baru, teman kantor baru, melihat keindahan alam Jayapura, sampai teman seperjalanan baru di akhir merantau. Bertemu seorang teman baru saja sudah cukup menghibur apalagi punya banyak kenalan baru yang tentu saja membuat hati menjadi lebih terbuka, pikiran lebih maju dalam memandang dunia dan berani keluar dari zona nyaman.

Namun ada kalanya rasa suntuk “bosan jadi pegawai” kembali melanda, kembali ke rutinitas yang masih terasa membosankan di lingkungan baru… Ada kalanya rindu suara teriakan khas nyokap… Ahh itukah rasanya penyakit bernama homesick?
Untuk menghilangkan rasa homesick dan kejenuhan yang campur aduk, setiap minggu pagi saya berkeliling melihat tempat baru di Jayapura. Tanpa teman sepikiran tidak menghalangi niat untuk melepaskan penat. Mulai berkeliling mencari pantai yang sudah banyak dikenal orang sampai pantai yang punya jalan belum beraspal seorang diri. ( Pantai Base G, Pantai Tablanusu, Pantai Amai, Pantai Holtekamp )

tower
tower

Dari banyak tempat indah di Jayapura, hanya satu tempat yang sampai sekarang masih berkesan di hati. Tempat itu berada di atas bukit. Tidaklah jauh mencapai bukit ini dari kota, hanya berjarak sekitar 10 km saja. Ide saya menuju tempat tersebut sempat ditentang oleh salah satu teman kantor saya. “Jangan naik motor ke sana, nanti motor kau dicuri oleh mereka.” nasihat dia kepada sayaOm Philemon yang merupakan penduduk asli Jayapura berkata bahwa kawasan tersebut rawan, penuh orang mabuk sepanjang hari, bahkan dia dengan jujur mengatakan dia tidak pernah berani naik ke sana.

Akhirnya dengan perasaan sedikit takut mendengar kebiasaan orang Papua yang memang tidak bisa ditebak kebaikannya, saya memutuskan naik transportasi umum dari pelabuhan. Hanya perlu naik taxi ( sebutan angkot di Jayapura ) jurusan Polimak, turun di pertigaan jalan menuju bukit kemudian melanjutkan perjalanan dengan ojek menuju Pemancar dengan membayar 5.000 untuk satu kali jalannya. Oleh penduduk sekitar, titik tertinggi bukit yang terletak tidak jauh dari kota ini disebut Pemancar.

road
road
2009
2009

Sampai di atas bukit terlihat bapak-bapak duduk di bangku sebuah gubug kecil dengan botol minuman keras kosong tergeletak di bawah bangku. Glek! Mereka menatap tajam ke arah saya, bermata sipit di atas bukit, datang seorang diri pula. Terdengar sangat berbahaya, tapi saya percaya ada keramahan di hati mereka asal kita tidak bicara ngaco dan tetap bertingkah laku sopan di hadapan mereka. Dan terbukti saya baik-baik saja selama jeprat-jepret di atas tulisan “JAYAPURA” yang besar layaknya tulisan “HOLLYWOOD”, bahkan ada seorang om yang mengajak ngobrol. Namun saya sadar bahwa efek mabuk mereka belum tentu hilang sepenuhnya, sehingga saya tidak bisa lama-lama di sana.

Tak terasa bosan menerawang jauh pemandangan indah kota Jayapura dari atas Pemancar. Gumpalan awan putih terlukis apik di langit biru, hamparan bukit hijau mengelilingi kota, serta warna biru pekat lautan samudera Pasifik yang membentang luas. Indah sekali, kawan. Rasa penat hilang seketika. Penyakit rindu kampung yang menghantui perasaan perlahan sirna.

Namun di hati ini masih ada secuil perasaan yang menganjal.
Mungkin sudah saatnya saya mengakhiri pelarian ini dan kembali ke rumah, pulang…

view Jayapura dari Pemancar
view Jayapura dari Pemancar

Note : Rasa jenuh, bosan, terikat, itu beberapa alasan dari sebuah pelarian. Merantau adalah wujud pelarian saya, mencoba kabur dari kenyataan hidup yang ada. Seiring berjalannya waktu, merantau di ujung timur Indonesia dengan iming-iming gaji lebih besar, pemandangan indah di setiap sudut tetap tidak bisa membuat saya betah, rasa jenuh tetap melanda, rutinitas kerja yang membosankan kembali dijalani, masih belum menemukan “rumah baru” sampai akhirnya saya memutuskan kembali ke kota kelahiran… Namun hasil akhir dari merantau adalah sebuah perjalanan panjang yang hanya bisa terjadi sekali dalam hidup.

Salah satu foto di atas merupakan wujud partisipasi keikutsertaan Turnamen Foto Perjalanan Ronde 16 : Pelarian –> http://blogtotrip.wordpress.com/2013/03/05/turnamen-foto-perjalanan-ronde-16/

29 comments

  1. Jayapura indahnyaaaaa…tapi jauh sekali ya..hehe

    itulah ciptaan Tuhan yang menciptakan alam yang begitu indahnya :)

    Like

    • Nggak semua orang sih tergantung situasi dan kondisi mood mereka, hahaha…
      Yang paling penting tidak keluar terlalu larut di malam hari terutama Sabtu malam ( puncak mabuk ) :-D

      Like

  2. Buju buset, sangat menakjubkan JAYAPURA. Semoga Halim Santoso selalu Jaya di timur Indonesia TERCINTA. Jujur saya aja masih menyimpan mimpi tuk mendarat di tanah papua. tapi kapan ya?

    Like

  3. aman kok dhek di situ, malahan pas pertama kali aku ke “jayapura city” itu aku bareng temen-temen datang tengah malam :D iseng banget emang. Kalo hari-hari kan paling yang ada di situ orang-orang pacaran, sama orang yang nekat lari-lari sore sampe puncak. emang sih ada orang mabuk, tapi kalo lagi rame ya aman-aman aja. *sigh* jd kangen jayapura…

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

Gravatar
WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out / Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out / Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out / Change )

Google+ photo

You are commenting using your Google+ account. Log Out / Change )

Connecting to %s