Sudah pernah ke Papua? Jawaban saya pasti selalu “Sudah pernah”. Tapi yang menyebalkan bila menemui pertanyaan lanjutan seperti ini, “Berarti sudah ke Raja Ampat donk?”.Hmm. Raja Ampat terletak di kabupaten Sorong, Papua Barat sedangkan saya hanya baru menginjakkan kaki di Jayapura, Papua. Sama-sama di pulau Papua, tapi pulau ini terbagi menjadi 2 propinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Kalau masih bingung dengan maksud saya, atau tidak sempat buka ATLAS klik aja disini dan ini ya.
Tiga tahun silam saya mendapat tawaran untuk bekerja di Jayapura, tanpa berpikir panjang saya langsung mengiyakan tawaran itu dan berangkatlah ke Jayapura. Selain harga tiket yang mahal (2juta sekali jalan waktu itu), untuk menuju Jayapura memerlukan waktu perjalanan yang tidak sebentar.
Pesawat GA650 yang membawa saya berangkat dari Jakarta ternyata tidak direct flight ke Jayapura, berangkat dari Jakarta pukul 20.50 WIB, kemudian tiba di Bandara Hassanuddin Makassar pukul 00.10 WITA untuk transit, lalu transit untuk yang kedua kalinya di bandara Biak keesokan harinya pukul 05.20 WIT. Total perjalanan 8jam termasuk transit satu jam di Makassar dan setengah jam di Biak. Jauh ya?
Pukul 06.30 pagi sebelum pesawat mendarat di bandara, saya disambut pemandangan bukit-bukit hijau yang beberapanya terselimuti kabut di antara perairan yang dari kejauhan seperti kepulauan tak berpenghuni. Rupanya itu bukan pulau, tapi gugusan bukit yang mengelilingi Danau Sentani. Tepat pukul 06.40 WIT pesawat GA650 ini mendarat di Bandar Udara Sentani.
Dari atas pesawat terlihat keindahan alam Jayapura, tapi setelah sampai di daratan keindahannya berkurang karena kondisi bandaranya. Bandara Sentani tidak memiliki bangunan yang memadai, mulai dari counter cek in penumpang, ruang tunggu sampai pengambilan bagasi semuanya tergabung dalam satu ruangan besar.
Di tengah pengambilan bagasi yang semerawut, saya sempat melihat tanda larangan yang tidak biasa, berbentuk stiker yang ditempel di dinding-dinding ruang tunggu bandara. Pertama saya pikir saya salah baca. Setelah saya lihat dari dekat tanda tersebut, eh ternyata betul tertulis “DILARANG MAKAN PINANG”. Kebiasaan makan pinang orang Papua memang sudah menjadi semacam rokok bagi para perokok berat. Mulai dari anak kecil sampai kakek-nenek mempunyai kebiasaan makan pinang kapan saja dimana saja. Yang bikin repot adalah bekas kunyahan pinang yang kadang mereka ludahkan di sembarang tempat. Bercak yang menyerupai warna darah itu susah dibersihkan oleh petugas, atau kadang ada yang sampai membekas selamanya. Memang larangan tersebut ditaati saat mereka di ruang tunggu bandara, tapi saat sampai di ruang lain seperti toilet bandara ya tetap saja menemukan bercak pinang. :-)
to be continued…