Berlibur rame-rame dengan banyak teman ke suatu tempat naik sebuah mobil itu sudah biasa, kalau rame-rame nya naik sepeda motor? Itu baru luar biasa asyik. Banyak orang menyebut kegiatan tersebut sebagai touring.
Suatu hari saya mengutarakan niat saya ke teman-teman (ex)kantor untuk jalan ke Pacitan naik sepeda motor. Tapi sayang sekali penuh penolakan dengan bermacam alasan mulai dari takut kepanasan di jalan lah, takut nyasar lah, takut kulit hitam jadi tambah gosong lah, dan banyak alasan lain lagi… Sampai akhirnya ada salah satu teman kantor saya yang tidak takut hitam mempunyai rencana mengajak beberapa teman dekatnya yang lain (yang tidak takut hitam juga) menuju ke Pacitan. Ada apa di Pacitan? Salah satu yang terkenal disana tentu saja pantai yang masih bersih, termasuk yang saya ceritakan singkat di artikel Pantai Klayar sebelumnya.
Setelah semua peserta menyatakan kata “Siap berangkat.”, saya dan Nur segera menyusun tanggal dan rencana menuju Pacitan dengan naik sepeda motor. Seminggu kemudian, kami memutuskan untuk berangkat. Saya dari Solo sendirian menuju ke rumah Nur di Sukoharjo yang sekaligus menjadi tempat berkumpul teman yang lain. Untuk menuju Pacitan, dari kota Solo mau tidak mau memang harus melewati kota Sukoharjo dulu kemudian Wonogiri barulah ketemu kota Pacitan. Setelah menunggu beberapa lama, dua kawan Nur datang dan mengenalkan diri mereka dengan nama Asih dan Suci. Kemudian menyusul kedatangan kawan yang lain bernama Tri beserta pacarnya yang bernama Purwanti.
Setelah menyantap sedikit jajanan pasar yang disiapkan oleh ibu nya Nur, kami segera berangkat dengan total 3 sepeda motor menuju ke Wonogiri. Di sana kami berhenti di rumah kawan-kawan Asih yang akan bergabung dengan kami menuju Pacitan. Salah satu dari kawan Asih ini tahu jalan menuju pantai. Kawan tambahan itu berjumlah enam orang dengan membawa 3 sepeda motor. Total 12 orang dengan 6 sepeda motor langsung tancap gas menuju ke Pacitan. Saya yang saat itu masih amatir dalam naik sepeda motor ke luar kota hanya bisa duduk manis mbonceng Nur. Kendaraan melaju dengan kecepatan minimal 60km/jam melewati pemandangan waduk Gajahmungkur yang terletak di wilayah kabupaten Wonogiri.
Tak terasa rombongan sepeda motor ini sudah berjalan selama 2 jam dan sesampainya di Pacitan, kami memutuskan beristirahat sebentar sambil meregangkan punggung yang kaku sebelum melanjutkan perjalanan ke Pantai Klayar. Di pos pemberhentian ini kami berenam memutuskan mengikuti salah satu kawan Asih yang berasal dari Wonogiri tadi. Dia kami tunjuk sebagai pemimpin jalan menuju pantai. Maklum di Pacitan masih belum terdapat petunjuk arah tempat wisata yang jelas, sehingga membutuhkan orang yang tahu jalan agar tidak tersesat. Karena banyaknya rombongan kendaraan, ada kalanya kami tidak bersamaan terus. Jalan menuju kawasan pantai sangatlah berliku dan tidak adanya petunjuk jalan membuat beberapa dari kami salah jalan. Sering kali salah satu dari rombongan hilang di tengah jalan. Langkah yang dilakukan tentu saja menunggu sampai mereka menampakkan diri. Kendaraan kami kendarai dengan penuh konsentrasi dan extra hati-hati karena melewati jalan perbukitan yang berkelok-kelok,dan beberapa tanjakan curam naik turun bukit.
