17 Agustus 2008,
Jam menunjukkan pukul 04.00 pagi, saya dan kawan-kawan lain bangun dan bersiap-siap untuk berangkat menggunakan jeep yang sudah menunggu di luar penginapan dan akan membawa kami ke Pananjakan, sebuah pos semacam gardu pandang untuk melihat matahari terbit di Taman Nasional Bromo. Langit masih terlihat gelap dari jendela, tapi apa daya demi menyaksikan salah satu sunrise terbaik di Indonesia. Di tengah dinginnya udara pagi hari, langit yang semula berwarna jingga perlahan-lahan berubah menjadi kebiruan.
Di ujung sana mulai terlihat semburat warna kuning tua diatas garis awan yang warnanya makin lama makin terang… Matahari pagi mulai mengintip perlahan. Awan yang semula menutupi gunung Bromo dan Semeru mulai menipis, terlihat jelas ada apa di balik awan tadi. Saat intipannya mulai melebar, tubuh tiba-tiba terasa hangat. Rasa dingin yang semula membuat kami menggigil kedinginan lenyap seketika.
Melihat keindahan ciptaan-Nya memang sungguh menakjubkan.
Perjuangan bangun pagi tidak hanya berakhir di Pananjakan, jeep kembali membawa kami menuju ke lautan pasir. Jeep yang semula berjalan pelan-pelan saat melewati jalan pegunungan menjadi sedikit liar saat mulai melewati padang pasir seolah kuda yang berlari kencang di hamparan rumput. Jantung mulai berdetak kencang, perut mulai bergolak, semua itu karena adrenaline kami terpacu lebih kencang dari biasanya. Pasir yang dilewati terkadang membuat roda terperosok di gundukan pasir, jeep berusaha sekuat tenaga untuk bisa lolos dari gundukan tersebut. Perut terasa sangat mual akibat goncangan keras sepanjang perjalanan. Jeep menurunkan kami persis di depan jajaran kuda yang sedari subuh sudah menunggu orang untuk menaikinya.
Naik kuda kah? Tidak. Kami berjalan meresapi bisikan pasir, melangkahkan kaki selangkah, dua langkah, sepuluh langkah….
Puluhan langkah dilalui, perjalanan menjadi semakin berat. Formasi barisan kami yang awalnya berjajar rapi, sudah tidak beraturan lagi. Hembusan angin kencang berpasir mulai ikut mengganggu langkah dan pandangan kami menaklukkan Bromo.
Antara lapar, haus, besarnya tenaga yang kami perlukan untuk menyeberangi lautan pasir mulai membuat kami gundah, bimbang dengan pertanyaan sanggupkah berjalan sampai puncak? Bisikan-bisikan itu terus terdengar di telinga.
Setibanya di anak tangga kaki Gunung, saya hanya bisa bergumam ‘ini baru awal perjalanan, belum sampai akhir perjalanan’ .
Dari anak tangga saat menengadah ke atas, terlihat Gunung Bromo yang terlihat jauh…
Menaiki anak tangga menjadi lebih berat dalam melangkahkan kaki di tengah perut yang kosong, pikiran menyerah melangkah mulai menghantui.
“Tidak. Jangan sambat jauh…”,
“Tinggal separuh jalan lagi… jangan menyerah”,
“Hey…Perut kosong mana bisa sampai di puncak?”
Suara hati mulai tidak bisa membedakan mana penyemangat mana pelemah semangat. . .
Sekelibat melihat nenek tua tersenyum kearahku sambil menaiki anak tangga satu persatu dengan penuh semangat. “Come on” teriaknya penuh semangat ke arahku. Saya harus bisa…. Saya pasti bisa!
Semangat “bisa” membuat saya berhasil sampai di puncak Gunung Bromo! Gunung pertama yang saya naiki!
Anak tangga terakhir seakan merupakan nilai perfect ujian akhir untuk syarat kelulusan. Perasaan hati gundah telah sirna, tergantikan oleh rasa bangga bisa mengalahkan ketakutan pikiran, kepesimisan, ketidakpercaya dirian. Ujian hati sudah terlewati. Terima kasih Pasir Berbisik…..
More foto silakan cek di Pasir Berbisik .