Minoritas kadang dipandang negatif oleh kalangan tertentu. Rejeki hasil kerja kerasnya disirikin, nama baiknya seringkali tak luput dari fitnah. Semua dilakukan dengan harapan agar mereka goyah dan segera meninggalkan ladang yang telah dipupuk sekian lama.
Tentu tidak semua orang berpandangan demikian sebab pada dasarnya semua orang adalah baik. Tergantung bagaimana memahami kebaikannya, jangan hanya memikirkan sisi buruknya yang tak sengaja diperlihatkan di depan umum.

“Selamat datang di nDalem Hardjonegaran.” sambutan ramah dari Pak Soewarno yang didampingi oleh Bu Supiyah di depan saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam kegiatan Blusukan Kratonan bulan April 2015 lalu. Pak Soewarno mengawali dengan bercerita sejarah singkat Go Tik Swan ( selanjutnya saya singkat Pak Go ), kedekatannya dengan mendiang Presiden RI yang pertama hingga karya besarnya yang hingga kini masih diburu oleh pencinta kain Nusantara.
Usaha meminta izin masuk dengan bantuan Pak Aziz dan Bu Pamilasih yang sudah kenal dekat dengan tuan rumah membuahkan keramahan yang tak disangka sebelumnya. Semula sempat ada keraguan bisa diberi akses masuk ke bangunan inti mengingat nDalem Hardjonegaran masih digunakan sebagai rumah tinggal. Ternyata mereka tidak takut privasinya terganggu asalkan kami mempunyai niat yang tulus untuk belajar sejarah yang ada di rumah tersebut.
Siang itu satu-persatu digiring masuk ke dalam dan diajak keliling rumah oleh Pak Soewarno. Dijelaskan pula ragam barang antik milik keluarga maupun koleksi yang sengaja dikumpulkan semasa hidup Pak Go. Termasuk lukisan kanvas bergambar Panembahan Hardjonagoro atau Go Tik Swan yang duduk dengan berpakaian lengkap busana adat Jawa.
Meski Pak Go dibesarkan di tengah keluarga Tionghoa, bukan berarti beliau tidak mau belajar budaya dari suku lain. Ketertarikan terhadap batik diturunkan oleh neneknya yang menjadi raja batik di Kota Solo pada waktu itu. Kefasihannya menghafal tembang Jawa dan berbicara bahasa Jawa halus sejak kecil dipelajari dari pengrajin batik yang dijumpainya setiap hari. Bahkan beliau juga tertarik mengumpulkan benda-benda purbakala di desa-desa sekitar Solo yang saat itu diabaikan oleh pemerintah.

Seperti yang sudah saya tulis di artikel sebelumnya di sini, Pak Go sangat dekat dengan KGPH Hadiwijaya ( salah satu putra dari Susuhunan Pakubuwono X ) yang bertempat tinggal tak jauh dari kediamannya. KGPH Hadiwijaya adalah penggiat seni dan tari Jawa khususnya Keraton Surakarta yang juga mendirikan Universitas Saraswati di nDalem Hadiwijayan. Selain berprofesi sebagai penggiat seni, beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Museum Radya Pustaka mulai dari tahun 1926 hingga meninggal dunia tahun 1975. Jabatan tersebut diteruskan oleh Pak Go yang mengelola Museum Radya Pustaka mulai dari tahun 1975 hingga 2001.
Dari hubungan dekat tersebut, pada tahun 1963 Pak Go mendapat kepercayaan untuk membangun Art Gallery Keraton yang kini dikenal sebagai Museum Keraton Surakarta. Sempat terjadi kesalah pahaman antara Susuhunan Pakubuwono XII, GPH Djatikusuma ( Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi waktu itu ) dan KGPH Hadiwijaya yang berimbas tidak memberikan dukungan dan bantuan materiil pembangunan museum. Untungnya museum yang diresmikan tanggal 23 Mei 1963 oleh Hartini Soekarno, istri dari Bung Karno mendapat sambutan yang hangat. Pembukaan Pasific Asian Tourism Association di Solo pun berjalan lancar.
Sepuluh tahun setelah peresmian Museum Keraton Surakarta, Pak Go diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro oleh Susuhunan Pakubuwono XII. Kabar gembira ini menjadi berita utama di beberapa media cetak dan dimuat di salah satu majalah yang tak sengaja saya temukan dan baca di Lasem tahun lalu. Atas pengabdianya sebagai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, pada tahun 1984 beliau naik pangkat menjadi Bupati Riyo Nginggil dengan gelar baru Kanjeng Raden Tumenggung ( K.R.T ) Hardjonagoro. Setelah itu gelarnya terus meningkat, Kanjeng Pangeran Aryo ( K.P.A ) Hardjonagoro pada tahun 2001 dan terakhir diberi pangkat tertinggi sebagai Panembahan Hardjonagoro oleh Susuhunan Pakubuwono XIII. ( Beberapa informasi bersumber dari buku “Menjadi Jawa” karya Prof. Dr. Rustopo )