Memasuki jalan kecil desa-desa menuju kawasan Pantai Klayar saya banyak melihat papan yang bertuliskan seperti ini, “Jaga kebersihan dengan membuang kotoran pada tempatnya”, “Dilarang buang air besar di sembarang tempat”, “Buanglah air besar di Jamban” dan tulisan lain bernada sama di sepanjang jalan. Apa yang menyebabkan papan ini ditempel di desa-desa di Pacitan ya? Ohh rupanya masyarakat disini dulunya masih memiliki kebiasaan buang air besar di sembarang tempat yang tentu saja tidak bagus untuk kesehatan mereka karena bisa menyebabkan banyak penyakit. Kebiasaan buruk ini dahulunya dipicu oleh kelangkaan air di berbagai pelosok desa dan tidak terdapatnya banyak sarana MCK. Setelah ada pengarahan dari pihak berwajib, sekarang terlihat pipa-pipa untuk menyalurkan air ke berbagai pelosok desa di sepanjang jalan. Semoga saja mereka sudah sadar akan arti kebersihan dan kesehatan setelah adanya saluran pipa tersebut.
Setelah berulang kali melewati tanjakan curam, akhirnya terlihat garis cakrawala laut selatan dari kejauhan. “Akhirnya sampai juga.” kata saya ke arah Nur. Senyum senang semakin mengembang saat terlihat garis pantai yang kami lihat dari kejauhan. Tapi senyum tiba-tiba lenyap saat kendaraan akan melewati tanjakan turun menuju pantai. Turunan tersebut sangat sempit dan curam sekali, hanya tersusun dari batu kerikil besar dan tersebar banyak bongkahan batu besar. Membuat kami mengemudikan motor dengan sangat hati-hati agar tidak terjatuh (Kondisi sekarang,turunan curam menuju pantai sudah diaspal halus oleh pihak berwajib, jadi mobil sedan mahalpun tidak perlu khawatir lewat jalan ini). Sesampainya di area parkir sepeda motor, kami langsung meluruskan punggung dan menghirup udara segar di Pantai Klayar ini. Mari berenang! Sayangnya ombak pantai selatan saat itu sangat besar, sehingga kami hanya main air di pinggir pantai saja.
Jangan sekali-kali menantang ombak laut selatan, termasuk tidak percaya akan mitos laut selatan seperti yang dialami Nur. Kejadiannya seperti ini, saat kami selesai bermain air kami mencoba naik ke batu karang besar yang terletak di sebelah kanan pantai yang terlihat menarik saat dilihat dari kejauhan. Saat saya, Nur, Asih dan Suci menaiki karang tersebut, ombak masih terlihat tenang. Sambil narsis foto diantara karang, kami mencoba melihat lebih dekat ke sebuah lubang yang terlihat keren saat ombak menerpanya. Hempasan itu menarik buat background foto nih, batin saya. Ide itu diterima yang lain. Mereka berpose, saya yang menjadi fotografernya. Saat ombak akan datang, saya bersiap memencet tombol kamera pocket. Tapi saat dilihat dari kejauhan ombak yang kami kira biasa-biasa saja kok jadi terlihat besar sekali ya? Betul saja…saat ombak menabrak di sela karang, air yang dihempaskan sangat besar sekali, sampai-sampai kami sudah terlanjur basah kuyup sebelum sempat lari menuju dinding karang. Badan yang basah kuyup membuat kami lupa sejenak akan keadaan kawan lain selain diri sendiri. “Loh, Nur dimana?” tanya saya ke Asih. Saat menoleh belakang terlihat Nur yang rupanya terjatuh akibat hempasan ombak tadi. Dan fatalnya ombak besar akan datang lagi dan Nur masih belum berdiri dari posisinya. Gawat! Kami segera menarik Nur dari posisi yang nyaris membuat dia hampir tercebur di laut menuju ke dinding karang yang bebas dari ombak. Selain basah kuyup juga membuat beberapa dari kami tergores karang tajam.
