Mata mulai terbuka perlahan-lahan saat langit sudah berubah warna menjadi jingga kebiruan dilihat dari luar perahu. Sejauh mata mamandang, saya hanya melihat perairan luas yang dikelilingi pulau-pulau. Sesaat saya sadar, saya masih berada di atas perahu klotok yang kemarin malam berhenti di tepi Pulau Kalong.
Sunyi sekali suasana pagi itu, hanya terdengar hempasan air laut yang menghantam pelan perahu. Matahari mulai mengintip perlahan dari ufuk timur yang membuat Andrew dan Matt, kawan baru saya yang sama-sama mengikuti tur keliling kepulauan Komodo ikut terbangun. Pukul 7 pagi, mas ABK sudah menyiapkan kopi dan teh bagi kami, serta nasi goreng seafood yang enak sekali. Untung saja kawan bule saya tidak pilih-pilih makanan, mereka dengan lahap bisa makan pagi hanya dengan sepiring nasi goreng tanpa ada permintaan neko-neko, bahkan pak Nahkoda pun memuji mereka adalah penumpang yang tidak rewel. Selesai makan pagi, perahu bergerak menuju ke pulau yang konon wajib dikunjungi bila mengaku sudah pernah ke kepulauan Komodo, yaitu Pulau Komodo. Dari Pulau Kalong bisa ditempuh sekitar satu jam saja menuju ke Pulau Komodo dengan perahu klotok ini. Di tengah perjalanan menuju Pulau Komodo terlihat sebuah pemukiman penduduk di pesisir pantai yang terdapat puluhan rumah-rumah kayu berjajar rapi, ternyata itu adalah Kampung Komodo, asal dari penduduk asli kepulauan Komodo yang beberapa nya saya lihat di Pulau Kalong sore hari yang lalu. Kampung Komodo merupakan tempat singgah bagi kapal-kapal sewaan bilamana terjadi kerusakan mesin kapal seperti yang dialami kapal lain di belakang kapal saya, selain sebagai bengkel di tengah lautan, tempat ini juga bisa disinggahi para turis untuk membeli langsung kerajinan tangan asli penduduk Bajo.
Masih pukul 8 pagi tetapi kondisi dermaga di Pulau Komodo atau disebut Loh Liang sudah dipenuhi banyak perahu klotok. Sebelum memasuki loket masuk, saya sudah disambut oleh dinding yang terbuat dari batu kapur bertuliskan “KOMODO – NATIONAL PARK – WORLD HERITAGE SITE” yang terlihat megah selain sebuah prasasti dari batu marmer bertandatangankan mantan Presiden SOEHARTO yang terletak di belakang papan batu tersebut. Saat memasuki ruang loket, banyak yang melakukan pembayaran biaya konservasi di sini, sehingga loket terlihat ramai sekali. Kami yang sudah membeli tiket konservasi di Loh Buaya, Pulau Rinca tidak perlu membeli lagi tiket di Loh Liang, hanya wajib menuliskan data di buku tamu. Begitu sebaliknya, turis yang pertama singgah di Loh Liang dan membayar biaya konservasi disini, tidak perlu membayar lagi saat mereka singgah di Loh Buaya. Lagi-lagi saya menjadi turis ‘Jepang’ di sini. Hanya segelintir orang Indonesia yang terlihat di ruangan loket, selebih dari itu hanya terlihat turis dari Asia Timur dan kebanyakan dari negara Barat seperti Amerika, Australia dan Eropa. Sekali lagi berasa liburan di luar negeri padahal masih di Indonesia.
Untuk memasuki kawasan national park ini, kami wajib mengikuti trekking yang ditawarkan oleh petugas loket. Pilihan trekking mulai dari short trek (1 km), medium trek (3 km) 1,5 jam, dan long trek (4,5 km) 2,5 jam. Akhirnya setelah saya rembug dengan Andrew dan Matt, kami memutuskan mengikuti medium trek dengan alasan agar bisa lebih cepat melanjutkan perjalanan ke pulau lain.