“Tiga ratus ribu sampai empat ratus ribu untuk nglengreng ( menggambar desain ) kain mori, mas. Biasanya digarap di rumah dulu, baru dibawa ke sini setelah nglengreng selesai.” jawab seorang pengrajin batik saat saya iseng menanyakan berapa upah yang mereka terima. Mereka menambahkan, upah harian yang diperoleh mulai dari tiga puluh ribu tergantung kesulitan motif yang mereka canting. Selembar kainnya sendiri baru selesai berbulan-bulan kemudian.
Wajar jika harga batik tulis di sini memiliki harga termurah 650.000 rupiah dan 7 juta rupiah untuk motif rumit seperti Sawunggaling. Dengan tingginya biaya produksi dan pewarna khusus yang diperlukan, boleh dibilang kini profesi sebagai juragan batik rumahan tidak sekaya pemilik showroom batik yang sudah punya nama besar. Kata-kata “Ora nyuguhi nanging nguripi” ikut dilontarkan oleh Bu Supiyah yang mewarisi dan mempertahankan motif Batik Indonesia karya Pak Go.

Mata yang dimanjakan oleh proses membuat batik beralih ke bunyi pukulan palu dari para pengrajin keris di Besalen Suralayan yang terletak di belakang. Beruntung sekali saat itu kami bisa menyaksikan dan belajar mengenai proses pembuatan tosan aji di sana. Selain membuat Batik Indonesia, ternyata Pak Go juga mengangkat potensi keris sebagai karya seni yang indah dan bernilai tinggi, bukan sebagai benda yang dianggap sakti dan sakral yang ditakuti banyak orang. Beliau mengumpulkan data dan melakukan survey tentang keris di besalen yang masih aktif . Usahanya pun membuahkan hasil, tahun 1980-an mulai bermunculan mpu-mpu baru dan besalen ( bengkel keris ) di Solo atas dorongan dan bantuannya.
Mengelilingi beberapa sudut rumah peninggalan Pak Go yang terletak di Jalan Yos Sudarso 176 seolah memasuki sebuah museum tengah kota yang sarat dengan sejarah dari peradaban Hindu-Buddha hingga dinasti Mataram Islam. Sebuah rumah tua yang bernama nDalem Surolayan peninggalan zaman Keraton Kartasura masih berdiri kokoh dalam kondisi terawat. Arca-arca purbakala yang berjajar rapi di halaman juga menyisakan banyak cerita menarik.
Salah satu yang menarik perhatian adalah patung Bima yang semula berlokasi di Candi Sukuh dan diperkirakan dibuat pada abad ke-14. Arca salah satu tokoh dalam epos Mahabharata itu diboyong ke Solo oleh salah satu pangeran dari Praja Mangkunegaran. Pada saat pemerintahan KGPAA Mangkunagara VII, patung Bima menghiasi salah satu area di Taman Balekambang. Sayang setelah era kejayaan Ketoprak Balekambang memudar diiringi dengan kondisi taman yang semakin tidak terawat dan kumuh, patung Bima bernasib sama. Atas izin KGPAA Mangkunagara VIII, patung yang ditemukan telah pecah menjadi tiga bagian tersebut dibawa pulang oleh Pak Go dan kini berdiri gagah di depan pendapa Surolayan.