Merasa kapok dengan kejadian itu, kami segera turun dari karang tersebut dan menuju sisi pantai yang lain. Sisi kiri pantai menyuguhkan pemandangan yang sangat indah sekali. Karang halus yang terbentuk alami membuat bentuk seperti patung Sphinx di Mesir. Ombak yang besar tentu saja membuat pinggir karang Sphinx selalu basah terkena ombak dan membuatnya berstatus “Dilarang Naik”. Karang ini sebenarnya dilarang dinaiki karena rawan ombak besar, tapi beberapa pengunjung banyak yang nekad naik. Beberapa pengunjung penasaran dengan air mancur awet muda yang disemburkan oleh lubang batu di samping karang berbentuk Sphinx ini. Pengunjung yang nekad naik tanpa dikawal oleh penjaga pantai dan tidak memperhitungkan resiko terkena hempasan ombak besar bisa beresiko fatal yaitu terseret ombak, tercebur di laut dan tak terselamatkan. Karena rawannya kecelakaan semacam itu di saat musim ombak besar, kawasan ini dijaga seorang bapak tua penjaga pantai. Sesekali dia memperingatkan orang yang nekad naik ke karang tersebut. Termasuk saat kami menaiki karang sisi kiri tadi, ternyata si bapak juga meneriaki kami agar kami segera turun yang sayangnya tidak kami dengar saat itu.
Kejadian Nur hampir tercebur rupanya terlihat dari warung kecil pinggir pantai tempat kami makan siang. Ibu penjaga warung bercerita sedikit tentang bahaya ombak di Pantai Klayar ini yang dipicu mitos pantai Ratu Laut Selatan dan penguhi laut selatan lainnya. Hampir setiap tahun banyak korban meninggal akibat ombak di pantai ini, semacam mencari korban gitu. Beberapa pengunjung yang tercebur ke laut seringkali tidak bisa diselamatkan oleh tim SAR ataupun penduduk lokal. Ombak besar dan laut yang dalam membuat tim SAR sulit untuk menyelamatkan mereka yang sudah berada di laut. Hiii… Percaya nggak Percaya yah. Saat si ibu bercerita tentang kecelakaan yang terjadi, saya langsung melirik ke baju Nur yang ternyata bewarna hijau tua! Pantes aja cuma Nur yang hampir terseret ombak, padahal saat itu posisi Asih dan Suci yang disampingnya aja tidak sampai terjatuh. Himbauan sebaiknya dihindari memakai baju bewarna hijau ataupun biru selama menginjakkan kaki di pantai pesisir selatan Pulau Jawa kadang ada benarnya juga, sekali lagi ‘Percaya Tidak Percaya’!
Puas dengan pemandangan pantai, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat yang menarik lainnya. Kota Pacitan selain terkenal dengan keindahan pantai nya juga terkenal dengan Goa nya. Karena banyaknya Goa yang tersebar di pegunungan sekeliling Pacitan, maka kota ini mendapat sebutan sebagai “Kota Seribu Goa”. Pegunungan di Pacitan banyak terdapat kandungan batu mineral, terutama di Goa-Goa. Kondisi alam ini membuat banyak penduduk lokal yang alih profesi dari nelayan ataupun petani menjadi penambang batu mulia. Setelah berjalan setengah jam dari pantai, kami tiba di Goa Gong, salah satu Goa terkenal di Pacitan. Di sepanjang jalan menuju Goa Gong banyak terdapat toko yang menjual batu akik yang sudah menjadi oleh-oleh wajib bagi wisatawan saat berkunjung di Pacitan. Harga yang ditawarkan beragam, tergantung pandainya menawar saja.
Pertama kali melihat Goa ini saya masih kelas tiga SD dimana kondisi Goa hanya terdapat anak tangga seadanya, setiap masuk Goa diwajibkan membawa senter, lampu penerangan di dalam saat itu terkesan seadanya. Namun sekarang Goa Gong yang diklaim sebagai goa terindah di Asia Tenggara ini sudah berubah drastis. Goa yang terletak di desa Bomo ini memiliki stalagtit dan stalagmit yang masih terjaga keutuhannya, sehingga pemandangan di sini tidak kalah menarik dengan luar negeri tertutama negeri China. Mulut Goa sudah dipasang pintu terbuat dari besi yang membuat orang tidak bisa sembarang masuk saat loaksi wisata sudah tutup. Hanya dengan membayar tiket sebesar 4.000 rupiah, kami bisa melihat pemandangan yang sangat fantastik. Meskipun suasana di dalam terasa penggap, setelah sampai di perut Goa udara terasa agak sejuk akibat dari kipas angin besar yang diletakkan di setiap sudut Goa sehingga pengunjung tidak merasa gerah di dalam. Anak tangga sudah dibuat lebih bagus dari beberapa tahun silam, membuat para pengunjung bisa lebih leluasa masuk ke ujung-ujung Goa. Pemasangan lampu yang beraneka ragam warna membuat stalagtit dan stalagmit tidak hanya terlihat berwarna putih gading saja, tetapi juga bewarna merah, kuning, hijau, dan biru akibat pancaran dari lampu-lampu yang membuat ornamen goa terlihat lebih eksotik.
