Lebih nyaman menyebutnya Pink Beach daripada Pantai Merah yang terkesan ‘maksa’ saat saya menginjakkan kaki di pantai ini tahun 2009 lalu. Pink Beach terletak tidak jauh dari Loh Liang, Pulau Komodo yang bisa ditempuh selama setengah jam saja dengan perahu klotok. Dari kejauhan terlihat seperti hamparan pantai-pantai yang ada di kepulauan Komodo, yang membedakan pantai ini dengan lainnya adalah warna pasir pantai ini terlihat lebih ngejreng saat dilihat dari kejauhan.
Tidak semudah yang dibayangkan untuk mencapai pantai ini. Perahu klotok kami terlalu besar untuk mendarat di tepi pantai, sehingga saya, Andrew dan Matt terpaksa harus berenang dulu baru bisa mendaratkan kaki di pantai tersebut. Jarak yang diijinkan untuk meletakkan jangkar kapal adalah sejauh sekitar 30 meter atau di area bebas terumbu karang. Peraturan tersebut dibuat agar terumbu karang di pinggir pantai terjaga, tidak rusak oleh jangkar-jangkar yang diletakkan oleh kapal-kapal besar. Hanya kapal sampan atau kapal boat kecil yang boleh menepi di pantai ini. Jangan pesimis dulu tidak yakin bisa berenang sejauh 30 meter lebih, buktinya saya yang memakai life jacket untuk menuju pantai tersebut fine saja. Pertamanya malu juga hanya saya seorang yang memakai life jacket untuk snorkeling, sedangkan semua turis asing disini dengan berani berenang tanpa life jacket. Tak apalah memakai life jacket demi keamanan berenang di kedalaman air 5 meter an ini. Dibuang dulu rasa malu tersebut demi melihat keeksotic-an Pink Beach :).
Dengan memakai life jacket dan alat snorkel serta membawa toples (baca: tabung kosong tempat kerupuk, bukan topless) berisi kamera non waterproof saya mulai berenang menuju Pink Beach. Saat turun dari kapal dan mulai melihat ke bawah laut, saya benar-benar menemukan sebuah surga. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata apa yang saya lihat di bawah laut, benar-benar seperti mimpi bisa melihat surga bawah laut ini. Beda dengan pemandangan di Pulau Kambing yang saya ceritakan di Hotel Banyak Bintang di Pulau Kalong. Di Pulau Kambing memang terdapat banyak ratusan ikan yang bersembunyi di karang-karang, tapi di Pink Beach saya bisa melihat ribuan atau mungkin jutaan ikan dari yang kecil sampai besar asyik berenang diantara terumbu karang yang beraneka ragam warna dan bentuk. Sungguh seperti menonton film Finding Nemo, dimana para ikan yang menurut bayangan saya mereka menjalankan kegiatan seperti manusia, ada yang shopping, nyalon, sekolah, atau bahkan kerja kantoran, hehe…. Andai kamera saya waterproof, gambar kegiatan para ikan pasti sudah memenuhi memorycard kamera.
Tidak salah bila Pink Beach merupakan tempat favorit bagi turis, terutama para diver untuk menikmati salah satu surga bawah laut di kepulauan Komodo. Berenang melihat surga bawah laut ini membuat saya hampir lupa akan keberadaan Pink Beach. Selesai menikmati ribuan terumbu karang, segera saya berenang menepi di pantai yang memiliki pasir terlembut yang pernah saya sentuh. Berpasir halus, berwarna pink, bersih, angin laut yang semilir, inilah surga versi Pink Beach. Dari mana warna pink pantai ini berasal? Warna pink tersebut ternyata merupakan campuran pasir lembut berwarna putih dan pecahan karang berwarna merah yang terdapat di bawah laut Pink Beach. Setelah puas berenang kesana kemari mengejar ikan selama satu jam lebih, saya pun berenang kembali ke kapal dengan memegang toples erat-erat agar kamera saya tidak nyemplung ke air. Saat tiba di atas kapal, ternyata Andrew dan Matt sudah menunggu saya dari tadi. Mereka meminta bantuan saya untuk memotret mereka yang akan meloncat dari atap kapal terjun ke laut. What? Kira-kira setinggi 3 meter jarak antara atap kapal dengan air laut dan di bawah kapal terdapat banyak bulu babi. Memang bulu babi terletak di kedalaman 4meter an, tapi tidak mustahil juga kaki bisa terkena durinya. 1…2…3…Jump! Itu aba-aba mereka, dan saya segera memencet tombol kamera mereka. “Perfect!” kata Andrew setelah melihat hasilnya.
“Next, you follow me to jump, Halim and i take your picture too.” sahut Matt. Haa?? Saya yang ngeri karena belum pernah meloncat setinggi itu pun entah terhipnotis oleh apa, mungkin penasaran akan rasa asyiknya melihat wajah bahagia mereka meloncat ke air atau rasa bangga jika saya memiliki foto loncat extreme tersebut, yang jelas dalam hitungan ke 3 saya sudah berada di air. Wuaaahhh….segar sekali dan plong karena mengalahkan rasa takut yang semula menghantui pikiran. Setelah naik keatas kapal untuk melihat hasil foto, si Matt mengatakan bahwa gambarnya tidak berhasil ditangkap, dan menawarkan saya untuk loncat lagi. Tapi karena sudah terlalu capek snorkeling dan perut lapar, saya mengatakan tidak ke mereka. Saat makan siang hanya bisa sedih melihat foto gagal tersebut, tapi sudahlah yang penting saya bangga sudah mengalahkan rasa takut untuk terjun. :-)
Note: “Take only photos, leave only bubbles”, itu kalimat terakhir yang tertulis di papan snorkelling guidelines di pinggir pantai yang seharusnya wajib ditaati para turis agar terumbu karang disini tetap terjaga, agar bisa dinikmati anak, cucu, buyut, cicit kita kelak. Sekali lagi saya sempat miris melihat iklan New7Wonders yang gencar dipromosikan MenBudPar tahun 2011 kemarin. Tidak ada untungnya mengikuti sayembara tidak masuk akal tersebut, hanya kerugian yang akan kita terima saat menyadari alam bawah laut Komodo sudah hancur perlahan-lahan karena lonjakan terlalu banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang memenuhi perairan Komodo. Semoga keindahan surga bawah laut Komodo masih bisa bertahan selamanya.
bagus banget mas.. next next time harus kesana, haha
Pasti bisa :-)
saya mau ijin share jg ya pngalaman saya di pulau komodo http://phenktraveller.wordpress.com/