Perlu diketahui bahwa semua arca di nDalem Hardjonegaran ditemukan dan diambil Pak Go dari desa-desa di Delanggu, Sragen, Wonogiri yang penduduknya belum memahami nilai sejarah. Ada yang ditemukan sebagai pondasi rumah, sengaja dipajang di pinggir sungai, bahkan ada yang menjadi penopang jembatan desa. Keprihatinan itulah yang membuat Pak Go berinisiatif berburu arca yang terabaikan.
Menumpuk benda bersejarah tentu menyulitkan posisi tuan rumah, seperti dituduh melakukan tindakan pencurian dan dipaksa menyerahkan koleksi oleh oknum tertentu. Setelah Pak Go meninggal dunia pada tanggal 5 November 2008 silam, sejumlah koleksinya yang memiliki nilai sejarah tinggi diserahkan kepada pemerintah RI sesuai isi wasiat yang sudah disahkan sejak tahun 2005 di depan Direktur Jenderal Kebudayaan, Edi Sedyawati. Kini Pak Soewarno dan istrinya Bu Supiyah yang dipercaya sebagai pewaris dari almarhum bertanggung jawab menjaga dan merawat peninggalan yang masih tersisa. Motif-motif Batik Indonesia pun terus dipertahankan pelestariannya oleh mereka.

“Pak Go galak banget.” ucap salah satu karyawan lama yang bernama Mas Genduk setelah saya menanyakan bagaimana sebenarnya keseharian seorang Go Tik Swan. Ucapan yang disertai senyuman itu menegaskan bahwa Go Tik Swan adalah sosok yang disiplin tinggi. Percakapan penutup sekaligus renungan sepulang dari nDalem Hardjonegaran.
Sudah diberi kesempatan mengenal dan bertemu dengan Pak Go lewat lukisan kanvas, berterima kasih atas keramahan yang diberikan oleh Pak Soewarno dan Bu Supiyah. Tapi masih ada rasa sesal di dalam hati. Menyesal kenapa tidak dari dulu mengenal jasa besar almarhum terhadap Solo. Ibarat dekat tak dikenal, hilang baru dikenang…
________
Note : nDalem Hardjonegaran yang terletak di Kampung Kratonan kini dihuni oleh keluarga Pak Soewarno. Terbuka bagi siapa saja yang tertarik memesan dan membeli batik karya Go Tik Swan. Jika ada keperluan di luar itu bisa meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah sebelum bertindak lebih lanjut. ;-)
Dengan motif serumit itu memang pantas kal harganya segitu. Tapi apa daya beli masyarakat mampu ya kalau harganya begitu? Ngerinya batik malah jadi mulai langka. Huhuhu
Batik tulis yang dibuat dengan tenaga dan perasaan semakin kalah dengan pamor batik printing yang kalau beli bisa gulungan biar dipake seisi rumah. Duhh. Mari budayakan beli batik tulis :-)
Waaahhh … seru! Bisa mengenal lebih dekat sosok Go Tik Swan dan karya2 beliau.
Penasaran dengan motif Batik Indonesia yang harga 7 juta-an. Pasti kece bangeeeett batiknya
Pas ke sana batik motif Sawunggaling-nya baru proses dilorot, belum kering kena angin jadi nggak sempat pegang sambil ndredeg bayangin harganya yang mahal hehehe.
Sejak dioprek-oprek sama artis Jombang, blogmu jadi enak dilihat kok. Suer :) Jadi pengen jadi pasiennya artis jombang juga :)))
Makasih Die. Yah semoga artis Jombang-nya sudi mengoprek punyamu juga ya maz :-D
Aku baru tau kalau ada keturunan Tionghoa yang sampai sedemikian berprestasinya dalam pelestarian batik dan budaya Jawa. Lukisan Panembahan Hardjonagoro nya gak boleh difoto ya Lim?
Ini baru satu tokoh, Bart. Masih antre untuk kuceritakan satu tokoh yang berperan besar terhadap perkembangan seni wayang orang di Solo, bahkan di Indonesia ;-)
Lukisan Panembahan Hardjonagoro boleh difoto, udah punya hasil yang lebih jelas. Hanya saja sengaja nggak kushare di sini hehehe
Siap nunggu antrean selanjutnya :-)
Barusan aku lihat di artikelmu yang lain Lim hehe
Sayapun belum punya batik tulis yang ada batik cap/print. Pengin sekali-kali punya satu saja tapi belum kesampean hehe
Penasaran seperti apa sosok Pak Go Tik Swan coba difoto lukisan kanvasnya
Lukisan kanvas bergambar Pak Go sudah saya posting di tulisan sebelumnya. Tidak close up tapi lumayan jelas. :-)
sangat eskotis menurutku temapt seperti itu selain tentunya punya nilai sejarah