Kebun binatang sudah menjadi tempat piknik wajib saat masih kecil, namun seiring dengan bertambahnya umur, kebun binatang sudah tidak terasa menarik lagi bagi saya. Sering miris saat melihat kondisi kebun binatang sekarang yang semakin tidak terawat di berbagai tempat di Jawa seperti Kebun Binatang Jurug di Solo yang kotor dan semakin tidak lengkap koleksi satwanya, Gembiraloka di Yogyakarta yang monoton tidak ada perkembangan, Kebun Binatang Surabaya yang sempat bikin heboh beberapa tahun lalu akibat banyaknya angka kematian satwa di sana.
Dewasa ini hanya Batu Secret Zoo di Batu, Malang saja yang menurut saya adalah kebun binatang yang bersih, punya koleksi satwa lengkap dan lebih mengedukasi anak-anak. Namun anggapan itu sedikit saya tepis saat melihat secara langsung dan memberanikan diri masuk ke sebuah Kebun Binatang di Jakarta. Saya yang tidak suka dengan segala aspek macet, jorok, mawut, mahal-nya kota Jakarta menjadi sedikit ( baca : sedikit lhoh ) luluh saat menyaksikan satwa-satwa di sana dengan mata kepala sendiri.
Cerita berawal dari sebuah liputan majalah Tamasya yang menuliskan bahwa Indonesia punya Pusat Primata terbesar di dunia yang punya luas 13 Ha dan terletak di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta. Wow banget kan? Penasaran yang semakin memuncak disertai sedikit bahan dari googling dan penjelasan singkat wikipedia, akhirnya saya menyempatkan diri melipir sebentar menuju Kebun Binatang Ragunan sepulang dari Kepulauan Seribu.
Kebun Binatang Ragunan yang pernah jadi kebun binatang terbesar se-Asia Tenggara ini memiliki area yang cukup luas dengan letak kandang yang berjauhan satu sama lain sehingga membuat sedikit ngos-ngosan saat memutari nyaris seluruh area. Koleksi satwa di sini bisa dibilang lumayan lengkap seperti gajah, jerapah, zebra, pelikan, serta satwa-satwa lainnya. Namun harga tiket 4.000 rupiah untuk masuk kebun binatang ini terbilang tidak cukup maksimal dengan fasilitas umum toilet yang agak jorok plus kudu bayar lagi, sampah yang sering tidak pada tempatnya, ahh iya ini kan Jakarta #senyumsinis. Aksi lucu nan imut para satwa membuat saya sadar kembali bahwa saya sedang berlibur bukan jadi tukang kritik tempat jorok!
Untuk menuju Pusat Primata Schmutzer cukup perhatikan petunjuk arah yang bertuliskan “Gorilla/PPS” yang terdapat di beberapa persimpangan jalan. Sesampainya di pintu masuk Schmutzer ternyata harus merogoh kantong lagi untuk membayar tiket masuk sebesar 6.000 per orang ( weekend 7.000 ). Agak aneh juga karena sepengetahuan saya, tempat konservasi ini sudah menjadi milik Ragunan sepenuhnya per tahun 2006, bukan milik The Gibbon Foundation lagi. Hmm… Positif thinking-nya biaya ini dipergunakan untuk dana tambahan bagi kelangsungan hidup para primata di dalam aja.
Menurut informasi, sosok Pauline Antoinette Schmutzer-versteegh ( 1924-1998 ) adalah seorang wanita berdarah Belanda yang merupakan seorang pelukis, pecinta hewan dan dermawan yang sekaligus perintis dibangunnya Pusat Primata Schmutzer. Beliau mewariskan seluruh hartanya kepada The Gibbon Foundation yang diketuai Willie Smits untuk dibuat sebuah fasilitas terbaru bagi para primata di Kebun Binatang Ragunan yang dibangun sejak tahun 1999 dan diresmikan pada tanggal 20 Agustus 2002. Mulia banget ya hatinya…
Kesan sedikit dongkol karena membayar tiket masuk untuk kedua kali tiba-tiba hilang setelah melihat arsitektur bangunan konservasi yang menurut saya sangat WOW bagi ukuran bangsa Indonesia. Langkah pertama langsung disambut oleh patung primata yang sedang mengendong anaknya dengan sebuah lukisan sosok perintis Pusat Primata Schmutzer, Pauline Schmutzer di bawahnya. Melangkah ke gerbang yang berbentuk setengah lingkaran seperti keong menemukan tangga naik yang di kanan-kiri terdapat kandang berlapis kaca tebal yang ternyata diisi oleh beberapa macam sosok primata ( maaf saya lupa jenisnya ) yang bergelantungan sembari mengikuti langkah kaki. Suara nyaring mereka tidak berhenti di tangga saja, begitu sampai di atas suasana terowongan memanjang yang beratapkan langit-langit transparan lebih banyak terdengar suara bersahut-sahutan primata lain. Terowongan cukup panjang dengan banyak belokan yang membawa kita menuju kandang primata yang berbeda. Tempat penangkaran primata di sini tidak seperti penangkaran di film The Rise of Planet of The Apes yang dibintang James Franco dimana tempatnya diisi banyak macam primata dan diletakkan di sebuah kebun besar yang lantainya terbuat dari semen, batang kayunya tidak asli, daun yang mungkin juga palsu.