Satu rombongan yang terdiri dari kurang lebih 6 orang wajib dikawal oleh seorang ranger. Tugas ranger adalah mengawasi kami agar tidak diganggu ataupun menganggu para komodo. Rute untuk medium trek adalah melewati hutan pohon lontar dan menaiki bukit Banu Nggulung. Suasana pagi itu terlihat ramai oleh turis karena bulan Juli-September merupakan cuaca yang pas untuk berkunjung ke Pulau Komodo dengan kondisi bukan musim penghujan sehingga perairan cenderung tenang. Tapi sayangnya bulan Juli bukan merupakan waktu Komodo kawin, sehingga keberadaan para Komodo di pulau ini cenderung bersembunyi di sarang masing-masing. Ranger menjelaskan bahwa Komodo disini berbeda bentuk dengan Komodo di Loh Buaya, Komodo asli di pulau ini berbadan lebih tegap dan lebih besar, tentu saja lebih liar karena mereka mencari makan secara alami tidak seperti di Loh Buaya yang sudah dijatah makanannya.
Sepanjang perjalanan hanya melihat seekor Komodo yang bergerak cepat di sekitar semak belukar. Peraturan memasuki taman nasional ini juga sama dengan Loh Buaya, tidak boleh berbicara terlalu keras, dan tidak boleh berlari. Kalau berlari saat melihat Komodo, ya siap-siap digigit saja oleh binatang purba tersebut. Banyak yang mulai ngedumel karena tidak melihat sosok Komodo dari dekat di sepanjang perjalanan. Yah namanya juga binatang liar, jadi tidak bisa diprediksi mereka nongkrong kapan dan dimana. Hasilnya saat akan menaiki bukit Banu Nggulung, si ranger memutuskan lebih baik turun saja, karena Komodo sudah tidak tampak lagi. Konyolnya si ranger, dia berbicara dengan kami menggunakan bahasa Indonesia padahal semua pengunjung adalah orang bule, kecuali saya. Akhirnya saya yang menerjemahkan apa kata si ranger di depan mereka. Beberapa bule bilang tidak mau tahu, mereka ingin sampai ke puncak. Tapi apa daya mereka yang ngotot kalau si ranger sudah berjalan turun dari bukit, jadilah kami mengikutinya dengan wajah cemberut. (Belakangan baru tahu maksud para bule ngotot naik ke bukit, ternyata dari bukit bisa terlihat pemandangan indah pantai dan pulau-pulau di sekitar Pulau Komodo, nasi sudah menjadi bubur jadi tidak ada gunanya mengingat kekonyolan waktu itu). Memang kami bukan satu-satunya rombongan yang belum beruntung, banyak rombongan lain juga bercerita tidak menemukan Komodo sama sekali, beberapanya hanya mendapat foto rusa liar atau kerbau untuk mengobati kekecewaan mereka.
Saat mencapai pintu keluar jalur trekking, bule yang cemberut langsung berpencar dari grup dan melipir sendiri melihat pemandangan di sekitar pulau. Saya dan yang tersisa lainnya berjalan ke foodcourt yang terletak tidak jauh dari loket tiket. Selain kagum dengan penataan bangunan di taman nasional yang dikelola oleh PT PUTRI NAGA KOMODO (Baca: investor asing), saya juga kagum dengan kebersihan toiletnya yang seperti toilet hotel berbintang. Foodcourt disini juga menyediakan aneka minuman dan snack yang lengkap, tapi sayangnya harganya harga turis asing :(.
Kami yang berjalan pelan menuju ke arah dermaga tiba-tiba dikejutkan oleh suara seorang ranger yang menunjuk ke arah batang pohon. Di atas batang pohon tersebut terdapat anak Komodo yang berusia beberapa bulan sedang nongkrong di pohon itu. Tidak dapat foto yang dewasa, dapat gambar anaknya lumayan untuk mengilangkan rasa kecewa kami.
to be continued… menuju Pink Beach
Pas di pulau kalong itu berisik banget kapal-kapal pada ‘ngecas’ kompressor buat diving :hammer:
Butuh waktu untuk adaptasi dengan suara bising lumayan lama agar bisa tidur nyenyak hehehe…
Wooghh. Halim kuat ya ambil medium trek. Kita yang short aja udah ngos2an. Hihihi
Aslinya ngos-ngosan juga apalagi jalan bareng bule yg berkaki lebih jenjang hehe… Nyampe kantin di deket pintu keluar langsung teguk sebotol minuman segar saking hausnya :-)