Kenapa dinamakan Goa Gong? Apakah ada Gong di dalam Goa? Dahulunya ornamen tertentu di dalam Goa bisa berbunyi seperti Gong saat diketuk dengan tangan. Namun sekarang sudah tidak berbunyi lagi saat pengunjung mengetuknya. Entah karena kondisi alam atau kondisi lain, hanya Goa Gong yang bisa menjawab :D. Meskipun penjagaan sudah tergolong ketat, namun masih terlihat tangan jahil yang ‘berhasil’ merusak kealamian Goa, seperti misalnya terlihat patahan stalagmit yang disengaja, coretan di beberapa dinding Goa. Sayang sekali ya kesadaran pengunjung terhadap kekayaan alam ini masih kurang, tidak tahukah stalagtit dan stalagmit ini butuh berapa ratus tahun untuk bisa terbentuk seperti ini?
Sebenarnya masih banyak Goa lain selain Goa Gong di Pacitan, seperti misalnya Goa Putri, Goa Tabuhan dan Goa kecil lain yang bisa dikunjungi. Namun saat itu matahari sudah hampir tenggelam dan kami bergegas keluar dari Pacitan agar tidak terlalu malam sampai di rumah masing-masing. Saat keluar dari kawasan Goa Gong, saya dengan rasa percaya diri mencoba mengantikan posisi Nur yang semula bertugas sebagai pengemudi. Keamatiran dalam membawa sepeda motor membuat saya terlihat canggung di awal perjalanan, dan lebih canggung lagi saat saya hampir terseol jatuh di tengah jalan. Trik berjalan di tanjakan rupanya masih belum bisa saya kuasai, sehingga membuat saya tidak bisa menyetir dengan baik. Dan seperti yang diduga, di tengah jalan saya terjatuh dengan posisi menahan kendaraan yang miring, dan Nur hampir terjepit di belakang. Untung aja ada Tri dan pacarnya yang masih membuntuti pelan sedari awal. Akhirnya dibantu berdiri oleh mereka dan saya menyerahkan jabatan pengemudi kembali ke Nur. Aduh jadi malu, niatnya mau gantian malah hampir kena musibah. Akhirnya sambil menahan malu, saya kembali duduk manis di posisi belakang…
Note: Di touring berikutnya saya menjadi ketagihan menjelajahi semua pantai di Jogjakarta dan sekitarnya dengan menggunakan sepeda motor sendirian. Akibat banyak latihan, sekarang saya sudah mahir berkendara menaiki tanjakan.
Touring sebenarnya lebih mengacu kepada kekompakan masing-masing peserta dengan cara mengintip ke depan dan belakang kendaraan masing-masing, apakah terlihat kendaraan kawan yang lain, bukan perasaan egois yang memikirkan pikiran “sampai ditujuan dengan selamat sendirian”. Grup touring Pacitan inilah yang saya nilai punya semangat tolong-menolong satu sama lain, dengan tindakan menunggu teman yang tersesat, menunggu teman di belokan tajam memasuki desa, sehingga kendaraan lain bisa dengan enak membuntuti yang lain tanpa tertinggal jauh.
Banyak adu pendapat teman lain sering saya jumpai di touring berikutnya. Memang ada kalanya keegoisan manusia muncul secara tidak sadar, termasuk emosi yang tidak terkontrol saat menunggu teman yang dinilai lambat berjalan dan sebagainya. Tapi itu semua kembali dari kesadaran masing-masing anggota. Niatnya mau dolan atau bermusuhan sih? :)
kenangan tak terlupakan………
beautiful places , that i ever seen…….
ayuk siapkan tanggal, mari lanjutkan jelajah pantai lain :)
masih sepi yah pantainya…pasir pantai nya putih bgt
Pantai di daerah Pacitan belum sepopuler pantai di Gn Kidul Yogjakarta, jd beberapa masih sepi di hari weekend biasa (bukan musim liburan).