Tepat di bawah terowongan tempat pengunjung berjalan terdapat kebun luas yang menjadi rumah bagi primata bertubuh besar seperti Gorilla Afrika, Orang Utan dari Sumatra dan Kalimantan. Mereka leluasa berjalan, berlari, bergelantungan sampai guling-guling karena luasnya lahan tempat mereka tinggal di Schmutzer. Kebun tersebut ditumbuhi pepohonan rindang dan beragam tumbuhan hijau yang membuat mereka merasa seolah-olah tinggal di habitat asli mereka. Untuk primata bertubuh kecil seperti Gibbon, Siamang, Surili ( sejenis Siamang ), Simpanse, Bekatan dan banyak jenis primata lain diberikan rumah berupa kebun kecil yang dilingkari pembatas berupa kawat. Suara mereka nyaring sekali, ougghh..oughh…kiikk…kiikk… dan intonasi suara lain yang susah saya sebutkan satu persatu membuat terowongan serasa seperti tempat konser sebuah Nyanyian Alam yang merdu :-D.
Dilarang membawa makanan dan minuman di sini, apabila haus bisa langsung minum di keran air yang tersebar di sepanjang jalan setapak mengelilingi Schmutzer. Setahu saya fasilitas keran air siap minum hanya ada di negeri tetangga seperti Malaysia dan Singapore, ternyata di sini sudah menyediakan fasilitas canggih seperti itu. Canggih ya?
Namun kecanggihan ini sedikit terusak oleh pemandangan dinding kaca yang beberapanya sudah retak, padahal kaca tersebut merupakan pembatas di gardu pandang khusus bagi para pengunjung supaya bisa melihat kehidupan primata lebih dekat. Berharap semoga tidak ada Gorilla yang mendadak marah dan menabrak dinding kaca tersebut saja. Beberapa fasilitas umum juga terlihat kurang terawat seperti toilet yang tidak berlampu, pintu toilet yang nyaris tidak bisa ditutup.
Hanya bisa berandai alangkah lebih terawatnya apabila manajemen Schmutzer ini masih dipegang kendali oleh The Gibbon Foundation #senyum.
sudah lama banget gak ke schmutzer, semenjak pengurusan berpindah tangan dari Gibbon foundation ke pemda. jauh deh kualitasnya ;)
LikeLike
Iya….penonton kecewa judulnya… :-(
Semoga pemda segera sadar bahwa ini aset wisata penting bagi kota Jakarta.
LikeLike
wahh.. keren yah, smoga para pengelola kebun binatang lain di Indonesia bisa memperbaikinya. Karena selain bisa berwisata, juga bisa mengedukasi
salam :D
LikeLike
Pusat Primata Schmutzer memiliki koleksi primata yang terbilang lengkap se-Indonesia.
Ya..semoga pihak berwajib bisa segera mengambil tindakan agar Schmutzer tidak seperti kebun binatang lain di Jawa :-)
LikeLike
wooo, di jakarta ada yang kayak gini juga yak? baru tau euy hahaa, harusnya kesini pas dijakarta kemaren. waktu itu bingung mau kemana -,-
LikeLike
nah…bagi yang anti-mall bisa melipir ke sini sebagai alternatif pengganti :-)
LikeLike
maaf, sampai June sekarang harganya masih tetep Rp. 7000 kah ..? dan 4000 untuk Kebun binatangnya sendiri, trims
LikeLike
Harga udate yg tertera di atas adalah harga tahun lalu.
LikeLike
Harga masuknya per tanggal 30 Maret 2014 Rp. 7.500,-
LikeLike
Terima kasih untuk info updatenya pak Mahmur :-)
LikeLike
sama sama pa.
LikeLike
Aku pertama kali kesini pas SMA, dan itu masih kereeeeeeen banget loh, semuanya masih baru dan fasilitasnya masih super OK, dan terakhir kesini kok terlihat jadi seperti kurang terawat yah :(( sayang banget
LikeLike
Sayang banget ya… padahal bangunan Schmutzer udah termasuk canggih di Indonesia dengan memikirkan penyediaan drinking water tersebar di area bangunan.
LikeLike